Bullying di Dunia Pendidikan Marak: Potret Buram Generasi dalam Didikan Kapitalisme nan Rusak


TintaSiyasi.com -- Dari Cilacap hingga Balikpapan. Kasus bullying (perundungan) yang viral baru saja terjadi di dua kota ini. Dua siswa SMPN 2 Cimanggu, Cilacap, ditetapkan sebagai tersangka karena menganiaya seorang siswa di sekolah yang sama. 

Sementara itu, seorang siswa SMP mengalami bullying di Masjid Darussalam, Balikpapan, Sabtu (23/9). Korban dipukul karena mengirim DM dengan kalimat yang dianggap tidak pantas ke pacar salah satu pelaku.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, jumlah korban bullying di satuan pendidikan selama Januari-Juli 2023 total 43 orang; 41 peserta didik (95,4 persen) dan dua guru (4,6 persen). Adapun pelakunya didominasi oleh peserta didik (87 siswa/92,5 persen), lima pendidik (5,3 persen), satu orang tua peserta didik (1,1 persen), dan satu kepala madrasah (1,1 persen) (tirto.id, 3/10/2023).

Bertambah miris ketika bullying justru terjadi di sekolah-sekolah. Bahkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim menyebutnya sebagai salah satu dari tiga dosa besar dunia pendidikan. 

Sekolah yang seharusnya menghasilkan lulusan cerdas, bertakwa, dan berbudi pekerti luhur, nyatanya bertabur sekian aksi kekerasan. Dari bullying hingga klithih. Terlalu!

Penyebab Bullying Marak di Dunia Pendidikan di Tengah Giatnya Pemerintah Melakukan Pendidikan Budi Pekerti

Mengutip dari laman Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI, bullying didefinisikan sebagai perilaku negatif dan berulang yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan sengaja dan intens, bertujuan menyakiti secara fisik maupun mental.

Adapun dilansir dari laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), ada enam jenis bullying. Pertama, kontak fisik langsung. Contoh; memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, dan sejenisnya.

Kedua, kontak verbal langsung. Misalnya mencela, merendahkan, mempermalukan, memaki, atau perkataan lain yang menyakiti hati seseorang. Ketiga, perilaku nonverbal langsung. Ini dengan menggunakan bahasa tubuh seperti melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, ekspresi muka merendahkan, dan lain-lain. 

Keempat, perilaku nonverbal tidak langsung (bullying relasional). Berupa pengabaian, pengucilan, dan tindakan mengasingkan seseorang. Kelima, cyber bullying. 

Seperti mengomentari postingan seseorang dengan tidak sopan, menyebarkan hoaks atau memposting foto memalukan di media sosial. Keenam, pelecehan seksual. Contoh; gerakan vulgar, sentuhan hingga memanggil dengan nama tak pantas (detiksulsel, 5/10/2023).

Maraknya bullying di dunia pendidikan tentu menjadi ironi tersendiri. Terlebih pemerintah sedang giat menggembar-gemborkan pendidikan budi pekerti. Mengingat tujuan pendidikan nasional sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan berilmu, sehingga pembangunan sumber daya manusia (SDM) sangat penting. 

Dan dalam perspektif Kemendikbud, pembangunan SDM menekankan pada dua penguatan, yaitu pendidikan karakter dan penyiapan generasi terdidik yang terampil dan cakap dalam memasuki dunia kerja. 

Pendidikan karakter bertujuan membentuk insan berakhlak mulia, empan papan, sopan santun, tanggung jawab, serta berbudi pekerti luhur. Namun dengan melihat realitas banyaknya anak didik (remaja) terjerat aksi kekerasan, inikah cermin kegagalan pendidikan karakter ala pemerintah?

Bila ditelisik penyebab maraknya bullying di dunia pendidikan, kita dapati ada beberapa faktor yaitu: pertama, individu pelaku. Minim kepribadian Islamnya karena tidak terbina dengan iman dan syariat, khususnya terkait akhlak. Akibatnya, sulit mengontrol emosi dan tidak ada rasa takut pada Allah SWT saat bertindak keji. 

Kedua, keluarga. Kurang menanamkan pondasi pembangun kepribadian islami, yaitu tauhid dan syariat termasuk akhlakul karimah. Selain itu, pelaku bullying sering berasal dari keluarga bermasalah seperti orang tua yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi rumah yang penuh stres, agresi, dan permusuhan. 

Ketiga, kawan sebaya. Sebagian pelaku melakukan bullying karena ingin membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meski mungkin merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.

Keempat, media. Konten berbagai jenis media, terutama media online dan media sosial hari ini mempengaruhi perilaku anak muda. Khususnya tayangan kekerasan yang membentuk pola bullying. Survey Kompas (Saripah, 2006) mencatat, 56,9 persen anak meniru adegan film yang ditontonnya, meniru geraknya (64 persen) dan kata-katanya (43 persen).

Kelima, sekolah. Berbasis sekularisme kapitalistik, pembelajaran di sekolah terutama negeri, minim pendidikan agama. Selain itu, sekolah sering mengabaikan bullying ini. Akibatnya, si pelaku justru mendapat penguatan untuk melakukan intimidasi terhadap anak lain. 

Keenam, aturan yang diterapkan negara. Penerapan sistem sekularisme kapitalistik oleh negara dalam semua lini kehidupan (termasuk sebagai asas kurikulum) meniscayakan masyarakat termasuk anak didik kian jauh dari agama. Hingga membentuk perilaku mereka cenderung pada pencapaian kesenangan materiil secara bebas (liar). 

Bila didalami, sistem inilah sejatinya akar penyebab maraknya bullying. Ketika bullying terjadi tak hanya beberapa kali tapi sering, bahkan jumlahnya kian banyak, maka ditengarai ini bukan problem kasuistik melainkan sistemis. Masif karena diproduksi oleh sistem yang buruk. Bukan semata lahir karena faktor individu, keluarga, atau teman sebaya.

Dampak Sistem Pendidikan Kapitalistik terhadap Maraknya Bullying di Dunia Pendidikan

Realitas dunia pendidikan hari ini memperlihatkan inkonsistensi kehendak dengan tindakan. Bercita-cita melahirkan anak didik cerdas, beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, tetapi mendasarkan proses pendidikannya pada sistem sekularisme kapitalistik yang mengajarkan manusia memisahkan agama dari kehidupan serta mencukupkan beragama hanya saat berhubungan dengan Tuhannya. 

Namun soal berinteraksi dengan sesama manusia seperti pergaulan dengan teman atau lawan jenis, berjual beli, menegakkan hukum, menyusun kurikulum pendidikan, menjalankan pemerintahan, dan lain-lain, agama ditinggalkan karena dinilai tak layak atau mengekang. Bila agama diabaikan, bukankah fenomena bullying dan kekerasan lainnya adalah keniscayaan?

Dengan demikian, 'wajar' bila sistem pendidikan kapitalistik berdampak terhadap maraknya bullying di dunia pendidikan. Dampak buruknya antara lain:

Pertama, pemisahan ilmu umum dengan ilmu agama. Pelajaran agama diajarkan terpisah dan khususnya di sekolah negeri hanya diajarkan seminggu sekali. Tidak ada integrasi ilmu umum dengan agama. 

Akibatnya, anak didik tidak merasakan ruh (kedekatan dengan Allah) meski sedang belajar ciptaannya seperti ilmu biologi, dan sejenisnya. Ilmu agama minim sementara pengaruh globalisasi hadir tiap detik melalui tayangan media, termasuk adegan kekerasan, bullying. Bagaimana anak didik mampu memfilter semua pengaruh buruk bila agama tak biasa dijadikan landasan hidupnya?

Kedua, tidak memiliki rasa takut pada Sang Pencipta. Jauhnya dari agama dan tak terbiasa mengikatkan perbuatannya dengan hukum Allah SWT membuat anak didik tak merasa takut kepada Sang Pencipta saat bermaksiat. Dia merasa Allah tak ada di dekatnya dan melihat segala perbuatannya. Maka pelaku bullying merasa aman-aman saja menjalankan aksinya. Seolah tak berdosa dan tak mendapat azab-Nya.

Ketiga, anak didik mengejar kesenangan semu. Kapitalisme mengajarkan tujuan hidup adalah meraih kesenangan materiil. Bullying menjadi salah satu cara meraihnya. Mampu menyakiti pihak lain dianggap sebagai bukti kekuasaan, harga diri, jagoan, hingga merasa layak disegani oleh orang di sekitarnya. Di sinilah ia memperoleh kepuasan (kebahagiaan).

Keempat, bertindak liar atau semau gue. Dalam kehidupan, kapitalisme pasti berkelindan dengan liberalisme karena lahir dari rahim sama yakni sekularisme. Berdalih hak asasi manusia (HAM), merasa bebas melakukan apapun berdasarkan hawa nafsunya. Tak mempedulikan norma dan etika, bahkan aturan agama. Maka pelaku bullying merasa tak bersalah saat menjalankan aksi jagoan. Bahkan bisa jadi bangga dengan 'kehebatannya.'

Kelima, tidak menghormati guru. Minim pembinaan agama (akhlakul karimah) menyebabkan anak didik tidak memiliki rasa hormat pada orang yang lebih tua seperti guru. Akibatnya mereka tidak memiliki rasa takut atau sungkan melakukan bullying di sekolah. 

Keenam, bullying dianggap sebagai hal biasa (lumrahisasi). Bila aksi kekerasan ini dilakukan terus-menerus, lama kelamaan akan dianggap sebagai hal biasa. Hingga kebanyakan manusia akan membiarkannya. 

Bila begini, kerusakan akan menjadi-jadi. Dampak buruknya akan meluas. Tak hanya bagi korban, juga bagi pelaku dan orang yang menyaksikannya. Rusaklah aturan bermasyarakat. 

Demikianlah dampak sistem pendidikan kapitalistik terhadap maraknya bullying di dunia pendidikan. Dan sejatinya, inilah dosa terbesar dunia pendidikan yaitu mengadopsi sistem sekularisme kapitalistik. Bila telah jelas dampak buruknya, mengapa sistem bejat ini masih diterapkan?

Strategi Pemerintah agar Bullying pada Dunia pendidikan Dapat Diminimalkan

Tidak dipungkiri, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk melindungi anak dari kekerasan. Misalnya dengan membuat regulasi seperti UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.

Pun menetapkan program yang bertujuan melindungi anak dari kekerasan, seperti Sekolah Ramah Anak, Kota Layak Anak, Pendidikan Karakter, dan Revolusi Mental. Terbaru, pemerintah menggagas Kurikulum Merdeka dan Pelajar Pancasila. Namun beragam upaya tersebut belum mampu mengikis maraknya bullying terhadap anak (remaja). Maka perlu digagas langkah strategis pemerintah demi meminimalkan bullying di dunia pendidikan, antara lain:

Pertama, menguatkan peran sebagai pelindung rakyat. Dalam Islam, penguasa itu junnah (tameng) sebagai tempat berlindung bagi rakyat. Baik dari musuh maupun bentuk keburukan lainnya. Berdasar paradigma ini, pemerintah serius dalam menghentikan bullying demi melindungi generasi dari aksi kekerasan dan efek dominonya.

Kedua, memberikan edukasi seputar bullying. Melalui lembaga terkait dan bekerja sama dengan ormas peduli generasi, memberikan edukasi tentang buruknya bullying dari berbagai aspek termasuk agama. Pun dampak buruknya bagi korban, pelaku, dan orang yang menyaksikan.

Ketiga, mengontrol media. Pemerintah mesti lebih ketat dalam mengontrol konten/tayangan media. Untuk memastikan tayangan terbebas dari unsur kekerasan, pelecehan, maksiat, dan segala bentuk yang dilarang dalam Islam. Pun tidak segan memberi sanksi tegas bagi pemilik/pengelola media yang menyiarkan konten merusak seperti tayangan kekerasan pemicu anak melakukan bullying.

Keempat, menerapkan kurikulum pendidikan berbasis agama (Islam). Sistem pendidikan sekuler terbukti gagal mengantarkan anak didik meraih tujuan pendidikan nasional; cerdas, iman takwa, dan berakhlak mulia. 

Justru sekularisme inilah biang penyebab berbagai kerusakan termasuk maraknya bullying di dunia pendidikan. Kurikulum berbasis akidah akan menghindarkan generasi dari tindakan terlarang. Bahkan membentuk mereka berkepribadian mumpuni.

Kelima, memberlakukan sanksi tegas bagi pelaku. Tidak cukup dinasihati atau dibina, pelaku bullying mesti diberi sanksi tegas. Meski pelaku tergolong anak-anak, tidak akan menghindarkan dari sanksi ini. Agar memberikan efek jera, baik bagi pelaku maupun anak (remaja) lainnya.

Keenam, mengaplikasikan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Pembuatan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam hanya akan terwujud dalam sistem politik Islam. 

Begitu pula, berbagai problem lainnya yang bersumber dari sekularisme kapitalistik di bidang lain; ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain, pun membutuhkan sistem politik Islam. Secara imani, historis, dan logika, hanya sistem Islam yang membawa kebaikan sekaligus menghindarkan manusia dari keburukan.

Demikian beberapa langkah strategis pemerintah demi meminimalkan bullying di dunia pendidikan. Tentunya butuh kesadaran, keberanian, dan perjuangan untuk mewujudkan sistem Islam di tengah dominasi global atas penerapan sistem buruk kapitalisme. Siapkah mewujudkannya?


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar