Menyoal Pesan Gus Yaqut tentang Jangan Memilih Pemimpin yang Menggunakan Agama sebagai Alat Politik: Apa dan Siapa yang Disasar?



TintaSiyasi.com -- Masuk tahun politik suasana makin panas, banyak manuver-manuver tidak terduga yang bisa ditemui dalam percaturan politik hari ini. Sebagaimana yang disampaikan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas di Garut, Jawa Barat, dalam siaran pers Kementerian Agama (Kemenag), Senin (4-9-2023). Pertama, ia berpesan, jangan memilih pemimpin yang pernah memecah belah umat. Kedua, jangan memilih pemimpin yang pernah menggunakan agama sebagai alat untuk memenangkan kepentingannya. Ketiga, memilih pemimpin dengan melihat rekam jejaknya. Keempat, memilih dapat dipercaya dan amanah dalam memimpin bangsa yang beragam.

Sebenarnya maksud dari pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik ini seperti apa? Dan siapa yang dimaksud dari pernyataan ini? Sejauh ini banyak calon yang seolah-olah berpenampilan islami memakai kopiah, kerudung, dan busana muslim ketika berkampanye dan menggalang dukungan rakyat . Apakah ini yang dimaksud dengan memperalat agama untuk kepentingan politik? Atau jangan-jangan pernyataan ini adalah pernyataan yang menyerang politisi yang menggunakan atribut Islam atau narasi-narasi dakwah dalam mendekati umat?

Menyoal Pernyataan Menag "Jangan Pilih Pemimpin yang Memperalat Agama"

Masuk tahun politik suasana makin panas dan beberapa pernyataan penguasa memang selalu menuai kontroversi. Pernyataan-pernyataan yang muncul seolah-olah tidak jauh-jauh dari upaya mendiskreditkan Islam. Aroma-aroma islamofobia pun kadang tampak dari pernyataan mereka. Pernyataan Menag soal jangan pilih pemimpin yang memperalat agama ini juga aneh. Maksudnya apa? Apakah ini disampaikan agar peristiwa pemilihan gubernur Jakarta yang dulu menggegerkan publik tidak terulang. 

Setelah peristiwa pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017 lalu memang stigma negatif disematkan pada Islam dan dakwahnya. Dakwah Islam dianggap radikal karena menolak dipimpin oleh pemimpin kafir, mengucapkan kata kafir dianggap radikal dan tidak toleran, menyampaikan isi surat Al-Maidah ayat 51 dianggap bawa-bawa agama dan menjadikan agama sebagai alat untuk kepentingannya. Padahal ketika seorang Muslim menyampaikan isi surat Al-Maidah 51 adalah bagian dari dakwah Islam. Toh, menyampaikannya juga kepada umat Islam.

Dari dakwah tersebut ada yang marah dan lidahnya kepleset menghina Al-Maidah 51 adalah salah satu calon gubernur tersebut. Perkataannya telah melukai seluruh kaum Muslim dan dari situ ia menghabisi karir politiknya. Pada saat semua orang beramai-ramai aksi menuntut agar calon tersebut ditangkap akibat lidahnya yang lancang menghina Islam. 

Namun, aksi tersebut adalah murni untuk membela Al-Qur'an, jikalau ada pihak lawan politiknya yang memanfaatkan momen tersebut untuk memenangkan Pilgub Jakarta itu masalah lain. Masalah utama umat Islam adalah amar makruf nahi mungkar dan meminta penghina Al-Qur'an dihukum setimpal walaupun dia seorang pejabat. Siapa pun dia, jika telah terbukti menghina Islam, seharusnya ditegakkan keadilan. Jangan sampai hukum hanya tajam kepada penghina pejabat dan melempem dengan penghina Islam.

Dari peristiwa Pilgub Jakarta 2017 inilah dimulai pertarungan sengit antara kaum Muslim dan sekuler. Dari peristiwa itu, seolah-olah ada yang menuduh umat Islam yang berkampanye haram memilih pemimpin kafir telah menjadikan Islam sebagai alat kepentingan pribadinya dan memecah belah umat. Padahal setiap muslim yang menyampaikan haram memilih pemimpin kafir adalah bagian dari dakwah Islam. Itu adalah perintah agama Islam yang tidak akan berubah sampai kapan pun. Memang di dalam Islam, umat Islam harus dipimpin oleh Muslim dan dipimpin dengan sistem Islam. 

Apabila ada yang menyampaikan soal kepemimpinan Islam sebenarnya mereka bukan sedang memperalat agama, tetapi memang begitu anjuran syariat Islam. Umat Islam harus memahami bagaimana seharusnya mereka dipimpin dan memimpin. Jangan sampai ada umat Islam memimpin dan dipimpin dengan sistem yang bertentangan dengan Islam, bahkan dengan sistem kufur.

Di situlah penting edukasi kepada umat soal kepemimpinan Islam. Ada beberapa narasinya yang dibangun setelah peristiwa Pilgub Jakarta yang santer dipropagandakan. Pertama, politik identitas. Melalui narasi politik identitas, mereka menolak politik Islam. Ketika masuk ke dalam kontestasi politik, mereka tidak boleh membawa-bawa politik Islam. Jika sampai membawa muatan Islam mereka akan dicap bawa-bawa politik identitas yang berpotensi melanggar SARA dan memecah belah. Coba bayangkan jika ada yang berdakwah dicap memecah belah umat? Justru di balik ini semuanya ada upaya menghalangi dakwah Islam dan membuat semua politisi yang masuk ke dalam kontestasi harus sekuler dan tidak membawa Islam. 

Kedua, narasi radikal dan teroris yang dialamatkan kepada Islam. Ketika ada seseorang yang mendakwahkan Islam yang benar dan lurus, dicap garis keras, radikal, dan teroris. Contohnya adalah diksi kafir. Diksi kafir adalah diksi yang Allah berikan kepada mereka yang tidak mau mengimani Allah dan Rasul-Nya. Namun, lagi-lagi yang berdakwah menggunakan diksi ini dicap radikal. Umat Islam yang getol menyuarakan penerapan Islam secara sempurna juga tidak lepas dari tudingan radikal.

Mereka mengotakan umat Islam seperti yang diusulkan Rand Corporation, umat Islam dibagi menjadi empat, yaitu kaum radikal yang menginginkan penerapan sistem Islam kaffah, kaum tradisional yang menerima Islam sebagai ibadah ritual semata, kaum moderat yaitu mereka yang mau menerima nilai-nilai Barat, dan kaum liberal yang serba bebas dan mengadopsi sudut pandang Barat. Atas dasar inilah umat Islam terpecah belah dan saling dibenturkan antara satu sama lain. 

Ketiga, anti-Pancasila dan anti-NKRI adalah narasi untuk memukul oposisi Islam. Ketika umat Islam mendakwahkan Islam, karena hanya Islam yang mampu menjadi solusi problematika kehidupan, mereka dicap anti-Pancasila atau anti-NKRI. Anehnya, mengapa ada koruptor, ada pemimpin yang tidak menepati janji, ada yang merampok, ada yang membunuh, ada yang kumpul kebo, ada yang LGBT, ataupun tindakan-tindakan kriminal atau keji lainnya tidak dicap sebagai anti-Pancasila atau anti-NKRI. 

Narasi-narasi seperti ditujukan kepada Islam untuk memukul dakwah Islam, agar umat Islam meninggalkan Islam, dan menyebarkan islamofobia di tengah kaum Muslim. Oleh karena itu, jika Menag berujar jangan pilih pemimpin yang memperalat agama, sejatinya mereka yang tampil menggunakan atribut Islam ketika jelang tahun politik tapi anti terhadap syariat Islam, anti terhadap dakwah Islam, maka merekalah yang pantas dicap sebagai orang-orang yang memperalat agama untuk kepentingan politik sesaat mereka.

Mereka menggunakan suara umat Islam hanya untuk meraih kursi kekuasaan, setelah kekuasaan teraih, justru suara-suara kapitalis, korporasi, atau oligarki yang didengarkan dan memengaruhi berbagai kebijakan yang diambil dan diputuskan. Sekarang tinggal umat Islam, mau tetap diperalat oleh calon pemimpin yang bertopeng agamis tetapi berhati bengis atau menjadikan Islam sebagai solusi terhadap problematik bangsa yang sekarang mendera.

Dampak Pernyataan Menag terhadap Aspek Politik di Negeri Ini

Sejatinya pernyataan Menag tersebut mengonfirmasi, negeri ini adalah negeri yang sekuler yang dipimpin oleh orang-orang sekuler. Bagaimana bisa keluar diksi jangan memilih pemimpin yang memperalat agama? Karena, sebagai seorang Muslim yang memahami agamanya, Islam itu adalah nafas dan darah kehidupan yang harus dijadikan jalan hidup dalam menerapkan segala aspek kehidupan. 

Ada beberapa dampak ucapan menag terhadap kondisi perpolitikan di negeri ini. Pertama, seolah-olah jika ada calon pemimpin yang menyampaikan wejangan-wejangan Islam dianggap memperalat agama. Padahal memang seharusnya sebagai seorang Muslim harus menjadikan Islam sebagai jalan hidupnya. Kedua, pernyataan Menag justru memicu perpecahan karena diksi menjadikan agama sebagai alat ini tidak jelas. Jangan sampai orang yang berdakwah justru dianggap memperalat agama, tetapi mereka yang sok-sokan memakai atribut Islam tetapi emoh syariat Islam tidak dianggap memperalat agama. 

Ketiga, pernyataan tersebut seolah-olah mengajak umat untuk meninggalkan agama dalam bernegara. Seolah-olah jika memilih pemimpin jangan menjadikan agamanya sebagai pertimbangan. Penting sekali menjadikan agama sebagai tolok ukur dalam memilih pemimpin. Baik itu pemimpin keluarga, organisasi, dan negara. Dalam Islam, memang faktor agama adalah faktor utama yang harus dijadikan pertimbangan, selain itu anjuran dalam Islam memang tidak boleh memilih pemimpin yang di luar Islam.

Keempat, secara tidak langsung ada upaya mendiskreditkan Islam sebagaimana imbas dari Pilgub Jakarta 2017 lalu. Setelah Pilgub Jakarta 2017, pemerintah seolah-olah makin represif terhadap umat Islam, seperti membubarkan ormas Islam, mengeluarkan Perpres RAN-Pe, dan sebagainya. Seolah-olah menganggap kegagalan salah satu Paslon di Pilgub Jakarta diakibatkan oleh umat Islam, padahal dia blunder karena mulutnya sendiri yang terlalu licin menghina Islam. 

Kelima, penyebaran islamofobia di tengah-tengah umat. Isu radikal, teroris, anti ini itu, memecah belah, melanggar SARA seolah-olah menjadi isu yang diarahkan terhadap Islam. Ketika ada orang berdakwah yang bertentangan dengan nilai-nilai Barat maka akan dicap narasi-narasi tadi itu. Bahkan, baru-baru ini ada usulan dari BNPT untuk mengawasi rumah ibadah, hal itu ditengarai karena ada masjid yang diduga melakukan ceramah dengan kritik kepada pemerintah. Seharusnya pemerintah menghadapi kritik dari umat Islam ya sebagai dakwah, bukan malah respons negatif sampai masjid akan diawasi.

Jika pemerintah senantiasa mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menyudutkan Islam, maka mereka sedang menunjukkan wajah aslinya yaitu anti terhadap Islam. Selain itu, sikap memusuhi ajaran Islam dan para pengembannya adalah tindakan yang mengundang kemurkaan Allah SWT. Oleh karena itu, takutlah sedikit dengan Yang Maha Menguasai alam semesta ini. Bagaimana pun rapinya mereka melakukan kejahatan yang terstruktur dan didukung dengan tangan-tangan mereka, tetapi hal itu tidak bisa ditutupi secara terus menerus. Roda terus berputar, suatu saat nanti kebatilan akan kalah dan kebenaran akan menang.

Strategi Islam Mendudukkan Islam ketika Berpolitik dan Mengatur Kehidupan

Islam diposisikan sebagai pengatur segala aspek kehidupan. Islam dijadikan sebagai rujukan dan solusi terhadap problematik kehidupan. Karena, Islam bukan hanya agama ritual, tetapi sebuah ideologi yang dapat diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Dalam politik telah terbukti bagaimana Rasulallah Muhammad SAW mengurusi urusan umat dengan Islam. Islam memiliki sistem pemerintahan yang disebut khilafah. Khilafah Islamiah adalah bentuk sistem pemerintahan yang dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW dan diteruskan oleh para Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah Abbasiyah, dan Utsmaniyah. 

Jika ada yang mengerdilkan Islam tidak mampu mengurusi kehidupan, maka mereka belum tahu saja bagaimana kiprah Islam dalam membawa kesejahteraan dunia. Bagaimana Islam menguasai 2/3 dunia dengan membawa rahmat ke seluruh alam, sejatinya kisahnya ada dalam literasi dan sejarah, hanya saja hari ini sejarah itu sedang berusaha dikuburkan dan dikaburkan.

Dalam mengurusi urusan umat, ada beberapa catatan yang dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, Islam diterapkan dalam aspek individu. Islam memiliki aturan yang mengatur hubungan individu dengan Allah Subhanahuwa wata'ala dan mengatur hubungan individu dengan dirinya sendiri. Sebagai contoh dalam hal ibadah mahdah adalah bentuk aturan Islam mengatur hubungan dengan Rabbnya yang disebut habluminallah. Namun, tidak hanya itu, Islam juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri yang disebut habluminafsih.

Kedua, Islam diterapkan mengatur hubungan manusia dengan manusia (habluminanas). Di sinilah peran negara dibutuhkan untuk menegakkan hukum Islam dan menerapkan sistem Islam dalam segala aspek kehidupan. Negara yang menerapkan sistem Islam kaffah telah menerapkan mahkota kewajiban. Karena jika negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiah, maka segala bentuk kewajiban yang ada dalam hukum Islam dapat diwujudkan di muka institusi tertinggi, yakni khilafah. 

Korelasi penerapan sistem Islam dalam bingkai negara akan sampai di akhirat, karena jika hukum, sanksi, dan uqubat dapat dilaksanakan di dunia, tentunya ketika di akhirat hisabnya lebih ringan. Karena negara telah menegakkan keadilan di muka bumi. Setiap kezaliman akan ada hisabnya, jika hisab itu tuntas di dunia, pasti tidak akan menjadi beban di pengadilan akhirat. Di sinilah pentingnya penerapan sistem Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah, karena korelasinya sampai ke akhirat. 

Kecuali Khilafah Islamiah, tidak ada sistem pemerintahan yang mampu menerapkan sistem Islam secara kaffah. Seharusnya sistem ini posisinya disejajarkan dengan sistem pemerintahan lain, yang harus dikaji, dipelajari, dan dijadikan solusi atas problematika kehidupan. Hanya saja mereka yang membenci Islam dan tidak ingin Islam menguasai dunia, pasti akan berada di garis terdepan untuk menghalanginya. Namun, mau dihalangi dan dihalau sekuat apa pun, ketika kemenangan Islam itu diturunkan, tidak akan yang mampu menghalangi sekalipun mereka kumpulkan seluruh bala bantuannya.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Mereka menggunakan suara umat Islam hanya untuk meraih kursi kekuasaan, setelah kekuasaan teraih, justru suara-suara kapitalis, korporasi, atau oligarki yang didengarkan dan memengaruhi berbagai kebijakan yang diambil dan diputuskan. Sekarang tinggal umat Islam, mau tetap diperalat oleh calon pemimpin yang bertopeng agamis tetapi berhati bengis atau menjadikan Islam sebagai solusi terhadap problematik bangsa yang sekarang mendera.

Jika pemerintah senantiasa mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menyudutkan Islam, maka mereka sedang menunjukkan wajah aslinya yaitu anti terhadap Islam. Selain itu, sikap memusuhi ajaran Islam dan para pengembannya adalah tindakan yang mengundang kemurkaan Allah SWT. Oleh karena itu, takutlah sedikit dengan Yang Maha Menguasai alam semesta ini. Bagaimana pun rapinya mereka melakukan kejahatan yang terstruktur dan didukung dengan tangan-tangan mereka, tetapi hal itu tidak bisa ditutupi secara terus menerus. Roda terus berputar, suatu saat nanti kebatilan akan kalah dan kebenaran akan menang.

Kecuali Khilafah Islamiah, tidak ada sistem pemerintahan yang mampu menerapkan sistem Islam secara kaffah. Seharusnya sistem ini posisinya disejajarkan dengan sistem pemerintahan lain, yang harus dikaji, dipelajari, dan dijadikan solusi atas problematika kehidupan. Hanya saja mereka yang membenci Islam dan tidak ingin Islam menguasai dunia, pasti akan berada di garis terdepan untuk menghalanginya. Namun, mau dihalangi dan dihalau sekuat apa pun, ketika kemenangan Islam itu diturunkan, tidak akan yang mampu menghalangi sekalipun mereka kumpulkan seluruh bala bantuannya.


MATERI KULIAH ONLINE UNIOL 4.0 DIPONOROGO
Rabu, 13 September 2023 di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum.
#Lamrad
#LiveOpperessedOrRiseAgainst

Oleh: Ika Mawarningtyas
Direktur Mutiara Umat Institute dan Dosen Online Uniol 4.0 Diponorogo 

Posting Komentar

0 Komentar