Bratalegawa, Pengusaha, dan Pengemban Dakwah dari Jawa




TintaSiyasi.com -- Bratalegawa adalah contoh dari seorang pengemban dakwah yang tulus dan pantang menyerah. Meskipun dirinya adalah putra seorang penguasa, namun tidak menjadikan dirinya harus merasa jumawa dengan gelar kebangsawanannya. Dia rela untuk turun ke pelosok desa, demi menyebarkan keyakinan barunya. Dari istana kerajaan Galuh yang masih meyakini ajaran leluhurnya di Jawa Barat, hingga ke lereng gunung Slamet di Jawa Tengah yang masih menganut ajaran Kapitayan menjadi wilayah geraknya. Yang ada dipikirannya hanyalah bagaimana cara agar penduduk pulau Jawa bisa mengenal Islam. Bahkan dia termasuk orang pribumi yang pertama kali mendakwahkan Islam di Pulau Jawa, sehingga mendapatkan gelar Haji Purwa.

Ayah dari Bratalegawa adalah Sanghyang Bunisora, seorang penguasa yang bijaksana dan memiliki pengaruh kuat di tatar Sunda. Dari perkawinannya dengan Dewi Laksmiwati ia memiliki tiga orang anak, yaitu Ki Gedeng Kasmaya, Bratalegawa, dan Dewi Banowati. Semua anaknya berada di lingkaran kekuasaan, kecuali Bratalegawa yang lebih suka berkelana dan menjadi seorang pengusaha. 

Ketika Bratalegawa muda, ia sudah sering berinteraksi dengan para pedagang dari berbagai etnis dan budaya. Bahkan petualangan dan perdagangannya ke mancanegara menghantarkan dirinya untuk mengenal Islam hingga di anak benua India. Perkenalannya dengan Muhammad seorang pedagang muslim dari Gujarat, sebuah kota kesultanan Mughal India, membuatnya lebih tertarik lagi untuk mempelajari Islam dengan lebih mendalam. Kemudian ia menikahi Farhanah, anak perempuan dari sahabatnya tersebut. Dari pernikahan itu kelak membuahkan cucu yang bernama Khadijah yang menjadi istri dari seorang pengemban dakwah asal Malaka yaitu Syaikh Nurjati.

Sepulang dari menunaikan ibadah haji di Baitullah, Bratalegawa kemudian mulai melakukan kontak dakwah kepada keluarganya yang masih menganut ajaran Siwa Budha. Ayahanda Bratalegawa yang seorang resi pertapa sangat mungkin untuk didakwahinya. Kakak laki-laki nya yang menjadi penguasa di Cirebon girang, hingga saudara perempuannya yang menjadi istri dari penguasa kerajaan besar, yaitu Galuh Pakuan, mereka semua telah menjadi sasaran interaksi dakwahnya.

Awalnya Ki Gedeng Kasmaya belum merasa tertarik untuk menerima dakwah Islam dari Bratalegawa, atau mungkin beliau masih merasa kurang nyaman bila langsung berubah secara frontal. Hal ini sangat wajar mengingat sebagai seorang tokoh sentral yang menguasai Cirebon, banyak hubungan yang harus dijaga oleh Ki Gedeng Kasmaya. Apalagi ayahnya adalah seorang pertapa yang sangat kuat dalam memegang ajaran agamanya. Tentu saja ada pertimbangan khusus dalam memutuskan suatu perkara besar agar kemudian tidak melukai hati ayahnya. 

Dakwah Bratalegawa kepada adik perempuannya yaitu Nyi Banowati ternyata tidak pula sederhana. Suami beliau adalah Prabu Niskala Wastu Kencana penguasa Galuh, sebuah kerajaan besar yang merupakan bagian dari Federasi kerajaan Galuh-Sunda yang dikemudian hari lebih dikenal dengan nama Pakuan Pajajaran. Bila ada perubahan yang terjadi pada kerajaan Galuh tentu akan menyebabkan perubahan pula pada hubungan diplomasi dengan kerajaan Sunda. Nyi Banowati bukan tidak percaya kepada saudaranya, namun bakti pada suaminya menjadi pertimbangan penting hingga tidak bisa secara langsung menerima ajaran Islam yang dibawa saudara kandungnya itu.

Namun demikian, jiwa petualangan dan perniagaan Bratalegawa telah membuatnya bisa tetap Istiqomah menjalankan gerak dakwahnya dikalangan masyarakat bawah. Ketika penguasa belum bisa menerima dakwahnya, ia kemudian memilih untuk mendakwahi siapa saja yang mungkin untuk dikenalkannya pada agama barunya, yaitu Islam. Ketangguhannya dalam menanggung beban perniagaan ia aplikasikan dalam medan perjuangan. Bagi Bratalegawa, mendapatkan untung atau rugi adalah hal biasa dalam dunia bisnis yang ditekuninya. Apalagi Islam adalah agama baru yang selama ini belum dikenal oleh banyak orang. Jiwanya tertantang untuk bisa berhasil mendakwahkan Islam di tanah Jawa, meskipun dia masih sendirian.

Dari kisah Bratalegawa kita bisa mengambil hikmah bahwa dakwah itu bergerak laksana air. Ia akan menemukan jalannya sendiri menuju tempat yang memungkinkan untuk dilaluinya. Ketika dihambat, ia akan tetap merembes dan membasahi tanah disekitar kemudian menyuburkannya. Ketika dihadang, air akan mencari celah-celah apapun yang memungkinkan untuk dilewatinya. Bahkan ketika ada tantangan berupa bendungan, air akan bersatu dan menjadi gelombang melampaui dinding penghalang yang paling tinggi. Yang harus kita lakukan adalah bergerak dan terus bergerak hingga dakwah Islam berhasil mendapatkan kemenangan. Allahu a'lam bishshowab. []


Trisyuono Dash Shameel
(Penulis dan Pengamat Sejarah)

Posting Komentar

0 Komentar