Biografi Singkat Syekh Ismail Al-Wahwah, Aktivis Islam Pemberani Australia (1959-2023)

TintaSiyasi.com -- Ismail Al-Wahwah atau biasa dipanggil Abu Anas, lahir di Hebron, West Bank, Palestina pada tahun 1959. Abu Anas memiliki ingatan yang tajam sejak masih kecil, apalagi di saat ia mengalami situasi perang. Ia masih ingat ketika suasana perang dan saat itu usianya masih delapan tahun. Ismail Al-Wahwah merasakan langsung penjajahan yang dilakukan Zionis di tanah kelahirannya, Hebron. 

Akibat situasi sulit di tempat tersebut, semua keluarga yang berada di Hebron berkumpul di Tepi Barat. Ketakutan akan pemerkosaan massal membuat para wanita Hebron menyepakati perjanjian dengan para pria, mereka harus menembak jika Zionis datang bertujuan untuk melakukan pemerkosaan. Peristiwa yang sangat mengerikan dan traumatis yang selalu tertanam dalam ingatannya sepanjang hidup.  

Awal tahun 1970-an, Abu Anas melanjutkan sekolah menengah atas (SMA) di West Bank. Tetapi, saudaranya justru pindah ke Yordania, bertemu, dan bergabung dengan kelompok dakwah yang shahih, bernama partai pembebasan. 

Abu Anas menganggap dirinya saat itu adalah seseorang yang cenderung kepada komunisme. Walaupun ia tidak paham tentang komunisme secara mendalam. Namun, berkat saudaranya, Abu Anas memperoleh informasi meskipun masih terbatas terkait ide-ide dakwah Islam partai pembebasan tersebut. 

Setelah lulus dari sekolah menengah atas (SMA), ia mengambil jurusan tambahan di sekolah menengah atas lainnya yang berorientasi-komunis. Sekolah menengah atas yang baru itu tidak hanya menyebarkan ide-ide kouminis dengan gencar, tetapi manajemennya juga ingin menghancurkan pemuda Muslim, budaya-budaya Islam dengan melakukan ikhtilat (campur baur), tidak punya rasa malu, pesta hura-hura, dan sebagainya.

Ia mulai menyadari, ketika kebijakan yang diterapkan di sekolah tersebut bernuansa Islami, Abu Anas pun berusaha untuk menjauhkan diri dari komunisme. Terlebih ketika ia mendengar mereka menghina Nabi Muhammad saw., rasa tanggung jawab dalam membela Islam kini hadir pada dirinya dan ia pun akhirnya terlibat menyebarkan dan menempel artikel-artikel dakwah di mading sekolahnya. 

Artikel-artikel itu kebanyakan isinya dikutip dari bab Kepemimpian Berpikir dalam Islam pada buku Nidzamul Islam (Sistem Islam), karya fenomenal Syekh Taqiyuddin an-Nabhani. Sebuah buku yang ia pelajari melalui saudaranya itu. 

Abu Anas menggunakan nama anonim dalam tulisan artikel tersebut. Ia menulis tanda tangan atas nama Ahmad Ramzi. Ternyata artikel-artikel tersebut memberikan dampak luar biasa di sekolahnya. Para guru dan siswa merasa terkesan dengan caranya membongkar pemikiran komunis secara intelektual dalam artikel yang disebarnya. 

Untuk waktu yang lama, terjadi sebuah diskusi di sekolah itu tentang sosok pemikir besar Ahmad Ramzi. Sebab tidak ada seorang pun yang pernah mendengar nama itu sebelumnya. 

Respons yang baik terhadap artikel-artikel tersebut menambah keyakinan Abu Anas untuk selanjutnya mengikuti jejak saudaranya dan mulai bergabung dengan kelompok dakwah dalam halakah. Ia mempelajari tiga bab pertama dari buku Nidzamul Islam (Sistem Islam), sebelum memutuskan pindah ke Jerman Timur untuk melanjutkan studinya ke jurusan teknik tahun 1977. 

Tawaran Jadi Mata-Mata untuk Jerman Timur ke Irak 

Ketika Abu Anas mulai menempuh pendidikan tingginya di Berlin Timur, yang saat itu merupakan negara bagian Uni Soviet yang mengadopsi komunisme, Abu Anas mendapati pengalaman kehidupan penuh fitnah dan tidak tahu malu. Bahkan, jauh lebih buruk dari pengalamannya di sekolah memengah atas di West Bank. Setiap tempat mempertontonkan fitnah tanpa rasa malu, ateisme, pesta, khalwat, mabuk serta alkohol. 

Mahasiswa asing juga diajarkan paham komunis terlebih dahulu sebelum mempelajari Bahasa Jerman. Tetapi Abu Anas malah memanfaatkan situasi tersebut untuk banyak berdiskusi dengan para guru tenntang komunisme dan perbandingannya dengan Islam yang telah ia pelajari dari buku Nidzamul Islam.

Ibadah seperti shalat juga dilarang dengan aturan komunisme dan Abu Anas mengetahui tidak ada seorang pun yang shalat di sana. Meskipun begitu, ia memutuskan untuk menantang larangan tersebut dan akan shalat di tempat publik. 

Pertama-tama, ia berwudu di toilet dan seorang pelajar Yaman datang dan berkata, "Kamu sedang apa?”. Abu Anas menjawab, “Sedang berwhudu. Tidakkah kamu tahu wudu di Yaman?".

Pelajar asal Yaman itu pun akhirnya mengungkap bahwa dirinya juga menunaikan shalat tetapi secara rahasia. Akhirnya, keduanya mulai sering bertemu dan berdiskusi. Pelajar Yaman lainnya juga ikut bergabung diskusi dan diikat oleh pemikiran-pemikiran yang sama. 

Abu Anas memulai pertemuan dengan mereka di suatu restoran, tempat ia memberikan kajian buku Nidzamul Islam (sebuah kenangan yang ia sering merasa senang saat mengingatnya. Karena memilih restoran sebagai tempat kajian adalah pilihan yang cukup unik). Dan kebetulan, para pelajar asal Yaman ternyata bagian yang masih aktif dakwah di Yaman. 

Selama liburan musim panas, Abu Anas melakukan perjalanan ke Amman di Yordania, tempat ia menerima pengkajian intensif pemikiran-pemikiran Islam dari partai pembebasan. 

Pada bulan Desember 1979 saat Uni Soviet menginvasi Afghanistan, ada sebuah seminar umum digelar oleh Universitas. Dalam seminar tersebut Abu Anas berdiri lalu berkata, "Afghanistan akan menjadi kuburan bagi Rusia, seperti halnya Vietnam jadi kuburan bagi Amerika.” 

Ungkapan demikian di blok Soviet dinilai tanpa pertimbangan dan tidak benar. Ibarat seseorang menyatakan bahwa di depan Ka’bah terjadi kekufuran. 

Setelah kejadian itu, Badan Intelijen Jerman Timur yang bernama Stasi, mulai mengawasinya. Bahkan, Abu Anas sendiri tidak mempersulit pekerjaan mereka. Di sisi lain, ia memperoleh informasi tentang keberadan partai pembebasan di wilayah Jerman Barat, dari seseorang yang pernah mengirimkannya selebaran melalui sepucuk surat. Ia membagikan selebaran-selebaran tersebut biasanya di tempat keramaian dengan inisiatifnya sendiri, seperti di depan gedung kedutaan negeri-negeri Muslim yang ada di Jerman. 

Semua surat dari Jerman Barat tentu saja dibaca oleh Stasi, dan mereka memutuskan untuk menghentikannya. Mereka mencegat surat yang berisi Tanya Jawab terkait konflik di Iran antara Khomeini dan Ayatullah lainnya. Dalam tanya jawab, tampak bahwa konflik tersebut merupakan ekspresi dari persaingan Amerika-Inggris. 

Abu Anas kemudian dipanggil oleh Kepala Badan Intelijen Stasi dan menyuruhnya untuk melepaskan jaket. Sebelum Abu Anas duduk, Kepala Stasi bertanya, "Siapa yang akan menang, Khomeini atau Ayatullah lainnya?" Abu Anas menjawab: "Islam akan menang".

Kepala Stasi melihat Abu Anas sangat berpotensi jika direkrut menjadi seorang mata-mata. Untuk melunakkan Abu Anas, Kepala Stasi itu mulai membicarakan dukungan Soviet terhadap Palestina. Namun, Abu Anas berkata, ucapannya hanyalah omong kosong belaka. Karena Soviet bersekongkol dengan Zionis sama seperti Barat.  

Kemudian Kepala Stasi itu bertanya kepada Abu Anas agar bersedia untuk bekerja dengan mereka di Irak. "Apa yang akan saya lakukan di Irak?" Abu Anas bertanya. "Menulis apa yang tidak tertulis," jawab Kepala Stasi. Maksudnya adalah gambaran opini publik di Irak. Abu Anas bertanya-tanya, "Mengapa di Irak?". "Ini penting bagi kami," jawab Kepala Stasi.

Abu Anas merasa tawaran itu adalah bentuk penghinaan. Ia lalu memukul meja di hadapannya dan berteriak, “Du bist ein Schwein-Hund! (Dasar Binatang!) Anda kira Irak itu hanya penting bagi Anda dan tidak bagi saya?". Kelapa Stafi itu lalu menyahut, "Kamu orang Palestina”.

Abu Anas menjawab, “Saya seorang Muslim. Irak adalah negeri Muslim seperti negeri Muslim lainnya dan itu lebih penting bagi saya dari apa pun.” 

Kemudian Kepala Stasi mencoba untuk menekannya, “Saya dapat melihat dari berkas-berkas Anda, bahwa masih perlu beberapa tahun lagi untuk melanjutkan program insiyur Anda di sini. Tidakkah Anda ingin menyelesaikannya?” 

Abu Anas menjawab, "Aku lebih suka menjadi pemulung sampah seumur hidup daripada menjadi mata-mata untuk Anda." Kepala Stasi memperoleh begitu banyak penghargan dan rasa hormat dari kesetiaan Abu Anas kepada Islam. Sehingga, ia berdiri dan mengenakan kembali sendiri kepada Abu Anas jaket yang sebelumnya diperintahkan untuk dibuka. 

Sebulan setelah percakapan itu, Abu Anas diminta untuk meningalkan Jerman Timur. Itulah jalannya bagi Abu Anas untuk pindah ke Jerman Barat menyelesaikan studinya di bidang teknik. Selama periode ini, ia juga berkontribusi dalam dakwah di negara-negara Eropa lainnya.

Kembali ke Yordania, Dijebloskan ke Sel Tahanan

Setelah lulus sarjana, ia kembali ke Yordania dan tidak berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai seorang insinyur selama lebih dari 1 bulan, sebelum ia berurusan lagi dengan badan intelijen. Penantian itu hanya berselang sebulan selama hidupnya untuk bekerja sebagai seorang insinyur. 

Abu Anas terus melakukan kegiatan pembagian selebaran dakwah. Suatu waktu, ketika membagikan selebaran di depan salah satu masjid, ia ditahan oleh Badan Intelijen Yordania. Abu Anas dipanggil untuk menghadap Kepala Departemennya. Ia dibawa memasuki sebuah kantor yang luas dan besar serta dihiasi perabotan mahal. Abu Anas baru tiba, langsung ditanya oleh Kepala Intelijen, "Siapa yang memberimu selebaran ini?". Abu Anas menjawabnya dengan provokatif, "Pertanyaannya salah," katanya. Kepala intelijen itu pun tersinggung, "Apa maksudmu mengatakan pertanyaannya salah?” jawabnya.

Abu Anas menjawab, "Andalah yang harus memberi tahu saya dari mana selebaran itu saya peroleh. Anda adalah seorang intelijen.” Setelah mendapatkan respons demikian, Kepala Intelijen tersebut mencoba untuk menjebak Abu Anas demi menjaga martabatnya sebagai pejabat. Ia memerintahkan agar Abu Anas dijebloskan ke dalam sel yang paling kotor. 

Abu Anas mengalami penderitaan yang sangat berat dan situasi yang sulit di dalamnya. Namun sungguh tidak melemahkannya. Abu Anas tetap memberikan jawaban yang sama setiap kali pertanyaan yang sama diajukan padanya. Kepala intelijen tersebut sekali lagi memanggil Abu Anas untuk pertanyaan lebih lanjut. Ia kembali melakukannya demi menjaga reputasinya semata.  

"Saya akan mengajukan serangkaian pertanyaan. Anda dapat menjawab dengan tepat apa yang Anda inginkan. Tapi jangan katakan, 'pertanyaannya adalah salah',” kata kepala intelijen.

Kejadian ini pada umumnya mencerminkan cara kerja intelijen Yordania yang sangat cepat mampu mendeteksi bahwa dakwah partai pembebasan menggenggam keyakinan yang kuat dan tidak bisa dipatahkan. Oleh karena itu, mereka tidak mampu. Hanya dengan pertolongan Allah SWT yang kelak akan menghentikan tekad para intelijen tersebut. 

Ujian Keimanan dan Dakwah di Yaman

Beberapa waktu setelah peristiwa tersebut, Abu Anas pergi ke Yaman untuk membantu pengembangan dakwah di sana. Apalagi ia telah memiliki cukup informasi dan pengetahuan tentang Yaman selama belajar di Jerman Timur. 

Pertama kali berkunjung ke Yaman, ia justru kembali dicekal oleh seorang agen Badan Intelijen Yaman setibanya di Bandara. Agen tersebut menemukan pemberitaan bahwa Abu Anas dalam sorotan negara Yordania dan sebab itulah tidak mengizinkannya masuk ke Yaman. 
"Anda adalah orang Palestina. Apa yang Anda inginkan di Yaman?" tanya agen itu padanya. 

Abu Anas merasa tidak nyaman dengan pertanyaan itu dan ia pun mengakui berasal dari Palestina. Baginya, Palestina adalah tanah semua kaum Muslim. 

"Apakah Anda tahu apa yang terjadi di Masjid Al-Aqsa sekarang?" Abu Anas balik bertanya.

Kemudian Abu Anas mulai menjelaskan yang sedang terjadi di Palestina dan kejahatan-kejahatan yang dilakukan Zionis terhadap Masjid al-Aqsa. Agen itu menjadi sedih dengan kata-kata Abu Anas dan ia pun menangis. Akhirnya ia mengizinkan Abu Anas masuk ke Yaman.

Setelah menjani masa-masa awal yang sulit di Yaman, dakwah pun tidak menemukan keberhasilan yang signifikan. Abu Anas tidak berputus asa. Ia mencoba lagi dengan mengontak orang-orang Yaman yang memiliki pengaruh secara personal, seperti para professor, jurnalis, para anggota parlemen, dan lainnya.

Dakwah partai pembebasan tidak signifikan di Yaman saat itu. Tetapi kabar baiknya, Alhamdulillah, setelah Abu Anas berhasil mengontak target-targetnya secara individu, seruan terhadap khilafah mulai menggema dengan pesat. Di antara orang yang ia kontak, ternyata ada seseorang yang mengadukannya kepada Badan Intelijen Yaman. 

Pengaduan tersebut mengakibatkan Abu Anas ditangkap dan dijebloskan ke penjara di tengah gurun pasir. Kekhawatirannya tertuju langsung kepada istri dan anak-anaknya yang juga berada di Yaman. Sebab tidak ada satupun kerabat dekat atau keluarga yang mereka kenal di Yaman. Meskipun demikian, dengan pertolongan Allah SWT, keluarganya berhasil kembali ke Yordania dengan selamat. 

Abu Anas juga mengatakan, selama berada di penjara di Yaman, ia sempat bertemu dengan pimpinan Partai Pembebasan saat ini, yaitu Sheikh Ataa Abu Rashta. Namun demi alasan keamanan, mereka berpura-pura tidak saling kenal satu sama lain. Keduanya juga tidak saling tegur sapa.  

Penjara gurun pasir itu keras. Awalnya, ia berada di sel para tahanan politik. Otoritas penjara mencoba untuk mematahkan semangatnya dengan menyiksanya. Ketika cara itu tidak berhasil, pihak pengelola penjara mengubah strategi. Mereka memutuskan untuk melemparkannya ke sel dengan para penjahat yang tidak terhormat. Seperti para pembunuh, murtad, homoseksual dan sejenisnya.

Salah satu petugas di penjara yang bersikap baik terhadap Abu Anas berkata, “Aku punya berita buruk untukmu. Sayangnya, aku tidak mampu berbuat apa-apa.”

Abu Anas menjawab, "Khoir, insyaallah." Sipir itu lanjut menegaskan, "Saya harus memindahkan Anda ke sel dengan penjahat terburuk". Abu Anas menjawab lagi, "Khoir, insya Allah".

Di dalam sel, para penjahat itu mencoba menguji Abu Anas. Mereka menghina Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW untuk melihat reaksinya. Namun Abu Anas memutuskan untuk tidak bertindak seperti seorang Syekh kepada mereka. Ia tetap shlalat sendiri, lalu beberapa orang mulai mengikutinya. 

Kemudian ia mulai memberikan pengajaran tentang Islam di dalam sel, yang membuat para penjahat menghormatinya. Manajemen penjara dapat melihat bahwa rencana mereka telah gagal. Mereka ingin memindahkannya lagi sebelum ia bisa 'mengislamkan' para penjahat-penjahat yang ditahan. 

Para napi yang tengah menyuikainya tidak ingin Abu Anas dipindahkan ke sel lain. Mereka bersepakat untuk melawan para sipir penjara hingga terjadi perkelahian. Akhirnya, Abu Anas pun dipindahkan ke sel tahanan yang berisi tahanan politik orang-orang yang taat beragama. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Yaman, saat itu mengumpulkan tahanan aktivis Islam dalam satu sel.  

Pihak pengelola penjara tidak lagi melihat tujuan keberadaan Abu Anas di sana. Sehinga mereka memutuskan untuk membebaskannya. Saat tengah malam, mereka membawa Abu Anas keluar melintasi bukit-bukit di sekeliling penjara dan berkata,

"Kamu bebas untuk pergi. Pulanglah." Abu Anas merasakan firasat buruk saat itu.

Memang tidak terlihat apapun di sekitarnya selain pemnadangan gurun yang gelap. Abu Anas curiga kepada mereka karena pembebasan itu dilakukan tengah malam. Bisa jadi mereka akan menembaknya dari belakang dengan mengklaim bahwa ia mencoba lari dari tahanan. Lalu Abu Anas berkata pada mereka, "Saya akan tinggal di sini. Bagaimana saya bisa pulang dari sini dikelilingi gurun dan gunung padang pasir tengah malam begini?".

Mereka akhirnya memilih untuk mengantarkan Abu Anas ke kota dan menurunkannya di sana. Abu Anas kemudian menelepon keluarganya di Yordania. Sipir penjara yang mengantarkan itu mengatakan kepadanya, “Badan Intelijen Yordania menanyakan Anda." Abu Anas pun menjawab, "Katakan pada mereka saya sedang dalam perjalanan." Ia tidak tahu bahwa sebuah persekongkolan sedang direncanakan. 

Jerat Hukuman Mati untuk Melemahkan Ismail Al-Wahwah 

Setibanya di Bandara Amman, ia kembali ditangkap oleh Badan Intelijen dan dijebloskan ke dalam tahanan sunyi seorang diri dan berlangsung selama setahun. Selama berbulan-bulan, ia tidak punya maklumat atas keberadaan dirinya dalam tahanan itu. 

Melalui sebuah radio yang diselundupkan masuk ke sel, ia kemudian menyadari bahwa persekongkolan telah direncanakan atas dirinya. Ia dituduh dengan kasus perekrutan anak-anak muda untuk rencana pembunuhan Raja. Ia didakwa hukuman mati. Ia sangat terkejut mendengar dakwaan tersebut. Karena berbulan-bulan ia berpikir keberadaannya di penjara hanya karena menjadi bagian dakwah partai pembebasan.

Abu Anas disiksa dengan kejam selama di penjara untuk memaksanya agar mengakui dakwaan tersebut. Lembaga Palang Merah terkadang mengunjunginya di penjara dan menanyakan bagaiman ia disiksa di penjara sementara sipirnya juga ada di ruangan yang sama. Tetapi mereka malah melaporkan sebaliknya, dengan berkata tidak ada bukti penyiksaan yang terlihat. 

Abu Anas mengisahkan bahwa tidur terbaik yang pernah diaalaminya adalah malam sebelum hari keputusan eksekusinya tiba. Sipir penjara yang memantau Abu Anas bertanya kepadanya, bagaimana mungkin bisa tidur dengan nyenyak padahal mengetahui bahwa akan dieksekusi keesokan harinya? Sipir itu lebih lanjut bertanya, "Apakah tidak pantas jika Anda memohon pengampunan dari Raja sehingga dia meringankan hukuman Anda?". Abu Anas menjawab: "Jika saya percaya bahwa ajal saya ada di tangannya maka saya akan meminta pengampunannya."

Proses pembuktian dalam persidangan terlihat jelas ada rekayasa, sehingga membuat publik mulai mengkritik, dan membuat sang Raja semakin tertekan. Tiga hakim yang berbeda menolak untuk menghukum Abu Anas dalam kasus ini. Sang Raja lalu memaafkannya. 

Sementara orang lain yang didakwa bersekongkol atau melakukan konspirasi dengan Abu Anas, bersujud syukur di ruangan persidangan. Tetapi Abu Anas tidak melakukannya. Bukan karena tidak ingin bersujud mengagungkan Allah sebagai rasa syukur, melainkan ia tidak ingin rezim yang menuduhnya malah merasa bangga karena dilepaskan dari jerat hukuman mati.  

Ketika Abu Anas mendapat kabar bahwa sang Rajalah yang telah mengampuninya, ia justru menolak keluar dari penjara, "Saya tidak menerima grasi itu." Abu Anas menulis sebuah makalah yang disalin sendiri sebanyak tiga rangkap oleh tangannya dan memberikan makalah itu ke pengacara dan orang-orang yang berada dalam penjara tersebut. "Bersama dengan makalah ini, Ismail al-Wahwah secara resmi menolak untuk menerima grasi dan menuntut agar semua tuduhan dibatalkan." 

Selang beberapa waktu yang singkat, keinginannya dikabulkan dan semua tuduhan dibatalkan. Selama berada dalam tahanan Yordania, ia juga kembali melihat pimpinan partai pembebasan untuk kedua kalinya. Tetapi mereka tetap bersikap seperti tidak saling mengenal, serta tidak saling tegur sapa.  

Kisah lain yang tidak kalah penting dari seorang Abu Anas adalah ketika dalam masa tahanan di Yordania, dukungan penuh dari sang isteri yang tidak pernah mengeluh tentang perkara finansial, keamanan, dan kesulitan akomodasi yang mereka rasakan.

Suatu hari, ayah Abu Anas juga pernah mengunjunginya di penjara. Ia meminta agar Abu Anas meninggalkan dakwah partai pembebasan, karena hanya menjadi sumber masalah baginya. Abu Anas tidak ingin membuat ayahnya marah. Ia hanya menjawab sederhana, “Khoir, insya Allah”. 

Sang ayah memahami dari kalimatnya bahwa ia yakin jika Abu Anas setuju untuk meninggalkan partai pembebasan dan berhenti menyerukan dakwah perjuangan menegakkan khilafah.  

Ummu Anas, sang istri datang menjenguk ke penjara dengan perasan kecewa, "saya mendengar dari ayahmu bahwa Anda ingin meninggalkan dakwah?"

Abu Anas dengan jelas dapat merasakan kesalahpahamannya dan menceritakan yang sebenarnya dari maksud ucapan kepada ayahnya itu. Ia berhasil menenangkan hati Ummu Anas. Abu Anas sangat bangga dengan pendirian istrinya dan merasa diberkahi telah menikah dengan wanita yang salehah.

Intelijen Yordania terus mengganggu Abu Anas setelah ia dibebaskan dari penjara. Dakwah praktis menjadi sesuatu yang mustahil baginya di Yordania. Suatu hari ia membaca ayat:

قُلْ يَـٰعِبَادِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ ف ِى هَـٰذِهِ ٱلدُّنْيَا حَسَنَةٌۭ ۗ وَأَرْضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى ٱل صَّـٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍۢ 

Katakanlah,” Wahai hamba-Ku yang beriman! Berhati-hatilah dengan Tuhanmu. Mereka yang berbuat baik di dunia ini akan mendapat pahala yang baik. Dan bumi Allah itu luas. Hanya mereka yang bertahan dengan sabar yang akan diberi pahala tanpa batas.” [Az-Zumar 39:10]

Ia kemudian memutuskan untuk meninggalkan Yordania dan menetap di Australia. Abu Anas sering dikirim untuk membantu jalannya dakwah di negara lain, dan juga menjadi anggota Kantor Pimpinan partai pembebasan. 

Tahun 2018, ia kembali melakukan perjalanan ke Yordania. Negara yang sama tempat ia sebelumnya pernah dijatuhi hukuman mati! Kecintaannya pada dakwah, ummat dan keluarga terlalu besar untuk ia tinggalkan. Hal ini menyebabkan paspornya disita oleh Badan Intelijen dan lagi-lagi ditahan selama setahun dengan kondisi sakit.

Seperti ujian sebelumnya, ia dengan berani menghadapinya dengan cara yang menginspirasi. Ujian itu tidak mengguncangnya sedikit pun, tetapi justru menguatkan kemauan dan kepercayaannya kepada Allah SWT.

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

“Orang-orang yang diperingatkan, “Musuhmu telah mengerahkan pasukannya untuk melawanmu, maka takutlah mereka,” peringatan itu hanya membuat iman mereka semakin kuat dan mereka menjawab, “Allah saja sudah cukup sebagai bantuan untuk kami dan ˹ Dia adalah Pelindung terbaik.” [Ali-Imran 3:173]

Inilah kisah-kisah yang terjadi dalam hidupnya. Setiap sikapnya membuktikan karakter dan keyakinan yang dimiliki lekali ini. Kepedulian terhadap dakwah dan kondisi kemuliaan ummat telah menyita waktu dalam hidupnya sebagian besar. Abu Anas adalah sosok yang selalu berbicara dari hati dan mempengaruhi orang dengan ketulusan dan kehadirannya yang begitu hangat. 

Sungguh luar biasa, sudah banyak orang yang telah ia pengaruhi dan meninggalkan jejak-jejak yang baik. Semoga menjadi amal jariyah baginya.

Reaksi di seluruh dunia ketika didiagnosa menderita kanker, dan menjalani perawatan adalah bukti nyata betapa ia dikagumi dan berarti bagi banyak orang. Ada satu perlakuan yang membuat Abu Anas sempat menangis. Ketika ia melihat orang-orang dari Yaman membangun masjid atas namanya sebagai sedekah memohon kepada Allah SWT untuk menyembuhkannya dari penyakitnya.

Ia mengakhiri hidupnya seperti selama ia ia habiskan, yaitu dalam rangka ketaatan kepada Allah SWT. Ia tidak menunjukkan apapun dalam hidupnya kecuali ketekunan dan kesabaran selama dalam masa pengobatannya dan keikhlasan total terhadap keputusan Allah SWT. Ia menghabiskan waktu-waktu terakhirnya dalam shalat malam hingga Allah menjemputnya di waktu fajar. 

Semoga Allah memberi kita kekuatan dan petunjuk untuk mengikuti jejak para Sahabat dan keikhlasan para pengemban dakwah serta melewati cobaan-cobaaan di dunia dan akhirat.
رحمة الله عليك يا غالي 

(Diterjemahakan M. Siregar TintaSiyasi.com dari tulisan Taimullah Abu-Laban, Mei 2023 dengan perubahan seperlunya, melalui akun Taji Mustafa)

Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid0XCzkNah9UDKSSANcJZHSDtMzp8onRxaJKtUxkPNWyPdxXD7VW68TNgBGEygrVqfdl&id=100050210961964&mibextid=Nif5oz)

Posting Komentar

0 Komentar