Perilaku Anak Makin Sadis dan Bengis: Inikah Buah Pendidikan Sekuler Liberal?


TintaSiyasi.com -- Dilansir dari Kompas.com (20/5/2023), MHD (9), bocah kelas 2 di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Jabar), meninggal dunia akibat dikeroyok oleh kakak kelasnya pada Senin (15/5/2023). 

Keesokan harinya, Selasa (16/5/2023), korban memaksa tetap masuk sekolah meski dalam keadaan sakit, namun nahas, saat itu korban kembali dikeroyok oleh kakak kelasnya. 

Akibat pengeroyokan terakhir, korban harus dilarikan ke RS Primaya pada Rabu (17/5/2023) akibat mengalami kejang-kejang. Mengalami kritis selama tiga hari, korban pun dinyatakan meninggal dunia pada Sabtu (20/5/2023). 

Berdasarkan keterangan dokter, korban mengalami luka pada bagian organ dalamnya. "Hasil visum korban mengalami luka pecah pembuluh darah, dada retak, dan tulang punggung retak," jelasnya. 

Bullying memang bukan kasus baru dalam dunia pendidikan, bahkan menjadi tren liar di kalangan anak. Dosa besar dunia pendidikan ini sudah kerap memakan korban, namun tak kunjung mampu diselesaikan oleh para pemangku kekuasaan. Orang tua pun dibuat tak berkutik dan kewalahan. Nampaknya perilaku anak makin lama makin sadis dan bengis.


Mengungkap Pendidikan Sekuler Liberal Menjadi Penyebab Perilaku Anak Sadis dan Bengis 

Perilaku bullying kian hari makin marak di kalangan remaja dan bahkan anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Terbukti bukan kali ini saja namun kerap ditemukan kasus bullying yang pelakunya anak sekolah dasar. Bahkan makin hari perilaku bullying ini makin sadis dan bengis. 

Melihat kondisi yang makin parah ini, sudah seharusnya kasus ini menjadi perhatian serius para pemangku kepentingan pendidikan. Kejadian yang terus berulang menunjukkan bahwa bahaya bullying atau perundungan masih mengintai. 

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dalam keterangannya, Senin (22/5/2023) mengatakan, "Kasus tewasnya siswa SD di Sukabumi karena diduga dikeroyok oleh teman sekolah menambah panjang deretan korban meninggal karena perundungan di lingkungan sekolah. Kasus ini kembali menjadi warning bagi semua stake holder pendidikan jika perundungan tidak hanya dosa besar, tetapi juga ancaman nyata." (Republika, 22/5/2023). 

Bullying yang meskipun telah diakui oleh pemangku kepentingan sebagai salah satu dosa besar yang haram terjadi di lingkungan sekolah, namun nampak belum ada langkah kongkret untuk menurunkan kasus perundungan di satuan pendidikan. Terbukti dengan terus munculnya korban jiwa dari anak-anak akibat perundungan atau bullying yang terjadi di lingkungan sekolah. 

Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sejak tahun 2011-2019 tercatat ada 574 anak laki-laki dan 425 anak perempuan menjadi korban perundungan di sekolah. Sedangkan 440 anak laki-laki dan 326 anak perempuan tercatat sebagai pelaku perundungan di sekolah. Sedangkan sepanjang tahun 2021 setidaknya ada 53 kasus perundungan yang terjadi di berbagai jenjang di satuan pendidikan. Jumlah ini menurun karena sebagian besar sekolah ditutup karena pandemi (Republika, 22/5/2023). 

Masih di laman Republika (22/5/2023), kasus perundungan menurut Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menunjukkan tren naik saat sekolah-sekolah kembali melakukan pembelajaran tatap muka seiring dicabutnya status pandemi Covid-19. Dalam beberapa waktu terakhir juga muncul kasus perundungan yang memakan korban jiwa di Tasikmalaya, Jawa Barat. Sepanjang tahun 2022 misalnya KPAI mencatat kenaikan signifikan kasus bullying yakni sekitar 226 kasus, atau meningkat empat kali lipat dibandingkan tahun 2021. 

Adanya peningkatan kasus bullying secara signifikan dan menelan banyak korban jiwa, sudah semestinya bullying menjadi emergency case yang harus secepatnya diselesaikan. Maka sudah seharusnya penyelesaiannya harus komprehensif, bukan sekadar sibuk menyiapkan regulasi, anggaran, program, namun juga dicari akar penyebab meningkatnya perilaku sadis dan bengis pada anak yang menjadi tren hari ini. 

Konsep pendidikan yang berbasis sekuler liberal tak dapat dipungkiri sebagai pembentuk utama perilaku anak makin sadis dan bengis. Bukan hanya menjadi dasar kurikulum pendidikan, akan tetapi sekuler liberal ini telah meracuni pemikiran masyarakat sehingga tanpa sadar mewarnai pola pendidikan baik di keluarga maupun lingkungan masyarakat. 

Nampak dari beberapa faktor yang memicu perilaku sadis dan bengis anak, di antaranya: 

Pertama, hilangnya peran keluarga dalam mendampingi terbentuknya karakter seorang anak. Tidak sedikit perceraian antara kedua orang tua menimbulkan ketidakharmonisan suatu bangunan keluarga menjadikan pendidikan anak terlantar dan hanya diserahkan kepada sekolah. Belum lagi beban kesibukan ayah dan ibu dengan pekerjaannya, kelelahan bekerja berujung penelantaran dan kurangnya kasih sayang serta perhatian memunculkan ketidakpuasan dan kekesalan pada anak. Juga pola asuh yang sekuler makin menjauhkan anak dari agama, serta membiarkan anak bebas berperilaku tanpa pemantauan ketika di luar rumah. 

Kedua, tontonan kekerasan. Tidak dipungkiri berbagai tontonan kekerasan, baik dalam film ataupun game telah marak dan dibiarkan diakses oleh anak-anak. Alhasil, tontonan ini dapat memicu pembentukan perilaku anak makin sadis dan bengis. Mereka mencontoh apa yang dilihat karena tanpa adanya bimbingan keluarga. 

Ketiga, hilangnya peran masyarakat untuk turut peduli terhadap kualitas generasi. Sikap materialistik dan individualistik membelenggu serta sikap acuh. Padahal masyarakat merupakan salah satu pilar penopang kualitas generasi. Masyarakat yang peduli akan mudah mengenali ketika terjadi perubahan yang diluar kewajaran terhadap kondisi anak-anak di sekitar lingkungan. Dan akan berusaha turut menciptakan kondisi yang kondusif dan nyaman bagi perkembangan perilaku anak. 

Keempat, yang paling penting hilangnya peran negara sebagai pelindung generasi. Negara memiliki kewajiban menjaga generasi agar tidak terpapar segala jenis tontonan yang mencerminkan tindak kekerasan, psikopat, nihil empati. Namun negara sepenuhnya abai terhadap tanggung jawabnya ini, negara sebagai penyelenggara pendidikan bagi generasi dan kontrol masyarakat tidak menjalankan fungsinya sebagaimana seharusnya. 

Atas nama keuntungan negara melegalkan segala jenis tontonan yang merusak tanpa adanya filter, tanpa peduli dampak yang ditimbulkan dapat menciptakan pengaruh buruk bagi perkembangan perilaku generasi. 

Dalam sistem kehidupan sekuler, anak sangat minim dibentengi dengan akidah agamanya. Kurikulum pendidikan yang dirancang oleh negara pun jauh dari menjadikan agama sebagai dasarnya. Bahkan, tren perilaku liberal menghalalkan anak berperilaku sesukanya. 

Oleh karena itu, pola pendidikan yang sekuler liberal baik dalam konsep pendidikan formal maupun informal di keluarga dan lingkungan akar terciptanya generasi yang berperilaku sadis dan bengis. Sistem kehidupan sekularisme liberal telah menjadi biang kerok atas rusaknya generasi bangsa.


Dampak Perilaku Sadis dan Bengis pada Anak 

Perilaku sadis dan bengis pada anak yang diakibatkan pola pendidikan sekuler liberal akan berdampak besar terhadap generasi. Padahal generasi merupakan aset besar bagi kelangsungan sebuah peradaban. Perilaku sadis dan bengis ini memang tidak mengejutkan bila terbentuk dari pemahaman sekuler liberal yang telah meracuni bangunan keluarga, lingkungan masyarakat, bahkan tata kelola pengurusan negara. 

Dampak perilaku sadis dan bengis pada anak, di antaranya: 

Pertama, merusak tatanan sosial masyarakat. Perilaku sadis dan bengis pada anak jika dibiarkan akan merusak dan menjauhkan anak dari lingkungan yang aman. Lebih mirisnya, pelakunya anak-anak dan korbannya pun anak-anak. Maka yang nampak sistem pergaulan pada anak tercipta hukum rimba, siapa yang kuat merekalah yang menang. Membiarkan anak dengan perilaku liberalnya akan menjadi bom waktu tersendiri bagi kelangsungan generasi. 

Kedua, makin banyak korban. Perilaku sadis dan bengis pada anak akan mematikan empati pada diri anak, tak lagi memiliki belas kasih dalam dirinya. Alhasil, di saat diliputi kekesalan dan kemarahan akan cenderung melampiaskan sesuka hatinya. Ketika agama tidak ditumbuhkan membentengi akidah mereka, maka hawa nafsunya akan menjadi motor penggerak setiap perilakunya. Apalagi tidak ada muncul rasa bersalah, pelaku tidak menutup kemungkinan akan terus mengulangi terus perilaku sadis dan bengisnya. 

Ketiga, hancurnya masa depan peradaban. Anak adalah tonggak penerus peradaban bangsa, yang akan menjadi gambaran terbangunnya peradaban di masa mendatang. Maka jelas akan tergambar nyata peradaban seperti apa yang akan tercipta ketiga anak-anak hari ini dibiarkan tumbuh memiliki perilaku sadis dan bengis. Kerusakan peradaban akan makin parah ketika hal ini tidak diselesaikan secara komprehensif dari akarnya. Nampak bahwa sistem yang rusak maka akan merusak generasi pula.


Strategi Pendidikan Islam Menjauhkan Anak dari Perilaku Sadis dan Bengis 

Pendidikan Islam menjadikan akidah Islam sebagai dasarnya. Akidah Islam tidak hanya dijadikan dasar kurikulum pendidikan, namun juga menjadi akidah setiap individu Muslim agar yang nampak dari perilakunya mencerminkan karakter seorang Muslim yang sesungguhnya. Islam menjadikan keimanan dan ketakwaan sebagai landasan dalam setiap perbuatan, sehingga menjadi benteng dari perilaku sadis dan bengis. Ketika perilaku seorang generasi Muslim mencerminkan ketakwaan, maka perilakunya akan menyesuaikan perintah-Nya dan larangan-Nya. 

Dalam Islam, persoalan darah kaum Muslim bukanlah perkara yang remeh. Ada banyak ancaman yang Allah SWT sebutkan—baik dalam Al-Qur’an maupun di dalam hadis nabi-Nya—terhadap siapa saja yang melenyapkan nyawa kaum Muslim tanpa ada alasan yang dibenarkan di dalam syariat karena di sisi Allah SWT, nyawa kaum Muslim memiliki nilai yang tinggi. Bahkan hancurnya dunia sekalipun, itu masih lebih ringan dibandingkan dengan hilangnya nyawa seorang Muslim. 

Rasulullah SAW bersabda, “Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang Muslim.” (HR. An-Nasa’i). 

Sistem Islam dalam bingkai khilafah terbukti mampu mencetak generasi unggul pengisi peradaban emas. Seperti Ali bin Abi Thalib dia adalah pemuda yang pertama kali masuk Islam, melalui didikan Rasulullah SAW Ali bin Abi Thalib tumbuh menjadi mujahid Islam yang senantiasa ikut berperang membela Islam. Mus’ab bin Umair pemuda tampan dan kaya raya, rela meninggalkan hartanya demi melaksanakan amanah suci membawa dakwah Islam sampai ke Madinah. Zaid bin Harits yang ingin ikut berangkat berjihad di usia yang masih muda belia. 

Perempuan tangguh yang populer juga datang dari Nusaibah binti Ka’ab dengan bahagia beliau turun ke medan perang melawan musuh-musuh Islam demi melindungi baginda Muhammad SAW. Sekalipun dia seorang perempuan dia tak gentar menjadi pelindung Nabi Muhammad SAW. Begitu juga Muhammad Al Fatih yang kisahnya fenomenal dan populer sampai hari ini. Pada usia 21 tahun Muhammad Al Fatih mampu menaklukkan kota Konstantinopel, beliau ahli ketentaraan, strategi perang, sains, matematika, dan mampu menguasai 6 bahasa. 

Belum pula lahir empat Imam mahzab yang ahli hukum Islam yaitu Imam Maliki, Imam Ahmad ibn Hanbal, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi’i. Kemudian ditambah lagi para ilmuwan Muslim yang berperan penting dalam sains dan teknologi masa kini. Seperti Ibnu Sina ahli kedokteran, Al Khawarizmi ahli matematika, Jabbir Hayyan ahli Kimia, Ibnu Rusydi ahli astronomi, dan masih banyak lagi yang lain. 

Kegemilangan generasi yang tercipta pada zaman peradaban Islam tercipta dari penerapan syariah Islam dalam segala aspek kehidupan. Akidah Islam dijadikan dasar atas segala aturan melahirkan jiwa-jiwa yang taat pada syariat baik penguasa maupun rakyatnya. Sehingga tidak mungkin akan tercipta anak berperilaku sadis dan bengis karena adanya kontrol dari negara, masyarakat, dan keluarga. 

Anak dalam pandangan Islam dibedakan tidak berdasarkan pada berapa usianya, namun didefinisikan dengan status baligh atau belum. Karena pendefinisian anak sangat erat kaitannya dengan pemenuhan hak-haknya dan kewajiban-kewajibannya yang akan ditanggungnya. 

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Diangkatlah pena dari tiga golongan; orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia remaja (baligh), dan orang gila hingga ia berakal (sembuh)." (HR Tirmidzi No.1343). 

Konsekuensi dari status baligh adalah dikenainya pembebanan hukum dan akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh perbuatannya. Baligh ini sebagai pertanda seseorang telah terkena beban taklif syarak, yaitu harus melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. 

Anak dan remaja sebagai bagian dari masyarakat berhak memperoleh pemenuhan kebutuhan hidupnya secara optimal. Anak dan remaja yang hidup dalam Daulah khilafah Islam, mendapatkan pendidikan yang bertujuan membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah) serta dibekali dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan. 

Agar terbentuk karakter kepribadian ini maka pendidikan dilaksanakan secara terintegrasi antara sekolah, lingkungan dan keluarga dengan cara pandang yang sama yaitu menjadikan akidah Islam sebagai dasar pembentukan kepribadian Islam baik pola pikir maupun pola sikapnya. 

Selain itu Khilafah Islam didukung dengan penerapan sistem politik ekonomi yang mampu memberi jaminan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, sehingga wajarlah bila khilafah Islam mampu melahirkan generasi yang hidup tumbuh dan berkembang secara optimal, memiliki pemikiran dan perilaku yang cemerlang. 

Sistem syariah Islam dalam bingkai khilafah terbukti mampu mencetak generasi gemilang dan pengisi peradaban emas. Karena sistem Islam adalah sistem yang sahih dari Zat Pencipta manusia, wajar saja jika yang lahir adalah generasi gemilang. Oleh karena itu, sudah seharusnya sebagai Muslim apabila menginginkan generasi unggul yang jauh dari perilaku sadis dan bengis, maka memperjuangkan kembalinya kehidupan Islam menjadi prioritas utama. []

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

Posting Komentar

0 Komentar