Mengapa Nakba Terjadi? Begini Penjelasannya

TintaSiyasi.com -- Memperingati peristiwa Nakba yang terjadi tepatnya 15 Mei 1948 di Palestina, Abdul Waheed menegaskan bahwa hal tersebut sesungguhnya masih terjadi hingga saat ini. 

“Nakba adalah bencana. Atau malapetaka. Sebanyak 750.000 warga Palestina diserang. Laki-laki maupun wanita dibunuh, dan juga diperkosa. Lebih dari 5 juta yang hingga saat ini tertahan di pengasingan. Inilah Nakba. Bencana dan malapetaka yang masih terjadi hingga saat ini,“ tuturnya dalam video yang berjudul Undestanding The Nakba And The Future Of Palestine, di kanal YouTube Hizb Britain, Selasa (16/05/2023). 

Bencana atau yang dikenal dengan peristiwa Nakba itu terjadi menurut aktivis Islam Inggris itu, awalnya bukanlah hal yang didukung oleh kelompok Zionis atas nama  agama. Namun, menjelang abad ke 20, mayoritas Yahudi (agama) bertujuan untuk menetap di tanah yang diberkahi itu (Palestina) dengan alasan agama. 

Apalagi dengan tujuan belas kasihan rasa kemanusiaan atau keprihatinan dari beberapa orang Eropa maupun Inggris terhadap kondisi Yahudi yang tersebar luas dan terlantar, serta konflik anti-semit antara politik dan politis Eropa. Tentu saja lanjut Abdul Waheed bukanlah alasan terjadinya bencana tersebut. 

Salah satu tokoh Inggris yang terlibat langsung dalam penyerahan tanah Palestina kepada Zionis adalah Belfour. Seorang  politisi Inggris yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris pada tahun 1917. Belfour  menandatangani suatu dokumen perjanjian yang isinya menyerahkan Palestina ke tangan Zionis

Abdul Waheed mengungkap, Belfour menyatakan bahwa kelompok Yahudi adalah orang asing yang dibawa masuk ke Inggris, sehingga mereka terancam akan dipersekusi di wilayah Eropa Timur. Mereka (kelompok Yahudi) yang ada di Eropa Timur ditempatkan sebagai pengungsi di Inggris. 

Belfour dan politisi Inggris lainnya seperti Mark Sykes, Llyod George yang menjabat di kabinet Inggris Raya, mengabaikan permintaan dari perwakilan Yahudi di parlemen seperti  Edwin Montague yang telah berjanji akan memberikan tanah kepada kelompok Yahudi di Palestina. 

“Warga Yahudi di Inggris merasa jika mereka adalah kalangan masyarakat kelas-dua. Sehingga, inilah yang saya katakan bahwa Nakba bukan tentang dukungan kaum Yahudi atas nama agama. Tetapi terjadi ketika negara kolonialis seperti Inggris mendukung proyek Zionis,” terangnya. 



Kolonialis Inggris Mendukung Proyek Zionis, Pintu Peristiwa Nakba

Dukungan dari Ingris terhadap proyek Zionis inilah menurut Abdul Waheed yang menghantarkan kepada peristiwa al-Nakba (malapetaka) tersebut. Kemudian, satu persatu kolonialis Inggris mulai tertarik untuk mengambil keuntungan dari proyek dukungan kepada Zionis. 

“Ronald Storrs, seorang diplomat senior Inggris yang berada di Palestina ketika Inggris memperolah mandat di sana, pernah berkata bahwa Inggris menginginkan Lilltle Jewis Ulster,” ungkap Abdul Waheed. 

Little Jewis Ulster, kata aktivis Islam Inggris itu adalah seperti di wilayah Utara Irlandia. Ronald Storrs menganalogikannya seperti Irlandia Utara karena tempat itu adalah satelit bagi Inggris di Irlandia. Menurutnya, Inggris menginginkan kelompok Zionis di Palestina diberlakukan dengan cara yang sama seperti Irlandia Utara. 

Ronald Storrs pada akhirnya menyimpulkan untuk membawa kelompok Yahudi dari Inggris dengan jumlah yang sangat besar masuk ke tanah Palestina. Dengan demikian, mereka (Yahudi) harus menunjukkan rasa terimakasih kepada kolonialis Inggris dengan cara memberikan keuntungan bagi Inggris sebagai sebuah koloni di jantungnya wilayah Timur Tengah. 

Lanjut lagi Abdul Waheed berkata, kemudian seorang Diplomat Senior Inggris yang menjabat sebagai Sekretaris Menteri Luar Negeri, Lord Curzon menyatakan bahwa langkah tersebut adalah demi memperoleh keuntungan bagi Inggris di Timur Tengah yang harus dijaga. Dan dukungan terhadap Zionis juga perkara sangat penting bagi Inggris dan negara lainnya di Eropa, bahkan termasuk di Asia seperti India. 

Ia juga mengatakan, tidak terkecuali Amerika yang selalu ingin mencari keuntungan dari strategi kolonialisme mereka sendiri untuk mendukung Zionis. 

Al-Nakba, Malapetaka Ciptaan Inggris

Bagaimana kolonialis Inggris menciptakan al-Nakba (malapetaka)? Abdul Waheed menuturkan, setelah Inggris menduduki/menjajah Yerusalem dalam Perang Dunia I tahun 1917, kemudian membagi-bagi tanah Palestina di bawah perjanjian Skykes-Picot, serta rencana penghapusan khilafah. 

“Setelah Inggris menduduki Yerusalem pada Perang Dunia I tahun 1917, Inggris membagi-bagi tanah Palestina di bawah perjanjian Sykes-Picot, serta berencana untuk menghapuskan khilafah, pelindung yang telah menjaga tanah yang diberkahi itu selama berabad-abad lamanya,” beber Adbdul Waheed. 

Setelah pendudukan itu, terasa begitu jelas katanya perubahan geopolitik yang terjadi di Timur Tengah, yang sesunguhnya sudah disiapkan oleh kolonialis Inggris. Inggris kemudian mengontrol Palestina sepenuhnya dan hal tersebut diamini oleh ribuan kaum Yahudi Eropa yang bermigrasi ke Palestina. 

“Jumlah mereka yang datang sangat banyak. Antara tahun 1918 hingga 1948 mencapai 60.000. kemudian setelah jumlahnya mencapai 700.000, mengantarkan kepada konflik sektarian antara etnis Yahudi dan Arab. Selanjutnya mengantarkan pada pembentukan kelomok teroris Zionis yang meminta agar tercipta lingkungan yang aman,” jelasnya. 

Selanjutnya, Inggris, juga negara-negara Barat lainnya termasuk di dalamnya PBB, mengatakan bahwa di sana (Palestina) membutuhkan perdamaian, dan harus dilakukan pembagian wilayah antara Arab dan Yahudi. Itulah ungkap Abdul Waheed yang dikenal dengan solusi two state (dua negara).

Bagaimana Sikap Penguasa Muslim Hari Ini?

Ketika malapetaka ini terjadi, bagaimana sikap penguasa Muslim? Abdul Waheed mengatakan sangat tidak sebanding dengan para penguasa Islam sebelum meletusnya perang dunia I. 

“Bandingkan mereka (penguasa negeri Muslim sekarang) dengan penguasa Islam sebelum perang dunia I. Ketia ditawari uang yang sangat banyak untuk menjual Palestine kepada Zionis, ia menolak dan mengatakan bahwa tidak akan menjual tanah kaum Muslim walau hanya sejengkal,” tutur Abdul Waheed. 

Penguasa Islam di zamannya memahami betul bahwa Palestina adalah milik umat bukan milik pejabat. Sebab kaum Muslim membayarnya dengan darah dan akan mempertahankannya dengan nyawa dan darah juga. 

“Saat Sultan Abdul Hamid mengatakan agar mengembalikan uang Zionis dan mengatakan jika mereka tidak akan pernah bisa mendapatkan bagian dari tanah yang diberkahi. Jika mereka mendapatkannya secara gratis, itu hanya akan terjadi jika Abdul Hamid sudah tiada. Itulah sosok Abdul Hamid II, khalifah hebat yang pernah dimiliki umat ini,” katanya. 

Namun, setelah perang dunia I, khilafah dihapuskan, kaum Muslim ditimpa kepedihan, dibiarkan terlantar, tanahnya dibagi-bagi dengan aturan-aturan penguasa yang memiliki hubungan kepentingan dengan penjajah Barat. Serta berkoalisi untuk mendukung Zionis menduduki Palestina. 

Pada tahun 1948  lanjut Abdul Waheed, para pendukung kolonialis dan Zionis mengatakan harus mengakhiri sengketa yang terjadi di Palestina demi mempertahankannya. Tetapi ironis, justru itulah akhirnya menjadi jalan untuk menyerahkan tanah Palestina dan mengakui entitas Zionis setelah proses perdamaian hingga sekarang. 

Salah satu perjanjian damai yang dikenal seperti The Abraham Accords (Perjanjian Abraham), menurutnya adalah bukti dukungan negeri-negeri Muslim terhadap Zionis dan timbulnya malapetaka tersebut. 

“Lalu bagaimana selanjutnya, setelah malapetaka ini terjadi? Tanah telah dibagi-bagi, khilafah dihapuskan, Palestina dijajah. Maka harus kembali dilihat sebaliknya, yaitu mendirikan kembali khilafah sebagai kepemimpinan yang Ikhlas dan akan menyatukan kembali sekat-sekat, sumber daya umat, dan membebaskan Palsetina,” jawabnya. 

Ia menyampaikan bahwa kembalinya khilafah adalah janji Allah swt. kepada Rasulullah saw. Bahkan Jerusalem dikabarkan oleh Nabi sebagai tempat berdirinya ibukota kekhilafahan berikutnya. 

Abdul Waheed yakin, bahwa segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah swt. tidak ada siapapun yang mampu untuk mengubahnya. Dan janji Allah untuk Jerusalem pasti akan tercapai. 

“Rasulullah saw mengatakan hal ini. Khilafah berlangsung setelah Al-Madinah dan berpindah ke Syam, kemudian ke seluruh wilayah Jazirah, Iraq, kemudian ke kota yang dimaksud yaitu Konstantinopel, dan Baitul Maqdis,” Pungkasnya [] M. Siregar

Posting Komentar

0 Komentar