Suramnya Masa Depan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia


TintaSiyasi.com -- Laporan Transparency Internasional terbaru menunjukkan, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 pada 2022. Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya. Penurunan IPK ini turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia secara global. Tercatat, IPK Indonesia pada 2022 menempati peringkat ke-110 dr 180 negara yg disurvey. Ini berarti, proyek pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia masih jauh dari harapan.

Dalam program pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor) perlu dipahami terlebih dahulu tentang misi UU Pemberantasan Tipikor. Bila melihat tujuan utama UUPTPK sebagaimana Pasal 4 UUTipikor, maka misi UU ini adalah selain ada pengembalian kerugian keuangan negara tetapi juga memidana pelaku. Oleh karen itu, kita bisa menegaskan bahwa selain penegakan hukum juga bagaimana UU berorientasi pada perwujudan keadilan social (social justice). Hal ini mengamini apa yang dikatakan oleh Brian Z Tamanah dalam on the Rule of Law (ROL), yang membagi dua model ROL yakni formal dan substantif. ROL formal hanya menekankan pada penggunaan hukum sebaga alat untuk social control bahkan sekedar dipakai sebagai alat legitimasi kekuasaan saja, sedang dalam pandangan ROL Substantif usaha penegakan hukum diarahkan hingga pencapaian kesejahtetaan sosial (social welfare). 

Sampai di sini tampak bahwa UU Tipikor sangat erat hubungannya dengan ideologi negara dan bangsa, yakni Pancasila khususnya sila kelima, yakni keadilan sosial bagi seluruh Indonesia. Seharusnya pemberantasan korupsi berkorelasi langsung dengan penciptaan masyarakat yg sejahtera. Mengingat misi yang demikian berat itu, maka penegakan hukum di bidang korupsi tidak boleh berhenti pada tataran penegakan aturan (kepastian hukumnya) melainkan harus lebih progresif mencapai misi UU Pemberantasan tipikor tersebut. Penegakan hukum progresif menjadi tantangan tersendiri untuk menghadirkan keadilan substantif ke tengah masyarakat (bringing justice to the people). 

Multiplying Effect TiPikor

Kerugian negara yang sering menjadi salah satu ada tidaknya unsur pidana dalam TPK hanyalah awal saja dari efek korupsi. Multiplying effect-nya adalah pembunuhan ideologi bangsa dan negara melalui celah masuknya perilaku para pejabat negara yang bermental korup. Ini yang kita sebut dengan ideology corruption. Runtuh ideologi negara bangsa oleh karena tindakan korup itu. Nilai-nilai Pancasila juga bisa hancur karenanya. Oleh karena itu ketika seseorang itu melakukan tindakan korupsi maka ia sebenarnya telah merongrong "kesaktian" Pancasila. Jadi, korupsi itu bertentangan dengan Pancasila. Implikasinya ketika suatu ormas orpol anggotanya banyak yg melakukan korupsi mestinya ormas atau orpol tersebut mestinya bertentangan dengan Pancasila dan seharusnya dapat dicabut Badan Hukum-nya hingga dapat pula dibubarkan atau bahkan dilarang.

Di samping effect ideologis, ada efek lain yang tidak kalah bahayanya dari TP korupsi terutama korupsi politik (politic corruption). Politic corruption ini berdampak pada munculnya korupsi berjamaah dlm arti seolah ada sindikatnya. Ini lebih sulit pencegahan dan pemberantasannya karena dilakukan secara Terencana, Terstruktur dan Monopolistik (TTM). Muncullah yg kita sebut Syndicate Corruption.

Strategi Penanganan TiPikor

Mengingat akibat korupsi yang sangat luar biasa tersebut maka secara konvensi disepakati bahwa TP korupsi merupakan extra ordinary crime. Oleh karena karakternya itu maka langkah-langkah penanganannya pun mesti extra ordinary, tidak bisa ditangani dengan cara biasa, melainkan luar biasa dan integrated. Kita sudah punya Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) tetapi dalam pandangan saya belum integrated baik dalam visi, misi dan operasi. Orang menyebutnya, untuk menangani kasus korupsi dengan baik dibutuhkan polisi "kereng" (galak), jaksa "gendheng" (gila) dan hakim "sableng" (nekad, pemberani).

Dalam penanganan TPK seolah masing-masing lembaga hukum mempunyai "target" sendiri sesuai dengan visi misi institusinya. Bagaimana dengan kasus-kasus korupsi kelas kakap? Nasibnya sama, oleh karena kurang integrated penanganannya dari hulu hingga hilir, maka apa yg sudah dibangun sejak awal yang memakan banyak waktu dan tenaga (polri, jaksa, advokat, saksi, ahli, KPK) serta biaya yang pasti "mahal" akhirnya bisa kandas kalau dengan entengnya membebaskan napi koruptor dengan berbagai dalih, misalnya dulu sempat diusulkan karena alasan pandemi Covid-19.

Independensi KPK, Penentu Masa Depan Pemberantasan Tipikor

Menjadi negara hukum (Rule of Law) itu memang berat. Menegakkan hukum itu lebih berat. Berbudaya hukum untuk mendukung keduanya jauh lebih berat. Butuh keberanian (braveness) dan jiwa pejuang kebenaran dan keadilan (mujahid, vigilante).

Negara hukum berdasarkan sudut pandang kekuasaan didasarkan pada suatu kepercayaan atau keyakinan bahwa kekuasaan negara haruslah berdasarkan dengan hukum yang bersifat adil serta bijak. Sifat dari negara hukum juga sebagai alat pelengkap yang dipakai dengan merujuk terhadap aturan-aturan yang sebelumnya sudah ditentukan.

Indonesia juga termasuk negara hukum, hal ini dapat dibuktikan melalui Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi " Negara Indonesia adalah negara Hukum." Dengan dasar hukum di atas, menyatakan bahwa Indonesia memiliki dasar yang kuat dan setiap warga wajib mengikuti serta mentaati aturan yang berlaku.

Adapun ciri umum pada negara hukum sebagai berikut:

1. Adanya perlindungan juga pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
2. Memiliki sistem peradilan yang bebas serta tidak memihak.
3. Legalitas dalam arti hukum itu sendiri.
4. Kekuasaan berlaku sesuai hukum yang berlaku.
5.Adanya tuntutan pembagian suatu kekuasaan.

Bicara tentang sistem peradilan yang bebas serta tidak memihak akan bermuara pula pada praktik cara berhukum kita dalam menangani perkara pidana, misalnya perkara korupsi yang ditangani oleh KPK. Benarkah KPK itu independen?

Bagaimana mungkin dapat memberantas korupsi secara "benar" bila lembaga anti rasuah itu justru ditempatkan pada "mindset" di bawah presiden? Bahkan pegawainya pun sekarang berstatus ASN yang berarti di bawah kendali MenPanRB dan terikat dengan UU ASN dan Disiplin Pegawai Negeri yakni PP 53 Tahun 2010 atau penggantinya. Aneh bukan? Bukankah ia independen, kinerjanya tidak tergantung instruksi dan peluang yang diberikan oleh Presiden atau pun Menteri. Bahkan, seorang presiden dan menteri pun dapat ditangkap oleh KPK. Tapi, kalau tidak aneh dan unik ya bukan Indonesia namanya. Selalu ada anomali, termasuk dalam hukum, cara berhukum dan penegakan hukumnya.

Benarkah bisa KPK itu independen? Siapa yg merekrut? Siapa saja yg mengisi jabatan? Bagaimana status pegawainya yang ASN dengan harus lulus Test Wawasan Kebangsaan (TWK)? Penyidiknya dari siapa? Apakah KPK punya penyidik sendiri? Tidak bukan? Penyidik KPK berasal dari POLRI dan Kejaksaan Agung. Bagaimana hubungan antara POLRI dan Jaksa Agung dengan presiden? Kapolri dan Kajagung bukankah berada di bawah kendali Presiden?
Jadi, masihkah kita percaya bahwa KPK itu akan independen dalam pemberantasan korupsi di Indonesia yang banyak anomali hukumnya itu? Jika tidak, maka sangat sulit kita memastikan bahwa masa depan pemberantan tindak pidana korupsi di Indonesia menjadi lebih baik.

Penutup

Madesu, masa depan suram. Itulah gambaran yang akan terjadi ketika perkara besar tidak tuntas ditangani bahkan justru terkesan ada keberpihakan penanganannya. Donald Black mengatakan bahwa "Downward law is greater upward law". Apalagi setelah perkara selesai hingga ujung proses di lapas, para napi diusulkan untuk dibebaskan lantaran berbagai alasan. 

Korupsi berpotensi menjadi evolutionary crime yg sulit diungkap dan makin membuka peluang dilakukannya Tipikor di masa depan. Kejahatan ini makin lama makin "pintar" karena telah terjadi proses pembelajaran yang panjang sehingga menjadikan kejahatan ini bermutasi, bermetamorfosis terus sehingga sulit untuk diungkap (eksposure). Dan setelah terungkap, ada modus yang lebih pintar untuk patut diduga dalam rangka "penyelamatan orang" tertentu dengan dalih tertentu. 

Tipikor telah dilabeli sebagai extraordinary crime. Oleh karena itu upaya pemberantasannya pun harus bersifat extraordinary. Cara-cara biasa tidak akan mampu memberantasnya. Dibutuhkan cara berhukum yang progresif. Sebuah cara berhukum yang dibalut dengan karakter rule breaking. Itu semua hanya ada dalam semangat pemberantasan tipikor yang lurus dan tidak akan ditemukan dalam sistem penegakan hukum yang mengalami proses "pembusukan". Pada daging yang busuk, seekor belatung pun akan merasa dirinya bersih tanpa noda. Tabik![]

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
(Guru Besar Hukum dan Masyarakat, FH Undip Semarang)
Semarang, 9 April 2023

Posting Komentar

0 Komentar