Polemik Perppu Cipta Kerja: Kegentingan atau Kepentingan yang Memaksa?


TintaSiyasi.com -- Alih-alih merevisi Undang-Undang Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi pemerintah justru mengeluarkan Perppu Cipta Kerja. Dari awal UU Ciptaker memang sudah banyak yang menolak dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan pemerintah diminta merevisi kurang lebih selama dua tahun. Lalu mengapa Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Perppu Cipta Kerja pada Jumat (30/12/2022) menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Jelas ini tindakan yang sangat memaksa, padahal Perppu itu dikeluarkan jika ada kegentingan memaksa, lalu ini memaksa kegentingan atau kegentingan memaksa? Atau jangan-jangan malah memaksakan kepentingan? Selain itu, Perppu dikeluarkan jika ada kekosongan hukum dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan membuat undang-undang. Lalu segenting apa pemerintah hingga tergopoh-gopoh mengeluarkan Perppu Ciptaker yang menggantikan UU No.2 Tahun 2020?

Di Balik Penolakan Perppu Cipta Kerja

Perppu Ciptaker masih mengalami penolakan sampai sekarang. Pemerintah beralasan perppu itu dikeluarkan karena ada kegentingan yang memaksa untuk memulihkan ekonomi nasional. Padahal, Baleg PKS, Amin K mengatakan, kondisi pemulihan ekonomi masih stabil. Selain itu, perppu ini melecehkan keputusan MK dan UUD. Seharusnya UU Ciptaker yang cacat formil direvisi, malah dengan sepihak mengeluarkan Perppu Ciptaker. 

Ada beberapa catatan yang mengakibatkan Perppu Ciptaker ditolak. Pertama, perppu tersebut tidak memenuhi unsur kegentingan memaksa yang selama ini dinyatakan pemerintah. Seharusnya pemerintah memahami kekacauan ekonomi yang terjadi hari ini diakibatkan karena diterapkan sistem ekonomi kapitalisme. Maka, yang seharusnya dilakukan adalah mengevaluasinya dan tidak menutup kemungkinan untuk membuka tangan menerima sistem ekonomi Islam. 

Ekonomi dalam sistem kapitalisme, tidak akan pernah stabil, karena yang diakomodasi hanya kepentingan ekonomi segelintir orang saja, yaitu para kapitalis. Ekonomi kapitalisme juga memaksa untuk rakyat bertahan sendiri di atas hegemoni para kapitalis yang makin kuat. Akibatnya, peran negara makin kerdil, bahkan berpotensi negara hanya dijadikan penyokong dari kepentingan para oligarki kapitalis. Inilah sejatinya yang mengancam kondisi ekonomi hari ini. 

Oleh karena itu, bukan dengan mengeluarkan Perppu, harus ada evaluasi total demi menyelamatkan kesejahteraan rakyat. Tetapi, jika yang ditempuh malah mengeluarkan Perppu, patut diduga ini adalah cara untuk memuluskan kepentingan para kapitalis, investor, dan korporasi baik dalam negeri maupun asing.

Kedua, Perppu Ciptaker diduga tidak pro pekerja. Sekalipun ada yang mengatakan perppu ini adalah hasil dari revisi UU Ciptaker, tetapi kenyataannya potensi eksploitasi pekerja itu ada. Jaminan perlindungan terhadap pekerja lemah. Seolah-olah memang para pekerja tidak diberi pilihan lain kecuali mengikuti regulasi yang ada. Padahal regulasi tersebut lebih memihak korporasi. 

Sebagai contoh, pertama, soal outsourcing yang tidak dijelaskan secara detail, ini berpotensi banyak sektor yang akan di-outshorching-kan. Kedua, soal tenaga kerja asing. Aturan penggunaan TKA terlalu sederhana dan memungkinkan memudahkan TKA masuk. Padahal warga negara sendiri masih banyak yang belum mendapatkan pekerjaan dan seharusnya pemerintah memikirkan pemberdayaan rakyatnya. 

Ketiga, perppu tersebut berpotensi memiskinkan para pekerja dan tidak mampu memberikan kesejahteraan pada pekerja. Gaji masih jadi polemik di negeri ini. Korporasi menggaji sedikit demi efisiensi, di sisi lain para pekerja meminta kelayakan dan penjaminan hak mereka. Tetapi di sini negara seolah-olah membiarkan para buruh bertarung sendiri memperjuangkan haknya, tidak ada perlindungan kuat pada mereka. Karena penentuan gaji diotonomikan. 

Penolakan demi penolakan soal Perppu Ciptaker ini tidak bisa diakomodasi apabila sistem ekonomi yang diterapkan masih kapitalisme. Karena sistem ekonomi inilah yang membuka pintu lebar hegemoni kapitalis untuk menancapkan kepentingannya dalam setiap kebijakan yang ada di negeri ini. Bahkan, dugaan kongkalikong penguasa dan pengusaha itu nyata terjadi dalam sistem kapitalisme. Inilah yang seharusnya disadari publik hari ini.

Dampak dari dikeluarkan Perppu Cipta Kerja

Sejatinya Perppu Ciptaker ini bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Karena seharusnya pemerintah merevisi UU Ciptaker yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat, bukan malah mengeluarkan perppu. Seolah-olah memang ada kepentingan yang memaksa untuk segera mengeluarkan aturan tersebut. 

Ada beberapa kekhawatiran dari Perppu Ciptaker ini yang dicatat dari penolakan ribuan aksi Protes Rakyat Indonesia (Bisnis.com, 28/2/2023) sebagai berikut. Pertama, Perppu Cipta Kerja telah mengancam berbagai sektor kehidupan rakyat, mulai dari buruh, mahasiswa dan masyarakat rentan di wilayah perkotaan hingga petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan di wilayah pedesaan dan pelosok negeri. Ancaman tersebut dikhawatirkan bisa mengeksploitasi warga negara pribumi 

Kedua, di sektor agraria perppu itu berpotensi meliberalisasi dan memprivatisasi tanah. Seumpama tanah diliberalisasi ke asing sejatinya ini bisa mengancam kedaulatan negeri ini. Maka, patut diduga perppu ini hanya menguntungkan segelintir pengusaha atau investor baik di dalam negeri maupun asing. 

Ketiga, di sektor lingkungan, perppu ini berpotensi merusak lingkungan karena berpotensi mereduksi AMDAL dan kontrol masyarakat. Sehingga apabila dibiarkan lingkungan berpotensi rusak dan terjadi bencana alam. Sebagaimana yang sering diperjuangkan oleh Greenpeace, JATAM, dan lain-lain, soal kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi kekayaan alam yang berakibat rusaknya lingkungan.

Keempat, sektor kehutanan, Perppu Cipta Kerja dinilai berpotensi mengakomodasi kegiatan ilegal dalam kawasan hutan oleh korporasi. Padahal jika hutan banyak yang dieksploitasi ancaman kerusakan alam yang akan membahayakan warga sekitar dan alam seluruhnya itu nyata. 

Kelima, sektor pendidikan, perppu ini berpotensi meliberalisasi pendidikan. Karena membiarkan pendidikan tinggi mencari dana sendiri. Jika pendanaan dibebankan ke peserta didik pasti akan sangat membebani mereka, tetapi jika dicarikan dana dari luar maka berpotensi mengancam kedaulatan negara ini dan masuknya intervensi asing terhadap pendidikan negeri ini.

Keenam, soal kebebasan sipil, perppu ini dikhawatirkan jadi alat lepas tangannya negara terhadap para pekerja. Karena hak-hak pekerja tidak diakomodasi dan dijaga oleh negara, nuansa eksploitasi pekerja itu memungkinkan dan nyata. Yang menjadi kekhawatiran lagi adalah potensi perdagangan manusia bisa terjadi karena lemahnya perlindungan negara terhadap eksploitasi sumber daya manusia oleh korporasi.

Sejatinya kekhawatiran ini terjadi karena hukum di negeri ini diproduksi mengakomodasi kepentingan segelintir orang saja dan kesombongan manusia yang menganggap aturannya lebih layak diterapkan daripada aturan dari aturan Allah SWT yang telah menciptakan alam semesta dan kehidupan. Andai saja para pembuat aturan itu mengindahkan peringatan Allah SWT, tentunya SDA tidak akan diliberalisasi, karena dikelola untuk kesejahteraan rakyat, dan SDM akan diberdayakan dengan baik untuk mengelola SDA yang ada.

Strategi Islam dalam Mengatasi Permasalahan Pekerja

Dalam Islam hal-hal yang dianggap jarimah atau kejahatan itu sangat jelas, tidak bertele-tele, ataupun bersayap sebagaimana sistem ekonomi kapitalistik hari ini. Kejahatan itu adalah ketika terjadi pelanggaran atau pembangkangan terhadap hukum syariat baik dari aspek individu maupun akad-akad yang telah disepakati. Keunggulan sistem Islam selain dari aspek individu harus memiliki kredibilitas yang beriman dan bertakwa, aturan teknis yang diterapkan dalam muamalah perusahaan juga harus sesuai dengan syariat Islam. Sehingga meminimalisir terjadinya perampasan hak dan ketidakadilan. 

Ada beberapa catatan terkait strategi Islam dalam mengatur pekerja. Pertama, muamalah yang dilakukan harus sesuai dengan ketentuan Islam. Sekalipun yang bermuamalah tidak semuanya Muslim, tetapi di dalam pengaturan muamalah dalam Islam harus disesuaikan dengan pedoman Islam. Pada saat itu, negara berfungsi sebagai pengawas dan penegak hukum, sehingga jika ada pelanggaran hukum syarak terkait muamalah akan ada sanksi yang tegas. 

Kedua, syirkah yang dijalankan harus sesuai dengan syariat Islam. Pelaku syirkah harus memahami akad-akad yang Haq ataupun batil, sehingga syirkah yang dijalankan bisa berjalan sesuai koridor Islam. Apabila ada yang bersyirkah tetapi melanggar ketentuan syarak maka negara harus berfungsi sebagai pengawas dan penegak hukum. Sehingga tindak pelanggaran bisa diluruskan dan tidak merugikan banyak pihak. 

Ketiga, soal pengupahan diatur secara teknis dengan baik oleh negara. Negara pun memiliki standar jelas upah yang harus diberikan pada buruh ketika bekerja di perusahaan. Bahkan, negara menyiapkan ahli penghitung jasa agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan antara pengusaha dan pekerjanya. Sebenarnya tidak ada batasan gaji seseorang, selama yang dibayar dan pembayar itu telah bersepakat bisa dijalankan. Tetapi, negara akan ikut andil jika terjadi kekisruhan dalam gaji. Di sinilah perannya ada untuk menegakkan keadilan dan hukum Islam. 

Keunggulan sistem Islam dalam pengelolaan ekonomi terletak dari pengaturan kepemilikan. Ketika kepemilikan individu, publik, dan negara ini diatur sesuai standar Islam, maka tidak akan ada perampasan hak-hak publik atau individu. Selain itu, sumber daya yang wajib dikelola negara untuk kesejahteraan masyarakat tidak akan dikuasai oleh segelintir orang yang memuaskan kerakusannya dalam mencaplok sektor publik. Potensi liberalisasi sektor publik itu diharamkan karena pengelolaannya kewajiban negara.

Pengaturan dalam Islam mewajibkan negara menerapkan Islam secara kaffah, tidak sepotong-sepotong. Penerapan ini hanya bisa terwujud dalam bingkai Khilafah Islamiah. Dari situ rakyat dapat disejahterakan dan dijaga haknya. Seluruh aspek kehidupan diatur berlandaskan Islam, selain para pekerja melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pekerja, di sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan dijaga oleh pemerintah dengan baik. Maka, SDM unggul akan tercipta dan SDA yang melimpah bisa dikelola untuk mengembangkan dan memperbaiki kehidupan agar makin baik lagi.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Penolakan demi penolakan soal Perppu Ciptaker ini tidak bisa diakomodasi apabila sistem ekonomi yang diterapkan masih kapitalisme. Karena sistem ekonomi inilah yang membuka pintu lebar hegemoni kapitalis untuk menancapkan kepentingannya dalam setiap kebijakan yang ada di negeri ini. Bahkan, dugaan kongkalikong penguasa dan pengusaha itu nyata terjadi dalam sistem kapitalisme. Inilah yang seharusnya disadari publik hari ini.

Sejatinya kekhawatiran ini terjadi karena hukum di negeri ini diproduksi mengakomodasi kepentingan segelintir orang saja dan kesombongan manusia yang menganggap aturannya lebih layak diterapkan daripada aturan dari aturan Allah SWT yang telah menciptakan alam semesta dan kehidupan. Andai saja para pembuat aturan itu mengindahkan peringatan Allah SWT, tentunya SDA tidak akan diliberalisasi, karena dikelola untuk kesejahteraan rakyat, dan SDM akan diberdayakan dengan baik untuk mengelola SDA yang ada.

Pengaturan dalam Islam mewajibkan negara menerapkan Islam secara kaffah, tidak sepotong-sepotong. Penerapan ini hanya bisa terwujud dalam bingkai Khilafah Islamiah. Dari situ rakyat dapat disejahterakan dan dijaga haknya. Seluruh aspek kehidupan diatur berlandaskan Islam, selain para pekerja melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pekerja, di sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan dijaga oleh pemerintah dengan baik. Maka, SDM unggul akan tercipta dan SDA yang melimpah bisa dikelola untuk mengembangkan dan memperbaiki kehidupan agar makin baik lagi. [] #Lamrad #LiveOpperessedOrRiseUpAgainst

Oleh: Ika Mawarningtyas
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo dan Direktur Mutiara Umat Institute 

Nb: Materi Kuliah Online Uniol 4.0 Diponorogo, Rabu, 8 Maret 2023, di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum.

Posting Komentar

0 Komentar