Mengapa Undang-Undang Ciptaker Harus Ditolak?



TintaSiyasi.com -- Alih-alih merevisi Undang-Undang Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi pemerintah justru mengeluarkan Perppu Cipta Kerja dan telah mengesahkannya (21/3/2023). Sebenarnya Perppu Ciptaker masih mengalami penolakan sampai sekarang. Pemerintah beralasan perppu itu dikeluarkan karena ada kegentingan yang memaksa untuk memulihkan ekonomi nasional. Padahal, Baleg PKS, Amin K mengatakan, kondisi pemulihan ekonomi masih stabil. Selain itu, perppu ini melecehkan keputusan MK dan UUD. Seharusnya UU Ciptaker yang cacat formil direvisi, malah dengan sepihak mengeluarkan Perppu Ciptaker dan telah mengesahkannya. 

Ada beberapa catatan yang mengakibatkan Perppu Ciptaker yang telah disahkan patut ditolak. Pertama, perppu tersebut tidak memenuhi unsur kegentingan memaksa yang selama ini dinyatakan pemerintah. Seharusnya pemerintah memahami kekacauan ekonomi yang terjadi hari ini diakibatkan karena diterapkan sistem ekonomi kapitalisme. Maka, yang seharusnya dilakukan adalah mengevaluasinya dan tidak menutup kemungkinan untuk membuka tangan menerima sistem ekonomi Islam. 

Ekonomi dalam sistem kapitalisme, tidak akan pernah stabil, karena yang diakomodasi hanya kepentingan ekonomi segelintir orang saja, yaitu para kapitalis. Ekonomi kapitalisme juga memaksa untuk rakyat bertahan sendiri di atas hegemoni para kapitalis yang makin kuat. Akibatnya, peran negara makin kerdil, bahkan berpotensi negara hanya dijadikan penyokong dari kepentingan para oligarki kapitalis. Inilah sejatinya yang mengancam kondisi ekonomi hari ini. 

Oleh karena itu, bukan dengan mengeluarkan Perppu, harus ada evaluasi total demi menyelamatkan kesejahteraan rakyat. Tetapi, jika yang ditempuh malah mengeluarkan Perppu, patut diduga ini adalah cara untuk memuluskan kepentingan para kapitalis, investor, dan korporasi baik dalam negeri maupun asing.

Kedua, Perppu Ciptaker diduga tidak pro pekerja. Sekalipun ada yang mengatakan perppu ini adalah hasil dari revisi UU Ciptaker, tetapi kenyataannya potensi eksploitasi pekerja itu ada. Jaminan perlindungan terhadap pekerja lemah. Seolah-olah memang para pekerja tidak diberi pilihan lain kecuali mengikuti regulasi yang ada. Padahal regulasi tersebut lebih memihak korporasi. 

Sebagai contoh, pertama, soal outsourcing yang tidak dijelaskan secara detail, ini berpotensi banyak sektor yang akan di-outshorching-kan. Kedua, soal tenaga kerja asing. Aturan penggunaan TKA terlalu sederhana dan memungkinkan memudahkan TKA masuk. Padahal warga negara sendiri masih banyak yang belum mendapatkan pekerjaan dan seharusnya pemerintah memikirkan pemberdayaan rakyatnya. 

Ketiga, perppu tersebut berpotensi memiskinkan para pekerja dan tidak mampu memberikan kesejahteraan pada pekerja. Gaji masih jadi polemik di negeri ini. Korporasi menggaji sedikit demi efisiensi, di sisi lain para pekerja meminta kelayakan dan penjaminan hak mereka. Tetapi di sini negara seolah-olah membiarkan para buruh bertarung sendiri memperjuangkan haknya, tidak ada perlindungan kuat pada mereka. Karena penentuan gaji diotonomikan. 

Penolakan demi penolakan soal Perppu Ciptaker ini tidak bisa diakomodasi apabila sistem ekonomi yang diterapkan masih kapitalisme. Karena sistem ekonomi inilah yang membuka pintu lebar hegemoni kapitalis untuk menancapkan kepentingannya dalam setiap kebijakan yang ada di negeri ini. Bahkan, dugaan kongkalikong penguasa dan pengusaha itu nyata terjadi dalam sistem kapitalisme. Inilah yang seharusnya disadari publik hari ini.

Pengesahan UU yang tidak melibatkan rakyat bahkan terbukti merugikan sebagian masyarakat dalam hal ini adalah buruh, sejatinya menunjukkan wajah asli sistem politik demokrasi yang abai terhadap kepentingan rakyat. Sistem politik demokrasi yang berasaskan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat nyatanya hanya omong kosong belaka. Kebijakan penguasa justru berpijak pada kepentingan para pemilik modal sebagaimana Undang-Undang Cipta Kerja ini. Maka slogan sistem politik demokrasi yang sebenarnya adalah dari kapital, oleh kapital dan untuk kapital.

Suara rakyat dalam demokrasi hanya dibutuhkan menjelang pemilu saja. Sementara saat duduk ditampuk kekuasaan, maka kebijakan-kebijakan atau RUU yang disahkan hanya untuk mengeksekusi kepentingan para pemilik modal. Sementara rezim yang menjalankan sistem ini tidak benar-benar memihak kepada rakyat, maka tak heran buruh dalam sistem demokrasi kapitalisme sejauh dari kata sejahtera.

Sistem ini telah nyata gagal menjamin dan melindungi hak-hak pekerja. Namun kondisi yang berbeda akan kita temukan dalam negara yang menerapkan syariat Islam. Negara dalam Islam (khilafah) bertanggung jawab memberi jaminan dan pelayanan kepada masing-masing individu rakyat berupa jaminan penghidupan, kesejahteraan, keamanan serta kebutuhan dasar rakyat.

Dalam pandangan Islam negara adalah pelayan umat yang mengurusi kepentingan dan kemaslahatan umat. Di sistem pemerintahan Islam, regulasi dan undang-undang yang dibuat tidak akan menyalahi syariat Islam yang berasal dari Allah subhanahu wa Ta'ala. Legalisasi hukum dalam sistem Islam dibuat sesuai dengan ketentuan Islam dan tidak ada politik kepentingan. Tidak ada pula produk hukum yang dibuat berdasarkan kepentingan manusia.

Sistem ekonomi Islam menerapkan seperangkat aturan yang memenuhi prinsip keadilan dari aturan kepemilikan hingga distribusi harta kepada rakyat. Islam tidak mengenal kebebasan kepemilikan. Islam membolehkan kepemilikan harta dengan menjadikan halal dan haram sebagai standarnya. 

Pengaturan harta menjadi tiga aspek, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum dan negara. Dalam Islam tidak ada kebebasan bagi seseorang memiliki apa saja dengan cara apapun, tetapi ia harus terikat dengan ketentuan Islam baik cara memperoleh harta maupun memanfaatkan harta tersebut. Islam tidak mengenal kebebasan bekerja yang membolehkan setiap orang bekerja dalam hal apapun tanpa melihat halal dan haramnya. Islam hanya membolehkan setiap orang bekerja sesuai ketentuan syariat Islam.

Dalam Islam perjanjian antara pengusaha dan buruh sepenuhnya tergantung kepada kontrak kerja (akad ijarah) yang harus memenuhi ridha wal ikhtiar. Sehingga perjanjian antara kedua belah pihak harus saling menguntungkan, tidak boleh ada yang terzalimi.

Dalam menentukan standar gaji buruh, maka Islam menetapkan berdasarkan manfaat tenaga yang diberikan pekerja bukan living cost (biaya hidup terendah). Oleh karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikannya. Jika terjadi sengketa antara pekerja dan majikan terkait upah, maka pakar (khubara') lah yang menentukan upah sepadan. Pakar tersebut dipilih kedua belah pihak. Jika masih bersengketa, maka negaralah yang memilih pakar tersebut dan memaksa kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.

Negara tidak akan menetapkan upah minimum bagi buruh. Karena penetapan seperti ini tidak dibolehkan sebagaimana larangan penetapan harga. Karena keduanya sama-sama kompensasi yang diterima seseorang di mana harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah adalah kompensasi jasa. Hanya khilafah dengan aturan yang bersumber dari syariat saja yang mampu menjamin keadilan bagi buruh atau pekerja.[]

Oleh: Ika Mawarningtyas (Direktur Mutiara Umat Institute) dan Nabila Zidane (Analis Mutiara Umat Institute)

Posting Komentar

0 Komentar