Hedonisme Gaya Hidup Pejabat Negara: Inikah Simbol Kerusakan Sistem Pengelolaan Negara Berbasis Demokrasi Kapitalistik?


TintaSiyasi.com — Gaya hidup hedonis pejabat negara tengah menjadi sorotan publik. Harta kekayaan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) yang tidak wajar mendadak terbongkar. Gegara kasus kekerasan Mario Dandy (anak pejabat DJP), warganet mengulik flexing (pamer harta)-nya di media sosial. Hingga kekayaan Rafael Alun (sang ayah) dikuliti dan dipecat dari pekerjaan. 

Selanjutnya, warganet kian mengkritisi flexing sejumlah pejabat Bea Cukai. Seperti Kepala Bea Cukai Jogjakarta Eko Darmanto dan Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono yang gemar pamer harta kekayaan di media sosial. Buntut kasus tersebut, terkuak 69 pegawai Kemenkeu belum melaporkan harta kekayaannya secara jelas karena belum klir menyelesaikan LHKPN pada 2019 dan 2020. Bahkan Kemenkeu kini diduga memiliki dana mencurigakan sebesar Rp 300 triliun (radarsolo.jawapos.com, 9/3/2023).

Sungguh disayangkan. Dalam situasi ekonomi yang masih terpuruk, pun di tengah 26 juta penduduk miskin, para pejabat negara, khususnya pejabat pajak dan keluarganya, justru bergaya hidup hedonis dan gemar flexing. Lantas, di manakah rasa empati mereka bersembunyi? 

Padahal di balik suguhan kemewahan tersebut, ada harta rakyat yang dipungut paksa atas nama pajak, berlindung di balik undang-undang dan berdalih demi membiayai keperluan negara dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rakyat yang mana? Pajak diambil dari rakyat, entah yang kaya atau papa, tapi hasil pengumpulannya diduga justru dinikmati oleh para pejabat. Memalukan! 

Diakui atau tidak. Inilah sebagian wajah bopeng pengelolaan negara berbasis demokrasi kapitalistik. Jauh dari prinsip pelayan rakyat. Yang dikejar adalah maslahat sang pejabat. Jabatan bukan sarana menyejahterakan masyarakat, namun alat memperkaya diri, keluarga, dan kawan satu lingkaran. Tak peduli rakyat menjerit, berkubang dalam kesengsaraan.

Hedonisme Pejabat dalam Kubangan Sistem Demokrasi Kapitalistik

Secara harfiah, kata hedonisme berasal dari bahasa Yunani ‘hedone,’ berarti kesenangan. Definisi hedonisme, dikutip dari kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama hidup di dunia.

Adapun Collin Gem (1993) mengartikannya sebagai doktrin yang menyatakan jika kesenangan/kenikmatan adalah hal terpenting di dunia, pun tujuan hidup dan tindakan manusia. Pospoprodijo dalam Antonius Sepriadi (2010:12) menyatakan, hedonisme merupakan anggapan bahwa kesenangan/kenikmatan adalah tujuan akhir hidup yang baik dan tertinggi. Benthem dalam Faqih (2004) menyebut, gaya hidup hedonis merupakan dorongan individu berperilaku dengan memegang prinsip kesenangan duniawi.

Hedonisme tak hanya melanda kaum selebritis atau artis yang memang dekat dengan lifestyle glamour. Kini, para pejabat sebagai pelayan rakyat yang mestinya bergaya hidup sederhana tak urung terlindas doktrin ini. 

Meskipun tidak sesuai standar gaji, banyak pejabat hidup mewah. Memiliki harta bernilai ratusan miliar rupiah berupa rumah mewah, kendaraan mewah bermerk Harley Davidson atau Rubicon senilai 1 miliar, bahkan pesawat pribadi, dan barang wah lainnya. Keberadaan media sosial pun kian memberikan ruang untuk mengekspos harta kekayaannya. 

Suatu fakta yang ironis. Paradigma kapitalistik melihat kepemimpinan seperti barang seksi. Orang rela mengorbankan harga diri untuk merebut kursi kekuasaan. Jika mereka mengeluarkan uang miliaran, itu tak bertujuan membahagiakan rakyat namun modal investasi. Setelah kursi kuasa diduduki, rakyatlah yang akan membayar mahal melalui pajak sambil menjalani hidup penuh derita. Para pemimpin yang melihat kekuasaan sebagai jalan kemakmuran itu rela korupsi, meski harus masuk bui.

Berikut beberapa penyebab banyak pejabat bergaya hidup hedonis yang bertentangan dengan jiwa idealitas karakter aparatur negara.

Pertama, individu dengan pemikiran kapitalistik. Secara mendasar, orang hedonis memiliki tujuan hidup ala kapitalis yaitu hidup demi meraih materi atau kenikmatan sebanyak-banyaknya. Makna kebahagiaan baginya ialah saat memiliki materi (harta) banyak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Orang hedon sering merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki. Mereka cenderung terus mencari lebih banyak kenikmatan dan kepuasan melalui konsumsi. Maka segala cara akan ditempuh demi meraih kesenangan, tak peduli halal atau haram. 

Bila dia Muslim, bisa jadi dia lupa tujuan hidup seorang hamba adalah beribadah pada Allah SWT, sementara materi hanyalah sarana hidup yang dioptimalkan demi teraihnya tujuan tersebut.

Kedua, pola asuh keluarga bernuansa materialisme. Bila seseorang lahir dalam keluarga dengan fasilitas kemudahan dan kemewahan secara material, terlebih kalau orang tua memiliki lifestyle hedonis, hal ini berpotensi membentuk hedonisme anggota keluarga. Tindakan yang dilakukan terus-menerus oleh orang-orang terdekat dan terpercaya akan berpengaruh dalam tumbuh kembang anak hingga dewasanya. Saat hedonisme telah menjadi pola hidup, biasanya akan sulit dihilangkan.

Ketiga, lingkungan pergaulan nan elit. Pengaruh lingkungan baik langsung atau tidak, menyebabkan seseorang menjalani gaya hidup hedonis. Contoh, seseorang yang berteman dengan orang-orang yang terbiasa hidup mewah, maka kemungkinan besar dia turut mengikuti gaya hidup di lingkungan pertemanan tersebut.

Selain itu, seseorang juga ingin mendapat pengakuan dari sekitarnya. Dalam membentuk relasi/pertemanan, kadang pengakuan dibutuhkan agar bisa diterima di suatu lingkungan. Kepemilikan moge lalu memamerkannya di dunia maya misalnya, menjadi bukti bila seseorang itu layak masuk dalam komunitas elit moge. 

Keempat, pengelolaan negara berbasis demokrasi kapitalistik. Sistem pemerintahan demokrasi mengagungkan kedaulatan rakyat (hak membuat undang-undang pada manusia). Pilar penegakan demokrasi adalah prinsip kebebasan yang tercermin dalam kebebasan beragama, berpendapat, berperilaku, dan kepemilikan. Berkelindan dengan sistem ekonomi kapitalisme yang berporos pada materi (uang), kebijakan dibuat demi memenuhi syahwat para pemilik modal.

Prinsip kebebasan yang nyaris tanpa batas inilah yang memberi ruang pada pejabat negara bertindak SSK (suka-suka kami) demi kepentingan diri dan kelompoknya. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat hanyalah slogan kosong. Realitasnya adalah sistem politik dari konglomerat, oleh konglomerat dan untuk konglomerat. “Of the 1%, by the 1%, for the 1%. (Dari satu persen, oleh satu persen, untuk satu persen orang).” (Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi)

Demikianlah faktor penyebab banyak pejabat negara bergaya hidup hedonis. Melihat beberapa faktor tersebut, nampak dominasi pemikiran sekularisme kapitalistik liberalistik telah merasuki baik level individu, komunal, maupun negara. Inilah akar penyebab membanjirnya arus hedonisme di negeri ini.

Dampak Gaya Hidup Hedonis Pejabat terhadap Upaya Peningkatan Kemakmuran Rakyat

Gaya hidup pejabat negara yang hedonis seringkali tercermin dalam kemewahan serta konsumsi barang dan jasa secara berlebihan. Sangat kontras dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya yang masih hidup di bawah garis kemiskinan hingga kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan. 

Situasi ini menunjukkan ketidakadilan sosial ekonomi. Sebab tidak semua rakyat Indonesia menikmati hasil sumber daya alam yang melimpah, namun hanya sebagian kecil dari pejabat pemerintah dan kelompok elit. Selain itu, menunjukkan ketidakpedulian terhadap nasib rakyat kecil di Indonesia. Ketidakselarasan ini akan berdampak buruk terhadap upaya mewujudkan kemakmuran rakyat. Berikut beberapa dampaknya. 

Pertama, memicu dan melestarikan praktik korupsi di negeri ini. Salah satu implikasi terbesar dari fenomena hedonisme pejabat adalah korupsi. Bila kemewahan yang dilakukan tak sesuai dengan standar gaji yang dimiliki, dari mana pelaku mendapatkan uang kalau bukan dengan cara instan korupsi? Padahal korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak tata kelola pemerintahan yang baik dan berintegritas. 

Kedua, adanya pengeluaran yang tidak perlu bagi pemerintah. Pejabat hedonis yang menggunakan dana pemerintah untuk keuntungan pribadinya akan meningkatkan pengeluaran pemerintah secara berlebihan. Ini dapat mengganggu pengelolaan anggaran pemerintah dan mempengaruhi stabilitas perekonomian Indonesia.

Ketiga, mengganggu terlaksananya pembangunan infrastruktur. Dana pemerintah yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan bangunan umum digunakan untuk membiayai kepentingan pribadi. Akibatnya kemaslahatan rakyat bakal terhambat.

Keempat, kesenjangan ekonomi sosial kian menganga. Banyak masyarakat dan aparatur sipil negara (ASN) yang belum sejahtera. Hedonisme pejabat dinilai mencederai rasa solidaritas masyarakat dan sesama ASN sehingga menimbulkan rasa iri. 

Kelima, memicu distrust masyarakat terhadap lembaga pemerintah (Kemenkeu). Terbongkarnya kasus Rafael dan dua kepala bea cukai daerah, membuat kredibilitas Menkeu Sri Mulyani berada di titik nadir. Kasus pamer harta, harta yang tak wajar, bahkan angka jumlah pejabat pajak yang tidak lapor pajak tersebut mengkonfirmasi bahwa Menkeu tidak melakukan perbaikan kinerja kecuali menumpuk utang negara yang mencapai Rp 7.000 triliunan di era rezim sekarang. Ini membuktikan Kemenkeu sulit dipercaya.

Demikianlah beberapa dampak negatif dari gaya hidup pejabat hedonis yang akan menghambat upaya mewujudkan kemakmuran rakyat. Aneh bukan? Pejabat negara yang semestinya bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan menjamin keadilan sosial bagi seluruh warga negara, justru berperilaku sebaliknya.

Strategi Membentuk Aparatur Negara Berkarakter Sederhana dan Berjiwa Pengabdian Tinggi

Leiden is lijden! Memimpin itu menderita. Jalan kepemimpinan adalah jalan pengabdian, jalan penderitaan, bukan jalan bersenang-senang untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan.

Ini merupakan pepatah yang menggambarkan keikhlasan pemimpin yang rela menderita demi rakyat yang dipimpinnya. Filosofi “Leiden is Lijden” adalah pilihan jalan pengabdian oleh mereka yang paham bahwa kebahagiaan rakyat lebih utama dibanding pemimpinnya. Dalam praktiknya, filosofi ini dioperasionalkan ketika tugas kepemimpinan dimulai, maka kepentingan pribadi dan keluarga harus dilepaskan.

Siapa tak kenal Umar bin Abdul Aziz? Beliau khalifah Bani Umayyah yang memerintah pada tahun 99 H-101 H. Sosok pemimpin legendaris karena kesederhanaan dan integritasnya. Dari beliau, kita bisa belajar strategi membentuk aparatur negara berkarakter sederhana dan berjiwa pengabdian tinggi.

Pertama, memimpin berlandaskan keimanan pada Sang Pencipta. 
Saat Khalifah Umar bin Abdul Aziz terlambat datang shalat Jumat, hadirin menunjukkan wajah tak suka. Seseorang bertanya, “Kenapa Paduka Tuan terlambat datang?” Umar menjawab, “Aku terlambat karena menunggu gamisku (yang baru dicuci) kering.”

Seorang khalifah dengan segala kekuasaannya, bisa saja menggunakan dana baitul maal untuk membeli segala atribut demi penampilannya. Tetapi itu tidak dilakukannya. ”Aku takut terhadap perhitungan yang berat dan pertanggungjawaban yang besar (di akhirat),” katanya. Ketakutannya kepada Allah membuatnya berhati-hati terhadap segala harta benda yang dimilikinya. Ia memilih hidup sederhana, zuhud, dan wara‘.

Kedua, berkarakter tawadhu'. Tawadhu' merupakan salah satu sifat menonjol dari Umar bin Abdul Aziz. Tawadhu' merupakan perangai merendahkan kelebihan, menundukkan hati agar tidak menunjukkan lebih baik dari orang lain. QS. Asy-Syu’araa’: 215 menjadi dasar pemimpin untuk merendahkan diri di hadapan rakyatnya yang beriman, bukan menyombongkan diri. 

Ketiga, mendidik keluarganya menjadi sosok sederhana bahkan siap menderita. Usai diangkat sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz memfokuskan tenaga, pikiran, dan seluruh hidupnya untuk mengurus urusan kaum Muslim dan menegakkannya sesuai aturan Allah SWT. Ia menolak istana dan seluruh fasilitasnya, serta memilih tinggal di rumah sempit terbuat dari tanah liat, berada di sebelah masjid. Pun minta istrinya, Fatimah binti Abdul Malik yang terbiasa hidup mewah dan serba mudah, untuk meninggalkan kemewahan dunia. Fatimah mematuhi perintah suaminya, bahkan menyerahkan semua perhiasannya ke baitul maal dengan ikhlas.

Keempat, memisahkan kepentingan publik dengan urusan pribadi. Saat jelang malam, Umar bin Abdul Azis berada di ruang kerjanya, tiba-tiba putranya masuk. Umar bertanya, “Untuk kepentingan apa Ananda ke ruang ini, urusan negara atau keluarga?" Karena untuk urusan keluarga, seketika beliau mematikan lampu penerang hingga suasana menjadi gelap. Dan meminta seorang staf untuk mengambil lampu pribadi miliknya di ruang belakang kantor.

Kelima, membersihkan harta pejabat publik. Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan seluruh pejabat negara dan meminta kekayaan selama menjabat dikembalikan ke kas baitul maal. Meski ditentang sejumlah pejabat, tanpa ragu ia menyita harta pejabat untuk setor ke kas negara. Di bidang fiskal, beliau memangkas pajak dari penduduk beragama Kristen dan Yahudi. Tak ada pejabat negara korupsi. Orang miskin diuntungkan dengan kemudahan akses mendapat bantuan modal ke baitul maal.

Keenam, senantiasa mengingat negeri akhirat tempat mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan di dunia. Beliau tekun beribadah dan lembut hatinya dalam mengingat negeri akhirat, serta tak tergoda kenikmatan dunia yang melenakan. Beliau tidak pernah kering air matanya karena bunyi syair, “Tidak ada kebaikan dalam hidup seseorang yang tidak bernasib baik di sisi Allah, kelak di hari penentuan.” (Az-Zuhd, karya Imam Ahmad, hal. 363, Al-Hilyah 5/260, As-Siyar 5/137).

Ketujuh, menekankan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Kondisi ini membuat kepercayaan publik naik dan dukungan rakyat kepada pemerintah menguat. Ketika itu, tak satu pun penduduk kelaparan, tak ada pengemis di sudut-sudut kota, penjara tak ada penghuninya. Bahkan penerima zakat sulit ditemukan.

Inilah beberapa strategi membentuk aparatur negara agar berkarakter sederhana (tidak hedonis) dan berjiwa pengabdian tinggi. Dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz kita belajar bahwa sosok pemimpin yang berkarakter mulia seperti ini pernah dan bisa terwujud dalam penerapan sistem Islam. Lantas, bisakah sosok pemimpin sederhana, amanah, dan berjiwa pengabdian tinggi, hadir dalam penerapan sistem demokrasi kapitalistik saat ini?[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati

Posting Komentar

0 Komentar