300 Tahun Lagi Kesetaraan Gender: Inikah Bukti Salah Arah Perjuangan Perempuan?

TintaSiyasi.com -- Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres dalam pidatonya pada Senin (6/3/2023) menjelang peringatan Internasional Women's Day (IWD) mengatakan, saat ini kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di dunia adalah tujuan yang makin jauh. Bahkan, ia mengatakan bahwa kesetaraan gender baru akan dicapai 300 tahun lagi. Guterres mengungkapkan bahwa angka kematian ibu makin tinggi, anak perempuan dipaksa menikah dini, anak perempuan diculik serta diserang ketika hendak bersekolah, hak-hak perempuan disalahgunakan, diancam, dan dilanggar di seluruh dunia (CNBC Indonesia, 8/3/2023). Namun mirisnya, keterpurukan perempuan hari ini bukan lagi hanya sebagai korban, tak sedikit akhir-akhir ini kasus kekerasan dilakukan oleh perempuan.  

Perjuangan kaum perempuan yang diusung oleh perempuan Barat sebagai garda terdepan pun bukan perjuangan kemarin sore. Dimulai dari abad 19 hingga masuk abad 20 bukan perjuangan yang pendek. Satu abad lebih telah berlalu, namun ironis apabila muncul pernyataan masih butuh 300 tahun lagi untuk mencapai tujuan perjuangan yang kaum feminis sebut kesetaraan gender. 

Bisa jadi ada salah pemahaman akar permasalahan berbagai persoalan perempuan, hingga menghasilkan solusi keliru dan absurd. Maka wajar, apabila solusi yang keliru dan absurd diperjuangkan akan terbentur pada dinding utopis yang tak akan pernah membuahkan hasil kecuali keterpurukan yang makin dalam. Bukankah pada akhirnya ini akan membuktikan salah arah perjuangan perempuan?


Kesetaraan Gender Solusi Absurd Menjadi Bukti Salah Arah Perjuangan Perempuan

Sudah lebih dari 100 tahun perjuangan perempuan melalui berbagai kampanyenya dalam memperingati IWD. Tanggal 8 Maret selalu dianggap sebagai hari spesial oleh banyak perempuan di seluruh dunia, tak terkecuali di negeri-negeri Muslim. Maka sungguh ironis apabila untuk menuai hasil, perjuangan ini harus menunggu 300 tahun lagi seperti yang dilontarkan Sekjen PBB Antonio Guterres. 

Menelisik akar permasalahannya, sejak awal tahun 1900-an, tepatnya pada tahun 1908, terjadi kerusuhan besar, penindasan, dan ketimpangan yang dialami perempuan sehingga memacu mereka lebih vokal dan aktif dalam mengkampanyekan adanya perubahan. Belasan ribu perempuan turun aksi di New York, AS menuntut jam kerja yang lebih pendek, gaji yang lebih baik, dan diberikan hak suara. Aksi tuntutan kaum perempuan terus berlanjut dari tahun ke tahun, yang dilakukan oleh berbagai negara Barat dan Eropa. Akhirnya, tanggal 8 Maret diakui keberadaannya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai Hari Perempuan atau International Womens Day. Perempuan di dunia dengan dukungan PBB secara terus menerus melakukan kampanyenya dalam setiap perayaan IWD. Demi memperjuangkan hak-hak yang mereka harapkan melalui seruang gender equality atau kesetaraan gender. 

Berdasarkan akar permasalahan di atas, maka solusi kesetaraan gender merupakan perwujudan cara pandang liberal yang terlahir dari doktrin sekuler Barat. Ide ini muncul akibat penderitaan kaum perempuan yang mengalami ketidakadilan dan perampasan hak-haknya di negara-negara Barat dan Eropa di bawah buruknya sistem sekuler. Cara pandang liberal dalam sistem sekuler yang mengedepankan kebebasan berperilaku, dan memisahkan agama dari kehidupan. 

Namun melihat kenyataan hari ini, kesetaraan gender makin diperjuangkan persoalan perempuan di seluruh dunia makin terpuruk lebih dalam. Perjuangan perempuan telah membentur dinding utopis. Karena secara fakta historis, selama peradaban sekuler kapitalisme, sepanjang sejarah bangsa-bangsa Barat tidak pernah ditemukan kemuliaan kaum perempuan di dalamnya, saat itu perempuan tidak lebih sekadar objek sensualitas bagi mereka. 

Oleh karena itu, hal ini membuktikan bahwa kesetaraan gender yang menjadi solusi Barat atas persoalan perempuan adalah solusi keliru dan absurd. Tidak lebih hanya sekadar solusi penalaran logika lemah akal manusia. Alhasil, kesetaraan gender solusi absurd salah arah perjuangan perempuan.


Dampak Solusi Absurd Kesetaraan Gender dalam Perjuangan Perempuan 

Kesetaraan gender yang dianggap sebagai solusi global untuk permasalahan perempuan adalah ide yang dilahirkan oleh Barat yang berlandaskan atas doktrin sekuler Barat. Kesetaraan gender ini adalah konsep yang cacat secara rasional dan rusak secara sosial. 

Dampak solusi absurd kesetaraan gender dalam perjuangan perempuan, di antaranya: 

Pertama. Ide sesat kesetaraan gender mengaburkan peran fitrah perempuan. 

Cara pandang liberal dalam sistem sekuler yang mengedepankan kebebasan berperilaku, dan memisahkan agama dari kehidupan, terus memaksakan kesetaraan gender bagi peran laki-laki dan perempuan. Padahal jelas cara pandang liberal ini menggerogoti peran penting penciptaan seorang perempuan secara fitrahnya. 

Keberanian meminta hak sama rata laki-laki dan perempuan telah mengaburkan peran fitrah penciptaan. Peran yang berbeda diciptakan Sang Khaliq bukan untuk dibanding-bandingkan timbangannya, namun keberadaannya untuk saling melengkapi tanggung jawab masing-masing. Karenanya tuntutan pengusung kesetaraan gender ini menyalahi fitrah penciptaannya sehingga hanya memberi harapan semu semata. 

Kedua. Menjauhkan perempuan menjadi pencetak generasi tangguh. 

Klaim kesetaraan gender dalam setiap kampanye yang digaungkan IWD dianggap mampu memenuhi hak-hak kaum perempuan, namun itu makin jauh dari genggaman. Bahkan menjadi racun bagi perempuan-perempuan Muslim khususnya dalam menunaikan peran perempuan sesungguhnya secara fitrah. Yaitu sebagai pencetak generasi peradaban untuk mewujudkan generasi tangguh. 

Penerapan sistem sekuler kapitalistik menggoyahkan ketahanan keluarga. Program kesetaraan gender gagal untuk menghargai pentingnya peran seorang ibu, gagal mengakomodasi tanggung jawab keluarga mereka. Dengan lemahnya peran perempuan sebagai ibu, mengantarkan pada kehancuran generasi, sehingga tidak mampu lagi berdaya untuk mencetak generasi tangguh. 

Rapuhnya ketahanan keluarga merupakan produk invasi peradaban Barat dengan konsep-konsep liberalnya yang jelas-jelas merusak dan telah menunjukkan kerusakannya karena bertumpu pada cara pandang liberal sekuler. Penerapan sistem sekuler kapitalistik pun turut mendorong kegoncangan terhadap ketahanan keluarga Muslim. Program kesetaraan gender gagal untuk menghargai pentingnya peran seorang ibu, gagal mengakomodasi tanggung jawab keluarga mereka. 

Ketiga. Perempuan terpuruk lebih dalam. 

Tuntutan kesetaraan gender dalam pemberdayaan ekonomi tak sedikit menjadikan peran perempuan berubah menjadi tulang punggung keluarga. Menanggung apa yang bukan beban fitrahnya menjadikan perempuan terpuruk secara mental dan fisiknya. Bahkan perempuan hari ini bukan sekadar korban kekerasan, tetapi tak sedikit berubah menjadi pelaku. 

Tuntutan kesetaraan gender menjadi alasan perempuan menuntut hak reproduksi tanpa peduli batas agama, pilihan hamil atau aborsi dianggap hak mutlak pemilik slogan 'my body my authority', bahkan hak perempuan bila ingin mengumbar sensualitasnya. 

Pada kenyataannya, konsep kesetaraan gender yang selalu dikampanyekan IWD dengan konsep-konsep liberalnya telah jelas-jelas merusak dan telah menunjukkan kerusakannya karena bertumpu pada cara pandang liberal sekuler. Alhasil, sering terjadi benturan antara perempuan Muslim yang memegang teguh ajaran agamanya dengan kaum feminis dalam mengkampanyekan slogan-slogannya. Dikarenakan setiap bentuk kepercayaan, budaya, atau ideologi apapun yang berseberangan dengan ide mereka, akan dikecam dan dilabeli sebagai sesuatu yang anti perempuan, terbelakang dan menindas. 


Mewujudkan Arah Mulia Perjuangan Perempuan 

Secara historis ide kesetaraan gender lahir dari sistem sekuler liberal yang memandang perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Lahir dari pengalaman historis akan ketidakadilan, penindasan dan ketiadaan hak-hak politik, ekonomi, pendidikan, pelayanan kesehatan yang dihadapi oleh kaum perempuan di negara-negara Barat. Bahkan, sepanjang peradaban Barat belum pernah dijumpai fakta historis kemuliaan perempuan di dalamnya. 

Jika benar perempuan mencari solusi atas persoalannya, maka sudah seharusnya melihat fakta peradaban mana yang pernah mampu menjadikan mulia keberadaan perempuan. 

Dalam sejarah jahiliah bangsa Arab, perempuan pernah dipandang hina. Namun, saat cahaya Islam datang telah melarang berbagai macam perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Hingga belum genap 100 tahun Islam memimpin peradaban, Islam telah menunjukkan penjagaannya terhadap perempuan. Bahkan sepanjang 1.300 tahun peradabannya, Islam telah membawa perempuan pada posisi kemuliaannya secara fitrah penciptaannya. Serta tidak pernah ada sejarah penindasan perempuan di sepanjang peradabannya. 

Jika benar perempuan mencari solusi persoalannya, tak seharusnya menutup mata bagaimana Islam mampu memberi solusi sekaligus bukti nyata dan berani memperjuangkannya. 

Bukan romantisme sejarah, peradaban Islam yang bertahan belasan abad, dan di bawahnya terukir kemuliaan perempuan. Peradaban ini mampu mencetak puluhan ribuan ulama perempuan, yang dinilai bukan dari sisi sensualitasnya namun kecerdasannya. Cendekiawan Islam India modern Mohammad Akram yang melakukan proyek kamus biografi ulama hadis perempuan telah berhasil menulis 43 volume kamus biografi yang disebut Al-Wafa Bi Asma Al-Nisa (Kamus Biografi Wanita Narator Hadis), yang mencatat kehidupan 10.000 wanita ulama dan perawi hadis. 

Peradaban Islam mengukir perempuan Muslimah sebagai pendiri universitas pertama di dunia, Fatimah Muhammad al-Fihri mendirikan Universitas al-Qarawiyyin di Fes, Maroko. Dalam peradaban ini, materi tidak menjerumuskan perempuan ke dalam kepuasan semu, namun dijadikan sebagai sarana membangun generasi masa depan yang cemerlang. 

Peradaban Islam menghormati dan memuliakan perempuan, dengan syariat-Nya mewajibkan menutupi auratnya, menjaga peran fitrahnya sebagai pencetak generasi dan pengatur rumah tangganya. Dari tangan lembut perempuan-perempuan di bawah peradaban Islam bermunculan ksatria-ksatria penakhluk yang menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. 

Peradaban Islam memberikan pilihan kemubahan bagi perempuan-perempuan untuk meraih prestasi di dunia kerja, dengan syarat tidak menyalahi koridor syariat-Nya, tanpa menjadikan perempuan sebagai penggenjot laju ekonomi, apalagi berbalik menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Karena di peradaban Islam, negara dapat hadir sebagai periayah urusan rakyatnya dan menanggung kebutuhan dasar tiap individu, memudahkan para pencari nafkah dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. 

Peradaban Islam mampu melindungi para perempuannya, dari kejahatan orang-orang yang menistakan kehormatannya. Demi membela seorang Muslimah yang dinista, Rasulullah mengerahkan kaum Muslim untuk mengepung benteng Yahudi Bani Qainuqa selama 15 hari 15 malam, hingga akhirnya mereka menyerah dan berujung pengusiran mereka dari Madinah. Begitu pula di masa Khalifah al-Mu'tasim Billah, dikerahkanlah pasukan yang panjang barisannya tidak putus dari gerbang istana di Kota Baghdad sampai Kota Ammuriah (Turki), hingga menjadikan Ammuriah takluk di tangan kaum Muslim. Hari ini, di dalam peradaban sekuler kapitalisme banyak perempuan Muslim yang dinista di seluruh dunia, tak ada perisai yang dapat membela mereka. 

Peradaban Islam, telah mengukir sejarah mampu menjaga dan mewujudkan kemuliaan perempuan. Bukan sekadar bagi perempuan Muslim, namun juga seluruh perempuan yang berada dalam naungan Khilafah Islamiyah. Maka jika benar perempuan mencari solusi persoalannya, menjuangkan kembalinya Islam adalah arah perjuangannya. 

Di dalam Islam, Allah SWT memandang setara laki-laki dan perempuan yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya. Allah SWT berfirman: 

"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti." (TQS. Al-Hujurat 49: Ayat 13). 

"Dan barang siapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikit pun." (TQS. An-Nisa' 4: Ayat 124). 

"Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat yang baik di Surga ‘Adn. Dan keridaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang agung." (TQS. At-Taubah 9: Ayat 72). 

Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa, yang menunjukkan perlakuan sama atas laki-laki dan perempuan yang bertakwa. Adapun secara fitrah penciptaannya, laki-laki dan perempuan memiliki peran yang berbeda, ketika peran ini dimaknai oleh akal lemah manusia dengan cara pandang sekuler liberal kapitalisme nyata menunjukkan kerusakannya. Kesetaraan gender yang diemban peradaban sekuler kapitalisme liberal telah memporak-porandakan peran fitrah penciptaan laki-laki dan perempuan. 

Di dalam kitab An-Nizham Al-Ijtima’I fi Al-Islam, Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani pada bab Kedudukan Pria dan Wanita, menjelaskan: Islam datang dengan membawa sejumlah hukum yang berbeda, sebagiannya khusus untuk kaum pria, dan sebagian lainnya khusus untuk kaum wanita. 

Dalam konteks ini, Islam membedakan antara pria dan wanita dalam sebagian hukum. Islam memerintahkan agar keduanya, kaum pria dan kaum wanita, ridha terhadap hukum-hukum yang khusus tersebut. Sebaliknya, Islam melarang masing-masing pihak untuk saling iri dan dengki serta untuk mengangankan apa yang telah Allah lebihkan kepada sebagian atas sebagian yang lain. 

Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan.” (TQS. An-Nisâ’ [4]: 32). 

Oleh karena itu, telah jelas cara pandang sekuler kapitalisme liberal ini menggerogoti peran penting penciptaan seorang perempuan secara fitrahnya. Klaim perjuangan kesetaraan gender mampu memenuhi hak-hak kaum perempuan adalah perjuangan utopis. Bahkan menjadi racun bagi perempuan-perempuan Muslim khususnya dalam menunaikan peran perempuan sesungguhnya secara fitrah. Yaitu sebagai pencetak generasi peradaban untuk mewujudkan peradapan gemilang. 


Penutup 

Kesetaraan gender tidak lebih sekadar solusi absurd dari logika lemah akal manusia yang berasal dari cara pandang sekuler liberal. Terlebih dalam peradaban sekuler tidak pernah ditemukan fakta historis kemuliaan perempuan di dalamnya, kecuali keberadaan perempuan yang selalu dipandang sebagai objek sensualitas semata. Maka wajar meskipun telah seabad perjuangannya, perempuan malah makin terjebak dalam jurang keterpurukan, tak sedikit perempuan tidak lagi sebagai korban, tetapi sebagai pelaku. Inilah bukti salah arah perjuangan perempuan. 

Dampak solusi absurd kesetaraan gender dalam perjuangan perempuan, di antaranya: Pertama. Ide sesat kesetaraan gender mengaburkan peran fitrah perempuan. Kedua. Menjauhkan perempuan menjadi pencetak generasi tangguh. Ketiga. Perempuan terpuruk lebih dalam. Pada kenyataannya, konsep kesetaraan gender yang selalu dikampanyekan IWD dengan konsep-konsep liberalnya telah jelas-jelas merusak dan telah menunjukkan kerusakannya karena bertumpu pada cara pandang liberal sekuler. 

Islam memiliki konsep yang jelas dalam memuliakan perempuan, dan fakta historis telah membuktikannya. Sepanjang 13 abad peradaban Islam, perempuan telah menunjukkan tinta emas kegemilangan prestasinya. Sepanjang itu pula, kemuliaan perempuan terus terjaga. Maka jika benar perempuan mencari solusi persoalannya, menjuangkan kembalinya kehidupan Islam adalah jawabannya. []

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

Posting Komentar

0 Komentar