Trial by The Press: Mungkinkah Terjadi dalam Industri Pers Liberal Kapitalistik? (Catatan Hari Pers Nasional 9 Februari 2023)

TintaSiyasi.com -- "Dunia pers tidak sedang baik-baik saja." Curhat Presiden Jokowi pada peringatan Hari Pers Nasional, Kamis (9/2/2023). Ia mengungkap, masalah utama pers tak lagi soal kebebasan tapi membuat pemberitaan yang bertanggung jawab. Pun banyak media cenderung komersial, berkonten recehan nan sensasional hingga mengorbankan kualitas isi dan jurnalistik  otentik (cnbcindonesia.com, 9/2/2023). 

Penilaian Jokowi kami kira tak berlebihan. Industri pers masih dihadapkan sejumlah masalah, salah satunya independensi media yang berujung pada objektivitas pemberitaan. Trial by the press (peradilan oleh media) masih menjadi sorotan publik. Media melakukan penghakiman bahkan penghukuman melalui diksi dan bahasa yang terkesan menyudutkan salah satu pihak sehingga merangsang publik untuk menyimpulkan atau berspekulasi atas salah tidaknya seseorang atau suatu kelompok. 

Pemberitaan pers atas perkara hukum berpotensi memvonis lebih cepat dibanding putusan oleh majelis hakim di sidang pengadilan. Anda ingat isu penyelewengan dana umat yang diangkat Tempo dengan mengambil objek lembaga filantropi ACT (Aksi Cepat Tanggap)? Pemberitaan ini ditengarai menggiring opini publik untuk menyalahkan dan mencurigai ACT sebagai penyuplai dana terorisme, hingga akhirnya izin ACT dicabut. Hanya dalam kurun waktu 24 jam, media tersebut berhasil meruntuhkan kepercayaan publik pada ACT.

Penggiringan opini publik semacam ini jahat sekali. Secara hukum, trial by the press bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang menempatkan seseorang tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Diakui atau tidak, inilah sebagian potret buram industri pers dalam rengkuhan sistem liberalisme kapitalistik. Kala kebebasan pers dipraktikkan tanpa moral dan agama.

Trial by The Press, Anarki Media dalam Sistem Liberalisme Kapitalistik

Tidak bisa dipungkiri, isu penegakan hukum sering mendapatkan eksposure dan menjadi bahan pemberitaan, karena: pertama, memiliki news value tinggi terutama yang terkait tokoh masyarakat (public figure). Kedua, berdampak besar kepada masyarakat seperti kasus korupsi, penipuan, atau pencucian uang. Ketiga, terkadang mengandung “misteri” yang membuat masyarakat bertanya-tanya siapa pelaku dari tindak pidana tersebut. 

Dalam konteks penegakan hukum, pers menjadi sarana edukasi sosial agar masyarakat tidak melakukan tindakan kriminal sebagaimana yang diberitakan. Sehingga secara implisit pers merupakan alat penegakan hukum bersifat nonpenal dengan menggunakan pendekatan prevention without punishment dan influencing view of society on crime and punishment. 

Namun dalam praktiknya, pers terkadang offside dalam memberitakan suatu isu terkait penegakan hukum hingga melahirkan trial by the press. Secara umum, trial by the press adalah sikap pers yang menghakimi suatu pihak seakan-akan pihak tersebut bersalah padahal hakim belum menjatuhkan putusan yang berkekuatan hukum tetap. 

Definisi lain, trial by the press adalah pemberitaan yang dikeluarkan oleh pers yang dapat mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan. Secara konseptual, definisi kedua lebih luas dibandingkan dengan definisi pertama. Secara mudahnya, trial by the press bisa disebut sebagai “Pengadilan Opini.” Ia bisa dikatakan sebagai ekses dari prinsip freedom of press.

Trial by the press terjadi karena beberapa penyebab, antara lain: 
pertama, distrust masyarakat terhadap proses penegakan hukum yang dinilai jauh dari rasa keadilan. Sebagaimana ungkapan hukum ibarat pedang yang senantiasa tajam ke bawah namun tumpul ke atas alias hukum lebih berpihak kepada yang berkuasa dibanding masyarakat kecil yang lemah.

Kedua, sebagai perusahaan (industri), pers dalam pemberitaannya tidak lepas dari kepentingan yang bernilai bisnis dan menghasilkan keuntungan. Pers cenderung memprioritaskan berita yang mampu menaikkan rating media mereka. Meskipun harus terjebak dan mengorbankan orang lain dengan melanggar asas praduga tak bersalah. Di sinilah pers terjebak pada persaingan bisnis komersial. 

Ketiga, wartawan/jurnalis belum menguasai teknik menulis berita yang baik dan benar. Atau mengabaikan kode etik jurnalistik yang sebenarnya mereka tahu demi mengejar target dan deadline, serta meraih keuntungan dengan lebih berpihak kepada kepentingan tertentu. Sementara  Pasal 5 Ayat 1 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers telah mengatur, "Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama, dan rasa kesusilaan masyarakat, serta asas praduga tak bersalah."

Terlebih, secara umum pers hari ini berada dalam penerapan liberalisme kapitalistik. Sebuah pola kehidupan yang lahir dari rahim ideologi sekularisme yang abai terhadap nilai agama. Menempatkan agama sebatas ibadah ritual serta memisahkannya dalam pengaturan hidup di segala aspeknya. 

Liberalisme mengajarkan kebebasan di mana HAM sebagai panduan. Berkelindan dengan kapitalisme yang memandu manusia untuk lebih mementingkan modal, uang, dan cuan. Tak lagi berdasar halal haram, yang utama adalah mendapat keuntungan material. 

"Wajar" bila dalam sistem seperti ini kita mendapati media yang menghalalkan segala cara demi meraih rating tinggi yang berujung pada masuknya iklan atau pundi-pundi uang lainnya. "Bila perlu" mengorbankan orang lain demi tercapai tujuannya. Anarki media adalah bagian keniscayaan dalam sistem liberal kapitalistik.   

Demikianlah faktor penyebab media melakukan trial by the press. Dalam kondisi ini, pers tak lagi menjadi saluran informasi, namun seakan menjelma menjadi badan peradilan dan mengabaikan prinsip keadilan. Akankah terus dibiarkan?

Dampak Trial by The Press terhadap Upaya Warga Negara Meraih Keadilan (Access to Justice)

Praktik trial by the press bertentangan dengan prinsip fair trial (peradilan yang jujur dan adil terhadap masyarakat pencari keadilan) yang mengandung asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Pun menyalahi prinsip due process of law (proses hukum yang semestinya yaitu baik, benar, dan adil). 
 
Penyelewengan hukum ini diduga akan berdampak buruk bagi upaya warga negara meraih keadilan (access to justice) yaitu pertama, seakan menjadi pesaing, mengambil alih peran hakim dalam memutuskan perkara. Pers menjadi “hakim” bagi publik padahal majelis hakim belum menjatuhkan putusan terhadap terdakwa. 

Kedua, membuat publik  “jump to conclusion” bahwa terdakwa bersalah, padahal masih ada beberapa tahapan lagi sebelum hakim menjatuhkan vonisnya kepada terdakwa. Akibatnya, membentuk masyarakat berkarakter tidak sabaran dan instan. 

Ketiga, pengadilan/majelis hakim terkesan tidak independen dan imparsial. Secara konseptual, trial by the press merupakan bagian dari contemp of court (penghinaan terhadap badan peradilan). Pada umumnya, trial by press merupakan bentuk contempt of court dalam jenis subjudice rule (suatu usaha untuk mempengaruhi hasil pemeriksaan pengadilan) dan scandalizing pengadilan.

Keempat, mengakibatkan  pencemaran nama baik bahkan pembunuhan karakter terhadap seseorang. Pemberitaan yang sugestif akan merugikan si terdakwa karena masyarakat sudah memiliki asumsi tersendiri terhadapnya sebelum putusan dijatuhkan hakim. Trial by the press dapat berujung menjadi delik pers antara lain delik penghinaan. 

Kelima, membentuk opini publik negatif bahkan bisa jadi kebohongan publik. Tak lagi memberikan edukasi atau informasi, media justru terjebak sebagai produsen hoaks. Di satu sisi akan membahayakan pemikiran masyarakat. Di sisi lain, bila media terus-menerus melakukan trial by the press maka ia akan kehilangan trust publik. 

Keenam, menghalangi upaya warga negara meraih keadilan (access to justice). Penghakiman pers yang berkembang menjadi penghukuman publik akan menyulitkan seseorang atau kelompok orang mendapatkan keadilan. Proses peradilan yang ia jalani belum selesai, namun ia telah menuai stigma buruk sebagai pihak yang bersalah. 

Demikianlah beberapa dampak buruk dari trial by the press terhadap upaya warga negara meraih keadilan. Tak hanya bagi para pencari keadilan, akibat dari offside-nya jobdes pers ini juga menimpa lembaga peradilan dan masyarakat.

Strategi Mencegah Industri Pers Tidak Terjebak dalam Trial by The Press

Water Lippmann (1922) pernah berkata, “News and truth are not the same thing and must be clearly distinguished.” Fungsi berita adalah menginformasikan sebuah kejadian, sementara tugas lembaga peradilan untuk menggali kebenaran dan keadilan. Jangan sampai ada pengadilan di luar lembaga peradilan yang justru menjurus kepada contempt of court. 

Di sini wibawa pengadilan dan hak asasi terdakwa menjadi taruhannya. Terdakwa memiliki hak untuk tidak diintimidasi dengan prasangka karena prinsip-prinsip fair trial menjamin hak terdakwa berada dalam perlindungan pengadilan yang adil dan tidak memihak. Ini adalah bagian dari due process of law atau suatu proses peradilan yang adil.

Maka penting untuk menggagas strategi mencegah industri pers agar tidak terjebak dalam  trial by the press, yaitu: pertama, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu merumuskan pedoman dan tata cara penyiaran sebuah persidangan. Agar terdapat panduan jelas bagi wartawan di lapangan sehingga tidak melewati batas-batas peliputan yang dapat mengingkari due process of law. 

Kedua, Dewan Pers menyusun panduan serupa sehingga peliputan berita oleh wartawan tetap menjamin hak-hak terdakwa dan tidak mempengaruhi independensi serta imparsialitas hakim. 

Ketiga, media (wartawan) memperhatikan kode etik jurnalistik dalam pemberitaannya, khususnya peliputan berita hukum. Tidak seharusnya melenceng dari misi pemberitaan pers, berisi fakta, dan bukan kesimpulan atau pendapat yang tidak sesuai dengan tujuan jurnalis menyajikan fakta kepada masyarakat. Diharapkan pers tidak menyajikan berita yang bersifat spekulatif dan provokatif. Pers yang sehat berperan untuk memajukan hukum dan rule of law di negeri ini.

Keempat, menunjuk hakim sebagai juru bicara pengadilan. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan, Ketua Pengadilan diberikan kewenangan untuk menunjuk hakim sebagai juru bicara pengadilan demi memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengadilan.

Untuk mencegah wartawan atau perusahaan pers melakukan trial by the press, hakim juru bicara memiliki peran strategis yaitu: a) mampu mengatur konten pemberitaan dari wartawan. Salah satu langkahnya adalah menanyakan apakah wartawan tersebut sudah mempunyai sertifikat/kartu kompetensi wartawan atau belum, serta apakah perusahaan pers tempat wartawan tersebut bekerja sudah terverifikasi oleh Dewan Pers apa belum; b) mampu mengatur sudut pandang suatu pemberitaan dari wartawan; c) bila hakim juru bicara menemukan wartawan atau perusahaan pers dalam pemberitaan tidak sesuai kode etik jurnalistik atau  berdasarkan informasi hoaks, maka bisa melaporkan ke Dewan Pers.

Demikianlah beberapa strategi mencegah industri pers agar tidak terjebak dalam trial by the press. Meski demikian, penerapannya tentu membutuhkan iklim positif yang berasal dari sistem hidup yang melingkupinya. Dalam rengkuhan sistem liberal kapitalistik, potensi pers untuk bertindak trial by the press sangat besar berdalih sebagai kebebasan pers dan demi meraih keuntungan sesuai kepentingannya.



Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati


Pustaka

Trial by The Press Berbuah Penjara, Maspril Aries, ekbisnews.com, 2 April 2021

Peran Juru Bicara Pengadilan dalam Menghadapi Trial by The Press, Alfath Satriya, indonesiana.id, 11 Agustus 2020

Hentikan Trial by The Press, Frans Hendra Winarta, franswinarta.com, 12 Oktober

Posting Komentar

0 Komentar