Seorang Muslim Meragukan Hukum Syariah Islam: Mungkinkah?


TintaSiyasi.com -- Saudara sekalian, pada kesempatan yang baik ini kita mau berbincang masalah yang sensitif dalam bidang hukum politik dan agama, apalagi semenjak Taliban menang di Afghanistan. Apa soal itu: tidak lain dan tidak bukan adalah: syariah Islam. Syariah Islam itu mestinya menjadi bagian yg melekat pada setiap diri muslim. Tapi kenyataannya seorang Muslim justru meragukan syariah Islam! Mengapa? Menolak sistem kekhalifahan sama artinya tidak meyakini sabda Rasululloh karena ada hadist yang menyatakan bahwa suatu saat sistem kekhalifahan ala minajjinubuwah akan tegak kembali. Tidak meyakini sabda rasulullah berarti tidak beriman kepada Rasulullah. Tidak beriman kepeda Rasul Muhammad berarti keimanannya dipertanyakan.

Meskipun berita ini menyeruak hampir 3 tahun lalu, September 2019, tampaknya masih tetap relevan untuk dikaji dengan cara memberikan respons terhadap konten pemberitaan ini. Sebagai seorang muslim saya merespons terkait dengan judul berita di media Online BeritaSatu yang berbunyi: "MUI Minta Penyebar Ideologi Khilafah Ditindak Tegas" (BeritaSatu.com, Selasa, 17 September 2019). Tujuan analisis singkat ini agar diperoleh pencerahan dengan menggunakan nalar sehat berpikir serta tidak lepas dari dasar keimanan.

Pada berita itu disebutkan bahwa Wakil Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ali M Abdillah mengatakan, individu penyebar ideologi khilafah harus ditindak tegas agar ideologi itu tidak tumbuh dan berkembang di masyarakat.

"Seperti kasus kebakaran sekarang ini, ketika sudah besar kewalahan. Sebelum besar, pemicunya harus segera diamputasi," kata Ali di Jakarta, Selasa (17/9/2019).

Menurut Ali, secara kelembagaan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sudah dibubarkan, tapi faktanya para anggota HTI masih terus melakukan gerakan di bawah tanah untuk melakukan perekrutan anggota. Ia mengaku mendapat laporan bahwa aktivis HTI masih mempengaruhi masyarakat, majalah HTI "Kaffah" juga masih beredar, bahkan HTI juga sempat membuat manuver saat memperingati tahun baru 1 Muharram 1441 Hijriah.

Eks-HTI menurut Ali juga terus menyebarkan narasi untuk mempengaruhi dan meraih simpati masyarakat, serta menyerang pihak-pihak yang menentangnya. Misal, orang yang mempermasalahkan bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid, yang notabene bendera HTI, dituduh anti-Islam.

Pernyataan KH Ali M Abdillah tersebut bila tidak ditanggapi secara serius akan berakibat umat Islam sendiri tidak memahami simbol dan ajaran Islam bahkan malah terkesan memusuhi terhadap simbol dan ajaran Islam yang secara konstitusional dijamin keberadaan dan juga penggunaannya dengan tetap memahami hukum nasional yang berlaku, misalnya tentang UU Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan (UU No. 24 Tahun 2009).

Ada 2 hal pokok yang akan kita bicarakan terkait dengan seorang Muslim meragukan syariah Islam.

Pertama: Soal Latar Belakangnya.

Sebelum saya bicara lebih jauh, Saya tekankan di sini, bahwa saya bukanlah anggota HaTeI, atau FPI dan di samping itu Kami juga paham kalau HaTeI itu sudah dicabut badan hukumnya, demikian pula FPI juga sudah dibubarkan oleh pemerintah, tetapi menurut saya warganya tidak boleh dipersekusi semaunya. Ingatlah, anak keluarga PKI saja mendapatkan tempat terhormat di negeri ini, lalu mengapa orang-orang HaTeI itu diburu seolah melebihi PKI? Menurut saya, lebih baik negara segera membuat UU yang khusus membuat delik baru tentang HTI dan dakwah khilafah yang diembannya. Atau sekalian dibuat UU bahwa seluruh umat Islam dilarang mendakwahkan ajaran Islam, khilafah.
Apakah memang begitu yang dikehendaki?

Saudaraku, khilafah itu bukan ideologi, tetapi sistem pemerintahan Islam yang bersumber dari ideologi Islam dan pembicaraannya tidak beda dengan sistem pemerintahan lainnya seperti demokrasi, kerajaan (monarkhi), teokrasi, otokrasi dll. Setahu saya, sistem pemerintahan Islam itu dirumuskan oleh karena hasil analisis para ulama yang shahih (ijtihad). Bagaimana kedudukan ijtihad ulama dalam syariah Islam? Ia bagian syariah Islam ataukah tidak termasuk syariah Islam, atau bahkan haruskah kita memusuhi hasil ijtihad tersebut?

Bila kita mau dan mampu bernalar dengan baik, apalagi kita bisa bernalar secara Islami (alfikrul Islami), kita akan memperoleh dalil, terkait dengan masalah ijtihad seperti berikut ini:

"Pendapat yang digali oleh seorang mujtahid adalah hukum syariah."

Aktivitas untuk memalingkan umat Islam dari hukum syariah itu sangat banyak. Cara yang paling kejam adalah: tuduhan bahwa pendapat mujtahid bukan Hukum Syariah, itu hanya pendapat yang tidak mengikat. Hukum syariat hanya yang ada nashnya dalam Quran dan hadist. Harus ditunjukkan secara letterlijk. Harus disebut secara jelas. Ini adalah tuduhan yang sangat keji. 

Bila pendapat ini dipegang akan banyak hal yang tidak ada hukum syariah, sehingga seseorang cenderung akan berpendapat tanpa berpegangan pada ijtihad para imam. Inilah upaya untuk memalingkan umat Islam dari syariat Islam. Mengapa? Karena Al-Qur'an dan hadis itu sumber hukum bukan syariahnya itu sendiri. 

Apakah betul mengikuti cara nabi itu salah?

Mantan Ketua MK, Mahfud MD yang sekarang menjabat sebagai Menkopolhukam pernah juga menjelaskan bahwa ada beberapa alasan mengapa negara khilafah tidak boleh diikuti. Mengapa kok tidak boleh diikuti? Berikut alasannya. Di zaman Nabi Muhammad, negara yang dibentuk:

1. Nabi Muhammad itu lembaga legislatif, 
2. Nabi Muhammad itu lembaga eksekutif, 
3. Nabi Muhammad itu lembaga yudikatif, 
4. Nabi Muhammad yang membuat hukum berdasarkan wahyu Alloh.

“Anda membuat negara seperti Nabi Muhammad melalui wahyu siapa? Nah enggak bisa, jangan,” kata Mahfud.

Menurut saya, kalau pertanyaannya wahyu siapa, Jawabnya mestinya: Wahyu Allah dalam Al-Qur'an. Lalu apalagi dasarnya? Tentu hadis Rasulullah dan juga ijtihad para ulama. Bukankah begitu? Itu kan sumber hukum Islam?

Pertanyaan saya selanjutnya tetap fokus pada: Apakah betul mengikuti cara Nabi itu salah? Bukankah Rasulullah itu "uswatun hasanah", suri tauladan yang baik? Lalu, apa yang pantas kita teladani dari Rasulullah? Hanya shalat-nyakah, zakat-nyakah, haji-nyakah, puasa-nyakah? Bukankah Rasulullah juga memberikan contoh bagaimana mengelola negara, mengelola harta, berhubungan dengan negara luar, berperang, berdagang. Apakah dikira Rasulullah itu hanya sekelas ketua RT?

Menurut saya tidak fair bila kita mengharamkan sistem khilafah dan memusuhi orang yang mempelajari dan mendakwahkan khilafah. Itu tidak fair! Mengapa, ya karena dalam sejarah selama 1300 tahun umat Islam memang dalam kepemimpinan dengan sistem kekhalifahan, apa pun bentuk dan variasinya. Bahkan, bukankah beberapa wilayah Indonesia sempat menjadi bagian atau wakil kekhalifahan Ustmani, misalnya Demak, DI Yogyakarta? Bukankah, kita juga pernah dibantu khilafah ketika kita melawan penjajah Belanda? Apakah kita akan melupakan begitu saja jejak kekhalifahan di negeri ini? Itu tidak fair! Itu a-history!

Kedua: Strategi yang Harus Ditempuh Umat Islam Agar Tidak Meragukan Hukum Syariah

Mengapa umat Islam terombang-ambing dalam keraguan? Orang ragu itu karena prinsipnya kurang atau bahkan tidak berilmu. Saudaraku, mungkin kita akan debatable terkait masalah ini, mengingat situasi politik kita sekarang yang sangat absurd dan begitu banyak distorsi penalaran sebagai insan berpikir. Bagi saya, sebagai sebuah ilmu pemerintahan, khilafah itu bukan sesuatu yang menjijikkan, atau berbahaya bagi eksistensi suatu rezim manapun selama kita tidak menggunakan cara kekerasan dan pemaksaan apalagi penggunaan perilaku ekstrim untuk memberlakukan suatu sistem pemerintahan tertentu. 

Selain penguasaan ilmu, dibutuhkan kedewasaan berpikir untuk memahami semua sistem apa pun di dunia ini sehingga kita tidak antipati bahkan prejudice terhadapnya sementara pengetahuan kita terhadapnya sangat minim dan terbatas. Mari kita tingkatkan literasi kita sehingga tidak mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan suka melempar tanggung jawabnya. Kita buktikan bahwa Islam itu rahmatan lil 'alamiin, rahmat bagi seluruh alam. 

Apabila kita bicara tentang hukum syariah Islam tentang khilafah, seringkali kita juga terjebak soal sistem baku sebuah pola atau model pemerintahan. Apakah sistem pemerintahan khilafah itu memiliki model baku? Dalam hal menjawab masalah ini kita harus memiliki ilmu yang cukup plus kesadaran berpikir yang mendalam bahkan mustanir. Taruhlah sistem dan jenis kekhalifahan itu tidak baku, namun apakah sesuatu yang tidak baku itu tidak bisa diikuti? Kalau sekarang kita ikuti sistem pemerintahan demokrasi, apakah demokrasi juga punya bentuk baku? Negara mana yang benar-benar menerapkan sistem demokrasi yang benar? Ala Amerika, ala Rusia, Ala China, Ala Eropah, ala Asia, ala Afrika? Sebut, berapa jenis demokrasi yang ada? Dan apakah negara yang menganut demokrasi benar-benar menerapkan prinsip dasar demokrasi? Atau mereka tidak tulus menerapkan demokrasi melainkan hanya sekedar pseudo demokrasi? Atau bahkan sebenarnya mereka justru telah membunuh sendiri demokrasi yang mereka puja (harakiri) sebagaimana ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt bahwa demokrasi pun akan mati bila kediktaktoran rezim justru dipertontonkan (How Democracies Die). 

Seandainya memang sistem pemerintahan Islam itu dikatakan tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang majemuk, beragam, pluralistik dan lain-lain, namun pernahkah kita juga berpikir bahwa apakah zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin itu masyarakat Madinah juga homogen? Masyarakatnya semua Muslim? Tidak bukan? Ada yang muslim, musyrik, kafir dan tidak beragama juga ada. Jadi, ketika hukum Islam diterapkan masyarakat Madinah juga plural, majemuk, beragam. Lalu, benarkah alasan menolak ide kekhalifahan itu karena pluralitas masyarakatnya? Bukan itu! Alasannya ya karena kita tidak mau dan tentu saja banyak yang merasa terancam karena ditegakkannya hukum-hukum Allah atau setidaknya hukum yang bersumber dari hukum Islam. 

Memang sudah terbukti varian kekhalifahan itu beragam sistem. Namun, sebagai manusia yang dibekali oleh cipta, rasa dan karsa, tidak bisakah kita menyaring, memilah dan memilih sistem kekhalifahan terbaik dari sekian banyak varian sistem kekhalifahan itu sebagaimana kita pilih demokrasi Pancasila yang konon terbaik meskipun hingga sekarang pun kita sulit mengidentifikasi karakteristiknya karena Indonesia pun sistem pemerintahannya dikelola tidak lebih dan tidak kurang sama dengan negara liberal bahkan lebih liberal lagi. Lalu, demokrasi Pancasila itu yang macem mana? Atau gampangnya begini, dari 7 rezim yang berkuasa dan semuanya mengklaim rezimnya berideologi Pancasila, coba tunjukkan kepada saya rezim mana yang telah menjalankan dan menerapkan ideologi Pancasila dan oleh karenanya berbeda dengan negara dengan ideologi liberal dan atau komunis?

Itulah strategi umat yang harus ditempuh agar umat Islam sendiri tidak meragukan, tidak asing apalagi memusuhi hukum syariah Islamnya sendiri. Kalau bukan umat Islam sendiri, siapa lagi yang akan merawat, mengokohkan dan menerapkan hukum syariah yang jelas dibentuk berdasarkan sumber yang sahih, dan benar serta diterjemahkan oleh para alim ulama yang memiliki kompetensi tinggi serta dijamin keilmuannya dan kesalehannya.

Seorang Muslim masih meragukan syariat Islam sangat dimungkinkan terjadi. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor minimnya atau ketiadaan pemahaman (berbasis ilmu) dan kesadarannya sendiri terhadap simbol Islam dan ajarannya. Pemahaman itu sangat penting dalam membentuk kesadaran seseorang. Orang mengerti saja belum tentu memahami kebenaran ajaran Islam apabila pada dirinya tidak dilengkapi dengan cara berpikir yang mendalam bahkan bila perlu berpikir mustanir. 

Oleh karena itu, ngerti saja tidak cukup, paham juga pun tidak cukup melainkan harus ditambah dengan aspek kesadaran diri untuk menerima bahwa simbol dan ajaran Islam adalah benar meskipun secara letterlijk tidak secara tegas dikatakan di dalam Al-Qur'an. Ajaran itu tetap dapat dirujuk pada dalil Al-Qur'an, hadis, dan hasil ijtihad para ulama yang jelas dapat dipertanggungjawabkan keilmuann dan kesalehannya. So, masihkah Anda meragukan syariah Islam? Tabik!

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat 

Posting Komentar

0 Komentar