Peristiwa Isra Mikraj Seharusnya Mengukuhkan Keimanan dan Ketaatan kepada Syariat Islam

TintaSiyasi.com -- Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) mengatakan, peristiwa penting Isra Mikraj yang ada dalam Islam seharusnya mengukuhkan keimanan kepada Nabi Muhammad SAW dan juga risalah Islam. 

“Jadi, peristiwa Isra Mikraj itu seharusnya peristiwa yang mengukuhkan keimanan kita kepada kenabian Nabi Muhammmad SAW, AlQur’an, dan risalah Islam yang di dalamnya ada akidah dan syariat. Karena risalah itu ada dalam Al-Qur’an dan Hadis mutawatir. Kepada seluruh perkara syariah,“ ujarnya dalam acara peringatan Isra Mikraj: Indonesia Berkah dengan Islam Kaffah, Sabtu (18/02/2023) via daring.

Karenanya, tidak ada alasan bagi siapa pun umat Islam untuk menolak peristiwa itu atau bahkan sekadar ragu. Seharusnya dari peristiwa Isra Mikraj mampu mengukuhkan keyakinan akan kenabian Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT. Tidak mungkin Beliau SAW bukan utusan Allah hingga berjumpa dengan Allah langsung di Sidratul Muntaha.

Kemudian, ia katakan, hal tersebut juga memerintahkan untuk membenarkan yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw yaitu Al-Qur’an. Sehingga benar jugalah isinya yang merupakan risalah Islam itu sendiri. 

UIY mengakui, sulit untuk mempercayai peristiwa dahsyat Isra Mikraj yang dialami oleh Nabi SAW, bahkan di zaman sekarang. Apalagi untuk masyarakat Arab saat itu. Singkatnya perjalanan yang dilakukan oleh Nabi SAW kembali ke bumi dari Sidratul Muntaha seperti digambarkan oleh Aisyah r.a., “Peristiwa Isra Mikraj itu dalam satu malam. Aisyah saat itu tidur bersama Rasulullah sebelum beliau diberangkatkan. Lalu Aisyah mengabarkan saat ia terbangun, Rasulullah sudah berada di sampingnya lagi,” sebut UIY. 

Padahal, perjalanan yang ditempuh oleh Rasulullah SAW dari Masjidilaqsa saja ke Masjidilharam, untuk ukuran model transportasi hari itu yang hanya unta atau kuda, menempuh jarak 1200 km. Setidaknya melampaui waktu satu bulan atau berpekan-pekan. 

Belum lagi perjalanan menuju Sidratul Muntaha. UIY menjelaskan, jarak Sidratul Muntaha dengan bumi yang bisa diamati saja, memiliki jarak tempuh sepanjang 27 miliar tahun cahaya. 

“Andai. Andai ini. Sidratul Muntaha itu ada di ujung semesta yang tadi bisa diamati 27 miliar tahun cahaya, berapa kecepatan Nabi? Cahaya saja yang kecepatannya 300 ribu km/s, perlu 27 miliar tahun cahaya. Berapa kecepatan? Sangat sulit untuk dipahami. Tetapi ada seorang astronot yang coba menghitungnya dan ia dapatkan angka 1,8 juta kali kecepatan cahaya,” jelasnya. 

Jadi benar ujar UIY, bahwa Isra Mikraj adalah ujian keimanan. Dan sahabat Rasulullah SAW yaitu Abu Bakar r.a. telah menunjukkan cara untuk mempercayai peristiwa itu. Bukan hanya memikirkan peristiwa itu sendiri. Sebab kalau dipikirkan makin tidak masuk akal. 

Jadi, Abu Bakar mencontohkan untuk bertumpu pada siapa yang mengabarkannya. Atau dengan kata lain,  bertumpu pada dalil. Dalam hal ini dalilnya adalah perkataan Nabi Muhammad SAW langsung.  

“Kalau sekarang tentu Nabi Muhammad sudah tidak ada. Tetapi diceritakan dalam Surah Al-Isra ayat 1, Surah An-Najm ayat 1 sampai 18.  Begitu juga dalam beberapa hadis khususnya riwayat Muslim yang detail sekali menceritakan itu,” imbuhnya.

Karena  itu, tatkala orang-orang Qurais mendatangi Abu Bakar r.a. dan mencoba meragukan dengan kabar Isra Mikraj itu kepada Sayidina Abu Bakar, dengan harapan agar Abu Bakar malu karena telah percaya kepada Nabi SAW. Tetapi yang terjadi jsutru sebaliknya.  

“Harapannya Abu Bakar merasa malu percaya kepada Nabi. Tetapi apa kemudian yang terjadi? Ia mengatakan, saya percaya dan saya pasti percaya. Andai pun Nabi menceritakan lebih daripada itu. Kata Abu Bakar. Ia kunci pernyataan itu dengan mengatakan, ma dama qala, faqad sadaqa, sepanjang Nabi yang mengatakan, pasti benar,” beber UIY. 

Begitulah seharusnya sikap seorang Muslim ketika mengahadapi perintah dan larangan Allah. Untuk menyikapi syariat, dan terhadap Rasulullah SAW dengan kepercayaan tanpa keraguan sedikit pun seperti halnya Sayidina Abu Bakar, katanya. 

UIY juga mencontohan dengan sederhana gambaran keyakinan yang tanpa keraguan itu seperti seseorang yang mempercayai seorang dokter untuk mengobati penyakitnya. Segala yang diperintahkan dan diresepkan oleh dokter biasanya menurut UIY, tidak pernah dipertanyakan oleh pasien kenapa begini dan begitu.
 
“Ketika kita sudah percaya kepada yang membawa syariat itu, disuruh apa aja mau. Contoh sederhana saja kita datang ke dokter. Coba lihat ketika kita disuruh berbaring oleh dokter. Pasien tidak pernah omong kenapa harus berbaring? Lalu dibuka baju pasang stetoskop. Kenapa di sini? Kenapa enggak di pipi saja? Kita tidak tahu apa yang didengar dokter ketika ditempel stetoskop kepada kita. Dan dokter bilang, bagus. Lalu kasih resep. Kita kan percaya saja?” terangnya. 

Dengan demikian, poin paling penting  yang diajarkan atau diperlihatkan oleh Sayidina Abu Bakar yang mesti kita catat dalam setiap perayaan atau peringatan Isra Mikraj itu adalah bagaimana agar umat Islam terus meningkatkan keimanan.

"Syukur-syukur bisa seperti imannya Sayidina Abu Bakar yang disampaikan dalam satu hadis dan diriwayatkan oleh Tirmidzi yang mengatakan andai imannya Abu Bakar ditimbang, maka lebih berat daripada dunia dan seisinya," paparnya.

Oleh karena itu, UIY menegaskan, rapuhnya pengabdian terhadap syariat hari ini, sesungguhnya berpangkal dari rapuhnya umat Islam atau kaum muslimin terhadap keimanan, termasuk kepada hari akhir. Hal itu juga berpangkal dari rapuhnya keimanan terhadap nabi Muhammad saw. Karena syariah sampai kepada umat Islam melalui Nabi SAW. 

“Dan peristiwa Isra Mikraj adalah peristiwa yang sesungguhnya  mesti membuat kita makin kukuh keyakinan kita bahwa Nabi Muhammad atau Muhammad sebagai nabi. Itu poin paling penting,” pungkasnya.[] M. Siregar

Posting Komentar

0 Komentar