Mimpi sebagai Religious Nation State dengan Rekam Jejak Sekuler Islamofobia: Relasi Negara dan Agama Ambyar


TintaSiyasi.com -- Berdasarkan data World Justrice Project, Indeks Negara Hukum (Rule of Law Index/RLI) Indonesia tercatat sebesar 0,53 poin pada 2022. Nilai tersebut hanya naik tipis 0,01 poin dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 0,52 poin. Skor RLI tersebut menempatkan Indonesia berada di posisi 64 dari 140 negara secara global. Di lingkup regional, Indonesia berada di urutan sembilan dari 15 negara. 

Ada 8 unsur penilaian, yang tertinggi adalah nilai ketertiban dan keamanan dan terburuk adalah penegakan hukum pidana. Dan yang perlu dicatat bahwa semua unsur nilainya berada di bawah nilai rata-rata global (0,72) dan nilai rata-rata regional (0,79). Miris bukan? Bahaya bukan? (Sumber: https://dataindonesia.id/ragam/detail/indeks-negara-hukum-indonesia-naik-tipis-pada-2022.)

Prinsip negara hukum (rule of law) pada awalnya diarahkan untuk melindungi kepentingan para pemilik modal dan sekaligus penguasa dalam arti sedapat mungkin untuk mempertahankan, menyelamatkan investasi dan melanggengkan kekuasaan dengan cara yang legal. Alasan adanya hukum adalah untuk menjamin agar kekuasaan berganti, dialihkan secara teratur, terarah sehingga tidak menimbulkan pertumpahan darah akibat adanya perebutan kekuasaan, misalnya melalui kudeta. ROL memiliki jenis yang berlapis (Brian Z Tamanaha, 2004), mulai dari ROL yang paling tipis (the thinnest ROL) yakni ketika hukum hanya dipakai oleh penguasa sebagai tameng (alat legitimasi) kekuasaan, alat melanggengkan kekuasaan, ROL dengan human right dignity hingga ROL yang paling tebal (the thickest ROL) yakni ROL yang berorientasi pada social welfare. Jika hukum hanya dipakai sbg alat oleh penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya, maka hal ini yang akan muncul adalah wajah hukum konvensional normatif represif, bahkan secular.

Apa pun nama ROL, tampaknya belum mencukupi kebutuhan bangsa Indonesia yang membentuk negara hukum transendental (Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 29 ayat 1 UUD NRI 1945) dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dicantumkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945. ROL dalam konsepsi Barat cenderung sekular, tidak melibatkan “campur tangan” kekuasaan ilahi melalui kitab suci yang telah diturunkan kepada umat manusia. Sementara itu diketahui bersama bahwa hukum di Indonesia itu dibangun dan dikembangkan berbasis dan bersumber pada 3 bahan, yakni hukum adat, hukum modern dan hukum Islam (hukum agama). Hal ini sesuai dengan teori pembentukan hukum yang dikemukakan oleh Thomas Aqunias yang menyatakan bahwa human law itu dibentuk bersumber dari devine law (Kitab Suci) dan natural law (moral dan ethic). Berdasarkan teori ini penulis berani menyimpulkan bahwa kitab suci seharusnya juga dapat dipakai sebagai rujukan atau sumber pembentukan human law berupa konstitusi. Inilah yang kita sebut salah satu konsep implementasi relasi antara negara dan agama. 

Oleh karena ROL konsep Barat tidak akan pernah mencukupi kebutuhan umat untuk mencapai tujuan nasionalnya maka ditawarkan model negara hukum dalam perspektif transendental sebagai sumber referensi pembentukan negara hukum yang mampu menjamin terwujudnya tujuan nasional. 

Penulis terus terang merasa tertarik dengan visi Partai berlambang Ka'.bah (PPP) yang memiliki misi ingin membentuk NKRI bersyariah. Saya berpikir keras tentang hal itu. Mengapa? Karena selama ini banyak di antara umat Islam, bahkan mungkin mayoritas muslim tidak sejalan dengan penegakan Syariat Islam dalam kehidupan bernegara, apalagi secara kaffah (menyeluruh). Umat Islam termasuk penulis masih mengikuti cara berpikir: yang penting ada maslahah, syariat itu nanti dulu, bukan di mana ada syariat di situ ada maslahah. Ini prinsip yang selama ini dipegang sebagian besar umat Islam di NKRI ini.

Kita lebih suka berhukum secara prasmanan. Artinya berhukum syariat Islam itu sebatas yang "mengenakkan", ambil yang dianggap menguntungkan, tinggalkan yang dianggap merugikan. Jadi kita berhukum itu sebatas anggapan manusia sendiri tanpa berkonsekuensi dengan "apa maunya Allah". Mungkinkah kita dengan modal minimalis itu menegakkan syariat Islam, hendak membentuk NKRI bersyariah seperti tekad partai itu? Padahal kita tahu bahwa the end of sharia islam enforcement adalah tercapainya tujuan negara didirikan, yakni maslahah dhuroriyaat.

Maslahah Dhoruriyaat ini yang sekaligus menjadi akhlak negara ada delapan macam, yaitu:

1. Menjaga Agama (Hifdzud Diin). 
2. Menjaga Jiwa (Hifdzun Nafs). 
3. Menjaga Akal (Hifdzul Aqli). 
4. Menjaga Keturunan (Hifdzul Nasl). 
5. Menjaga Harta (Hifdzul Maal). 
6. Menjaga Kehormatan (Hifdzul karamah).
7. Menjaga Keamanan (Hifdzul amn). 
8. Menjaga Negara (Hifdzud Daulah).

Penegakan Syariat Islam dalam Negara selain akan mencegah pelanggaran, mencegah kriminalitas, juga karena penegakannya diwajibkan oleh Pencipta untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Dan seperti yang dituliskan oleh Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya ‘Mafahim Islamiyah’, bahwa Islam akan mendatangkan ‘maslahah Dhoruriyaat’, kemaslahatan-kemaslahatan yang menjadi keharusan, yang diperlukan oleh kehidupan individu masyarakat sehingga tercipta kehidupan yang harmonis.

Jika kemaslahatan-kemaslahatan ini tidak ada, maka sistem kehidupan manusia menjadi cacat, manusia hidup anarki dan rusak, dan akan mendapatkan banyak kemalangan dan kesengsaraan di dunia serta siksa di akhirat kelak. Maslahah dhuroriyah tersebut rasanya memang seperti fiksi. Sebatas energi positif yang dapat membangkitkan seseorang, kelompok orang untuk mencapai tujuan mulia tertentu. Namun, salah rasa itu. Maslahah itu bukan fiksi, apalagi fiktif melainkan realitas. Maslahah Dhuroriyaat itu juga sudah dikaji berdasarkan wahyu, ra'yu (olah akal) dan pengalaman sejarah ratusan bahkan ribuan tahun. Namun, ketiga hal itu sering kita kibaskan hanya karena nafsu yang ingin semakin lepas menjauh dari syariat Islam. Kita mesti ingat, tidak ada sebuah komunitas masyarakat di muka bumi ini homogen, tetapi heterogen. Islam setahu saya hadir untuk tetap menghargai keragaman dengan tetap menyerukan amar makruf nahi mungkar.

Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tidak menggunakan hukum Islam sebagai landasan penyelenggaraan negara. Namun demikian, negara tetap memberikan ruang untuk diterapkannya hukum Islam pada tataran tertentu khususnya hukum keluarga. Hukum Perkawinan, Hukum Waris, Hukum Wakaf, Hukum Zakat, Hukum Penyelenggaraan Haji mendapat tempat khusus dalam penyelenggaraan negara hingga dibentuk pula peradilan khususnya, yakni Pengadilan Agama. Meskipun tidak secara menyeluruh diatur, bukti tersebut sebenarnya mencerminkan bahwa relasi antara negara dan agama begitu tampak jelas.

Uraian sedikit ini semoga tidak makin membuat umat manusia, khususnya masyarakat bangsa Indonesia itu phobia terhadap syariat Islam yang sangat mulia tersebut. Penulis tidak dalam kapasitas memaksakan dan menggunakan kekerasan untuk mengarahkan orang lain agar sepaham dengan penulis. Kita seharusnya jujur dan berpikir terbuka (open mind) terhadap adanya sebuah fakta bahwa syariat Islam bukan binatang buas yang mesti diburu untuk dihancurkan, melainkan ajaran yang menuntun ke arah kemaslahatan umat manusia, kemarin, kini dan yang akan datang. Yang terpenting dalam penyampaiannya adalah tidak adanya pemaksaan, penggunaan kekerasan apalagi makar. Demikian cara kita memaknai relasi antara negara dan agama di negeri yang telah menahbiskan dirinya sebagai Negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa khususnya ketika diimplementasikan dalam konsep Indonesia Negara Hukum Trasendental.

Relasi negara dan agama dalam pembentukan hukum serta penegakannya di Indonesia di tahun depan tetap dalam nuansa Islamophobia karena mindset penguasa masih sama, dengan rezim yang sama. Apalagi menjelang tahun-tahun politik menuju Pemilu 2024, narasi identitas politik dan politik identitas akan diarahkan dengan mendeskreditkan umat Islam. Islam dirindukan, namun juga dijadikan kambing hitam. Alih-alih menerapkan hukum Islam, mempromosikan pun masih tetap akan distempeli radikal. Apakah negara hukum Indonesia 2023 akan lebih baik yang ditandai tingginya score unsur-unsur pendukungnya? Saya prediksikan, belum akan beranjak naik secara signifikan, bahkan lebih buruk apalagi jika Islamopbohia masih menjangkiti rakyat dan penguasa negeri.

Akhirnya, penulis pun mengamini apa yang dikatakan oleh Prof. Oemar Seno Adji yang menyatakan bahwa: there is no law without morality and there is no morality without religion. Dengan demikian hukum di negara hukum tidak akan tegak tanpa moralitas dan moralitas tidak bisa berdiri tanpa agama. Tabik![]

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat 

Posting Komentar

0 Komentar