Bagaimana Mempengaruhi Jiwa Anak?

TintaSiyasi.com -- Sobat. Sesungguhnya jiwa dapat tumbuh dengan pendidikan yang baik sebagaimana tubuh dapat tumbuh dengan gizi yang baik. Pertumbuhan tubuh memiliki batas yang jelas dan tidak akan terlewati. Apabila sudah sampai puncak, akan kembali mundur ke belakang. Sementara pertumbuhan jiwa berkaitan erat dengan kehidupan seseorang. Tidak akan berhenti sampai berhentinya nafas atau meninggalkan madrasah alam nan luas ini.

Hadis yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Ibnu an-Najjar dari Ali karramallahu wajhahu, “Ajarkanlah kepada anak-anak kalian tiga perkara : cinta kepada nabi kalian, cinta kepada keluarga beliau, dan membaca Al-Qur'an.”

Sobat. Keterikatan seorang anak kepada Rasulullah SAW membuatnya menjadi manusia yang sempurna. Karena, pikirannya menjadi terbuka untuk mempelajari jalan hidup pemimpin para Rasul, pemimpin seluruh umat manusia dan kekasih Allah. Akalnya kan diterangi oleh cahaya keimanan. Dengan memahami sejarah yang mulia ini, dia akan mengangkat kepalanya dengan bangga sebagai pengikut setia Rasulullah SAW.

Apabila kita tahu ketololan orang-orang  barat  yang berusaha mengikat anak-anak dengan tokoh-tokoh fiktif seperti Superman, Superhero, Spiderman, Ultraman, dan lain-lain, kita menjadi paham pentingnya mengikat akal anak dengan pribadi Rasulullah SAW. Kita cukup menceritakan sejarah beliau, akhlak beliau, dan berbagai pertempuran beliau lakukan dihadapan anak-anak, dalam rangka memupuk rasa cinta mereka kepada nabinya, meneladani rasulnya dan mencontoh perilaku beliau, serta untuk menjauhkan diri dari tokoh-tokoh maksiat.

Berikut ini teladan dari Rasulullah SAW dalam mempengaruhi jiwa anak:

Pertama. Berteman dengan anak. Pertemanan memainkan peranan penting dalam memberikan pengaruh pada jiwa anak. Seseorang adalah cerminan dari temannya. Mereka saling belajar satu sama lain. Rasulullah SAW juga berteman dengan anak-anak di banyak kesempatan. Sekali waktu beliau menemani Ibnu Abbas dan berlalu bersama di jalan. Ada kalanya beliau menemani anak-anak Ja’far di waktu yang lain beliau menemani Anas. Demikianlah Rasulullah SAW berteman dengan anak-anak tanpa merasa canggung dan sombong, tanpa merasa tinggi hati dan angkuh. Ini termasuk hak anak untuk berteman dengan orang-orang dewasa untuk belajar dari mereka agar dirinya tertata, akalnya terlatih dan kebiasaannya menjadi baik.

Kedua. Menanamkan kegembiraan pada anak. Rasulullah SAW selalu memasukkan kegembiraan di hati anak-anak  antara lain dengan menyambut kedatangan mereka, mencium dan bercanda, mengusap kepala, menggendong dan menimang, memberikan makanan dan makan bersama.

Ketiga. Mengadakan perlombaan dan memberikan hadiah bagi pemenang. Perlombaan dan kompetisi  secara umum menggerakkan semangat manusia terlebih lagi bagi anak-anak maka setiap anak akan mengeluarkan segenap kemampuan untuk menang. Mereka akan menyiapkan  diri  untuk  hari perlombaan. Mereka berlatih, belajar, bertanya, menambah pengetahuan dan memperlihatkan kepada kedua orang tuanya sampai di mana kemampuan yang dimilikinya. Demikianlah kemampuan yang terpendam itu akhirnya meledak-ledak.

Keempat. Memotivasi dan mendukung potensi anak. Hadiah fisik maupun psikis semuanya baik dan merupakan salah satu factor keberhasilan  pendidikan yang harus dilakukan, namun tetap saja tidak boleh diberikan secara berlebihan. Hadiah memiliki dampak yang sangat besar dalam  jiwa anak dan memicu kemajuan pola pikir positif serta kemauan untuk membangun yang dimilikinya. Juga dalam menggali kemampuan dan berbagai bakat terpendamnya. Hal ini juga mendorong konsistensi amalan untuk selalu maju ke depan dalam berkarya.

Kelima. Memberikan  pujian  dan sanjungan. Tidak diragukan lagi bahwa pujian dan sanjungan membawa dampak besar dalam jiwa si anak. Pujian dapat menggerakkan perasaannya, sehingga dia segera dapat memperbaiki perilaku dan perbuatannya. Hatinya akan merasa senang mendengar pujian dan akan terus melakukan perbuatan yang terpuji. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sebaik-baik orang adalah Abdullah, kalau dia mau mengerjakan shalat malam.” Setelah kejadian itu Abdullah bin Umar yang masuk Islam bersama bapaknya sebelum berusia baligh, sepanjang hidupnya jarang tidur malam dan senantiasa sholat malam. Demikianlah pengaruh pujian dan sanjungan apabila dilakukan pada tempat dan waktu yang sesuai serta proporsional dan tidak berlebih-lebihan, maka akan memberikan hasil yang tak ternilai.

Keenam. Bermain bersama anak.

Ketujuh. Menumbuhkan rasa percaya diri anak.

Kedelapan. Panggilan yang baik. Kita perhatikan bahwa Rasulullah SAW dalam berdialog dengan anak-anak selalu mempergunakan beragam panggilan. Ini beliau lakukan untuk menarik perhatian anak dan meletakkannya dalam keadaan siap untuk menerima pembicaraan.

Kesembilan. Mengabulkan Keinginan dan Mengarahkan bakat anak.

Kesepuluh. Melakukan pengulangan perintah. Pengulangan perintah lebih dari satu kali agar berpengaruh pada jiwa anak, sehingga si anak menuruti dan melaksanakan perintah.

Kesebelas. Bertahap dalam menanamkan pendidikan. Bertahap dalam melakukan setiap langkah ini memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam jiwa anak. Karena anak laksana ranting yang masih basah, segala sesuatunya harus dilakukan setahap demi tahap. Setiap amalan atau ibadah yang mesti dilakukan secepatnya, harus melalui beberapa tahapan dan langkah yang direncanakan oleh kedua orang tua dan mereka harus bahu-membahu dalam melaksanakannya.

Keduabelas. Memberikan janji dan ancaman. Janji dan ancaman  merupakan salah satu metode kejiwaan yang cukup berhasil dalam mendidik anak. Beliau menggunakannya dalam banyak kesempatan kepada anak-anak, antara lain dalam masalah berbakti kepada kepada kedua orang tua.

Sobat.  Di dalam Al-Qur’an kata al-auwlad disebut kadang-kadang dalam konteks berita gembira, harapan dan pujian bagi keluarganya, dan kadang-kadang dalam konteks peringatan  dan ancaman kepada mereka.

Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُلۡهِكُمۡ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَلَآ أَوۡلَٰدُكُمۡ عَن ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ 

Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al- Munafiqun (63): 9).

Sobat. Allah mengingatkan bahwa kesibukan mengurus harta benda dan memperhatikan persoalan anak-anak jangan membuat manusia lalai dari kewajibannya kepada Allah atau bahkan tidak menunaikannya. Hendaknya perhatian mereka terhadap dunia dan akhirat seimbang, sebagaimana tertuang dalam sebuah riwayat:
Beramallah (amalan duniawi) seperti amalan seseorang yang mengira bahwa ia tidak akan meninggal selama-lamanya. Namun, waspadalah seperti kewaspadaan seseorang yang akan meninggal besok. (Riwayat al-Baihaqi dari Abdullah bin Ibnu 'Amru bin al-'As).

Dalam hadis lain, Nabi bersabda:

Bukanlah orang yang terbaik di antara kamu seseorang yang meninggalkan (kepentingan) dunianya karena akhirat, dan sebaliknya meninggalkan (kepentingan) akhiratnya karena urusan dunianya, sehingga ia mendapatkan (bagian) keduanya sekaligus, ini dikarenakan kehidupan dunia merupakan wasilah yang menyampaikan ke kehidupan akhirat dan janganlah kamu menjadi beban terhadap orang lain. (Riwayat Ibnu 'Asakir dari Anas bin Malik).

Di sinilah letak keistimewaan dan keunggulan agama yang dibawa oleh junjungan kita Nabi Muhammad SAW yaitu agama Islam. Agama yang tidak menghendaki umatnya bersifat materialistis, yang semua pikiran dan usahanya hanya ditujukan untuk mengumpulkan kekayaan dan kenikmatan dunia, seperti halnya orang-orang Yahudi. Islam juga agama yang tidak membenarkan umatnya hanya mementingkan akhirat saja, tenggelam dalam kerohanian, menjauhkan diri dari kelezatan hidup, membujang terus dan tidak kawin, sebagaimana halnya orang-orang Nasrani. Allah berfirman:
 
Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan (Al-A'raf/7: 31).

Firman Allah:
Katakanlah (Muhammad), "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik? (Al-A'raf/7: 32).

Allah menegaskan pada akhir ayat 9 ini bahwa orang-orang yang sangat mementingkan urusan dunia dan meninggalkan kebahagiaan akhirat, berarti telah mengundang murka Allah. Mereka akan merugi karena menukar sesuatu yang kekal abadi dengan sesuatu yang fana dan hilang lenyap. []


Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Buku The Power Of Spirituality, Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur

Posting Komentar

0 Komentar