Madrasatul Ula: Membentuk Akidah Anak


TintaSiyasi.com -- Sobat. Apabila sudah mulai berakal, maka dimulailah pengajarannya dan dilatih akhlaknya sebelum diterkam oleh akhlak-akhlak yang buruk. Penanaman akidah diawali dengan menghafal, kemudian memahami, lalu diikuti dengan meyakini dan membenarkannya.

Sobat. Imam al-Ghasali mengatakan, “Dalam menanamkan akidah dan meneguhkannya, bukan dengan cara mengajarkan berbicara dan berdebat. Tetapi dengan menyibukkan membaca Al-Qur’an dan mempelajari tafsirnya, mempelajari hadis dan maknanya, serta menyibukkan dengan aktivitas ibadah. Sehingga akidahnya akan makin mantab dan kokoh dengan apa yang mengulik pendengarnya dari dalil-dalil dan berbagai hujjah Al-Qur'án, dengan berbagai bukti dan pelajaran yang didapat dari hadis, serta dengan apa yang dapat dia kerjakan dari cahaya dan aktivitas ibadah.”

Sobat. Setiap anak dilahirkan selalu membawa fitrah keimanan. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-A’raaf (7) ayat 172:

وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ  

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."

Sobat. Dalam ayat ini Allah menerangkan tentang janji yang dibuat pada waktu manusia dilahirkan dari rahim orang tua (ibu) mereka, secara turun temurun, yakni Allah menciptakan manusia atas dasar fitrah. Allah menyuruh roh mereka untuk menyaksikan susunan kejadian diri mereka yang membuktikan keesaan-Nya, keajaiban proses penciptaan dari setetes air mani hingga menjadi manusia bertubuh sempurna, dan mempunyai daya tanggap indra, dengan urat nadi dan sistem urat syaraf yang mengagumkan, dan sebagainya. Berkata Allah kepada roh manusia "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Maka menjawablah roh manusia, "Benar (Engkaulah Tuhan kami), kami telah menyaksikan." Jawaban ini merupakan pengakuan roh pribadi manusia sejak awal kejadiannya akan adanya Allah Yang Maha Esa, yang tiada Tuhan lain yang patut disembah kecuali Dia.

Dengan ayat ini Allah bermaksud untuk menjelaskan kepada manusia, bahwa hakikat kejadian manusia itu didasari atas kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa. Sejak manusia itu dilahirkan dari rahim orang tua mereka, ia sudah menyaksikan tanda-tanda keesaan Allah pada kejadian mereka sendiri, Allah berfirman pada ayat lain:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Ar-Rum/30: 30).

Fitrah Allah maksudnya ialah tauhid. Rasulullah bersabda: "Tak seorang pun yang dilahirkan kecuali menurut fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana halnya hewan melahirkan anaknya yang sempurna telinganya, adakah kamu ketahui ada cacat pada anak hewan itu?" (Riwayat al-Bukhari Muslim, dari Abu Hurairah).

Rasulullah dalam hadis Qudsi:
Berfirman Allah Taala, "Sesungguhnya Aku ciptakan hamba-Ku cenderung (ke agama tauhid). Kemudian datang kepada mereka setan-setan dan memalingkan mereka dari agama (tauhid) mereka, maka haramlah atas mereka segala sesuatu yang telah Kuhalalkan bagi mereka." (Riwayat al-Bukhari dari Iyadh bin Himar).

Penolakan terhadap ajaran Tauhid yang dibawa Nabi itu sebenarnya perbuatan yang berlawanan dengan fitrah manusia dan dengan suara hati nurani mereka. Karena itu tidaklah benar manusia pada hari Kiamat nanti mengajukan alasan bahwa mereka alpa, tak pernah diingatkan untuk mengesakan Allah. Fitrah mereka sendiri dan ajaran Nabi-nabi senantiasa mengingatkan mereka untuk mengesakan Allah dan menaati seruan Rasul serta menjauhkan diri dari syirik.

Sobat. Dari hubungan interaktif Rasulullah Muhammad SAW dengan anak-anak, kita temukan lima dasar asasi dalam menanamkan akidah Islam :

Pertama. Mentalqin anak untuk mengucapkan kalimat Tauhid. Ibnul Qayyim ra dalam kitab Ahkamul Maulud mengatakan, “Pada waktu mereka bisa bicara, mereka ditalqin dengan kalimat “Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah” Hendaknya yang masuk pertama kali dalam telinga mereka adalah pengenalan terhadap Allah SWT, menauhidkannya, bahwasanya Allah SWT berada di atas ‘Arsy, melihat dan mendengar perkataan mereka, dan Allah selalu bersama mereka di mana pun mereka berada. 

Rasulullah SAW bersabda diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ibnu Abbas ra, ”Ajarkanlah kalimat pertama kepada anak-anak kalian Laa ilaaha illallah, dan talqinkanlah ketika akan meninggal dengan kalimat Laa ilaaha illallah.”

Baginda Rasulullah SAW mengajarkan kepada anak dari Bani Hasyim, apabila sudah mulai bisa bicara ayat berikut :

وَقُلِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي لَمۡ يَتَّخِذۡ وَلَدٗا وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ شَرِيكٞ فِي ٱلۡمُلۡكِ وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ وَلِيّٞ مِّنَ ٱلذُّلِّۖ وَكَبِّرۡهُ تَكۡبِيرَۢا  
 
Dan katakanlah: "Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.” (QS. Al-Isra’ (17) : 111).

Sobat. Pada ayat ini Nabi diajari cara memuji Allah SWT yang memiliki sifat-sifat kemahaesaan, kesempurnaan, dan keagungan. Oleh karena itu, hanya Allah yang berhak menerima segala macam pujian-pujian dan rasa syukur dari hamba dan makhluk-Nya atas segala nikmat yang diberikan kepada mereka.

Sobat. Ayat ini menjelaskan tiga sifat bagi Allah SWT:

Pertama: Bahwa sesungguhnya Allah tidak memiliki anak, karena siapa yang memiliki anak tentu tidak menikmati segala nikmat yang dia miliki, tetapi sebagian nikmat itu dipersiapkan untuk anaknya yang ditinggalkannya bilamana dia sudah meninggal dunia. Mahasuci Allah SWT dari sifat demikian. Orang yang punya anak terhalang untuk menikmati seluruh haknya dalam segala keadaan. Oleh sebab itu, manusia tidak patut menerima pujian dari segala makhluk. Dengan ayat ini, Allah SWT menjelaskan dan membantah pandangan orang Yahudi yang mengatakan 'Uzair putra Tuhan, juga pendapat orang Nasrani yang mengatakan bahwa Al-Masih putra Tuhan, atau anggapan orang-orang musyrikin bahwa malaikat-malaikat adalah putri-putri Tuhan.

Kedua: Bahwa sesungguhnya Allah SWT tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya. Jika sekutu-Nya ada, tentu sulit untuk menentukan mana di antara keduanya yang berhak menerima pujian, rasa syukur, dan pengabdian para makhluk. Salah satu di antara dua tuhan tadi tentu memerlukan pertolongan dari yang lainnya dan akhirnya tidak ada satupun tuhan yang berdiri sendiri dan berdaulat secara mutlak di atas alam ini.

Ketiga: Bahwa sesungguhnya tak seorang pun di antara orang-orang yang hina diberi Allah kekuasaan yang akan melindunginya dari musuh yang mengancamnya.

Demikianlah Allah SWT suci dari segala sifat-sifat yang mengurangi kesempurnaan-Nya, agar para hamba-Nya tidak ragu memanjatkan doa, syukur, dan pujian kepada-Nya. 

Sobat. Kemudian Nabi SAW diperintahkan untuk mengagungkan-Nya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan. Mengagungkan dan mensucikan Allah itu adalah sebagai berikut:

Pertama: Mengagungkan Allah SWT pada Zat-Nya dengan meyakini bahwa Allah itu wajib ada-Nya karena Zat-Nya sendiri tidak membutuhkan sesuatu yang lain. Dia tidak memerlukan sesuatu dari wujud ini.

Kedua: Mengagungkan Allah SWT pada sifat-Nya, dengan meyakini bahwa hanya Dialah yang memiliki segala sifat-sifat kesempurnaan dan jauh dari sifat-sifat kekurangan.

Ketiga: Mengagungkan Allah swt pada af'al-Nya (perbuatan-Nya) dengan meyakininya bahwa tidak ada suatu pun yang terjadi dalam alam ini, melainkan sesuai dengan hikmah dan kehendak-Nya.

Keempat: Mengagungkan Allah SWT pada hukum-hukum-Nya, dengan meyakini bahwa hanya Dialah yang menjadi Penguasa yang ditaati di alam semesta ini, dimana perintah dan larangan bersumber darinya. Tidak ada seorang pun yang dapat membatasi dan membatalkan segala ketentuan-Nya atas sesuatu. Dialah yang memuliakan dan Dia pula yang menghinakan orang-orang yang Dia kehendaki.

Kelima: Mengagungkan nama-nama-Nya, yaitu menyeru dan menyebut Allah dengan nama-nama yang baik (al-asma'ul husna). Tidak menyifati Tuhan melainkan dengan sifat-sifat kesucian dan kesempurnaan.

Kedua. Menanamkan cinta kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Berilah nafkah kepada keluargamu dari hasil usahamu, jangan mengankat tongkatmu untuk memukul mereka, jadikanlah mereka takut kepada Allah.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan Bukhari).

Sobat. Menanamkan rasa cinta kepada Allah SWT dan memohon pertolongan kepada-Nya, merasa selalu diawasi oleh-Nya dan beriman kepada ketentuan dan takdir. Inilah metode Rasulullah SAW, bukan hasil penemuan seseorang.

Ketiga. Menanamkan cinta kepada Rasulullah SAW, keluarga beliau dan para sahabat beliau. Dengan dasar ini, terealisasikan baris kedua dari kalimat syahadat. Para salafush shalih dan pengikutnya mereka memiliki perhatian yang besar dalam menanamkannya di dalam hati anak. Karena dengan cinta inilah perasaan si anak tergugah, menambah semangat keislamannya, mendorong untuk melakukan segala kebaikan dan memberikan solusi bagi segala permasalahannya dan meringankan segala musibah yang menimpanya.

Rasulullah SAW bersabda, “Ajarkanlah kepada anak-anak kalian tiga perkara”: Cinta kepada Nabi kalian, cinta kepada keluarga beliau, dan Membaca Al-Qur'an.” (HR. ath-Thabrani dan ad-Dailami).

Keempat. Mengajarkan Al-Qur'an kepada anak. Rasulullah SAW bersabda, “Orang terbaik dari kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur'án dan mengajarkannya.” Kita juga dapati bahwa para sahabat Nabi untuk membaca Al-Qur’an dan membesarkan anak-anak mereka untuk mencitainya dan membacanya.

Kelima. Pendidikan untuk tetap teguh dan rela berkorban demi akidah Islam. Akidah menjadi tinggi dengan pengorbanan. Setiap kali wilayah pengorbanan bertambah luas maka jiwa akan semakin teguh. Itu juga merupakan bukti akan kejujuran dan keistiqomahan. Menjadi penting agar anak-anak mendapatkan suri tauladan dari apa yang dicertakan oleh Rasulullah SAW tentang anak-anak Mukminin dan pengorbanan mereka untuk agama Allah. Apa yang dipersembahkan oleh anak-anak para sahabat adalah teladan. Dia berjalan di jalan Iman dan tidak takut kepada siapa pun karena Allah.

Sobat. Apabila kita buka lembaran-lembaran Al-Qur'an, kita temukan para Nabi dan Rasul memiliki perhatian yang sangat besar keselamatan akidah anak-anak mereka.

Yuk kita jaga anak-anak kita dengan mengajar dan mendidik mereka dengan akidah Islam dan syariat Islam. Semoga mereka menjadi anak-anak yang saleh dan salihah yang kelak di akhirat memberi kita mahkota dari cahaya. []


Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Buku The Power of Spiritualiy

Posting Komentar

0 Komentar