Aksi Pembakaran Al-Qur'an Terulang di Swedia: Penghinaan terhadap Umat Islam Berbalut Kebebasan Berekspresi


TintaSiyasi.com -- Kembali terulang aksi pembakaran Al-Qur'an di Swedia. Pemimpin partai sayap kanan Denmark Stram Kurs bernama Rasmus Paludan hari Sabtu, (21/1/2023) melakukan pembakaran Al-Qur'an di Stockholm, ibu kota Swedia, tepatnya di dekat gedung Kedutaan Besar Turki. Bahkan aksi tersebut di bawah perlindungan polisi Swedia. Namun bukan suatu hal yang aneh, pasalnya aksi penghinaan terhadap Islam ini dianggap negara tersebut sebagai kebebasan berekspresi atas nama demokrasi. 

Aksi pembakaran Al-Qur'an berbalut kebebasan berekspresi kali ini menambah daftar rentetan aksi serupa di tahun-tahun sebelumnya, pun dilakukan oleh orang yang sama. Dikutip dari detikNews (23/1/2023), berikut rekam jejak aksi provokatif Ramus Paludan: 

Pada April 2022, Rasmus Paludan melakukan aksi pembakaran Al-Qur'an di wilayah yang banyak dihuni warga Muslim di Swedia. Aksi yang dilakukan di bawah pengawalan kepolisian pada Kamis (14/4/2022) lalu di area terbuka di wilayah Linkoping. 

Pada November 2020, Rasmus Paludan pernah ditangkap di Prancis dan dideportasi. Paludan bersama lima aktivis lainnya ditangkap di Belgia atas tuduhan ingin "menyebarkan kebencian" dengan membakar Al-Qur'an di Brussels. 

Pada Oktober 2020, dia dilarang masuk ke Jerman untuk sementara waktu setelah mengumumkan rencana untuk menggelar unjuk rasa provokatif di Berlin. 

Pada tahun 2019, Rasmus Paludan juga pernah melakukan aksi pembakaran Al-Qur'an yang dibungkus dengan daging babi. 

Di bawah ketiak kebebasan berekspresi para pendengki Islam terus melakukan penghinaan terhadap Islam dan berulang kali memicu kemarahan umat Islam. Jelas nampak, mereka menderita islamofobia akut. Sudah seharusnya umat Muslim memupus mata rantai islamofobia akut yang menggerogoti negeri-negeri Barat.


Islamofobia Akut Berbalut Kebebasan Berekspresi 

Atas nama demokrasi negeri-negeri Barat sering membiarkan berbagai macam penghinaan terhadap Islam. Pasalnya, bukan Swedia saja yang leluasa melakukan penghinaan, Perancis pun termasuk negara yang kerap membiarkan rakyatnya melakukan penghinaan terhadap Islam termasuk pemimpinnya. 

Pasti masih melekat diingatan seluruh kaum Muslim, media Prancis Charlie Hebdo berulang kali menerbitkan karikatur bernada satir terhadap Nabi Muhammad SAW. Presiden Macron sendiri membela ini sebagai kebebasan berekspresi, dengan mengatakan: "Kami tidak akan menyerah karikatur dan gambar, bahkan jika orang lain mundur". 

Tak jauh beda dengan Presiden Prancis Macron, Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson hanya menganggap aksi Rasmus Paludan yang telah membakar Al-Qur'an sebagai tindakan yang sangat tidak sopan. Sebagaimana yang diwartakan CNN Indonesia (23/1/2023), ia mengatakan, "Kebebasan berekspresi adalah bagian mendasar dari demokrasi. Tapi apa yang legal, belum tentu sesuai. Membakar buku yang suci bagi banyak orang adalah tindakan yang sangat tidak sopan." Dan dia hanya menyatakan simpati terhadap umat Muslim di dunia yang tersinggung atas kejadian tersebut. 

Di atas adalah dua dari pemimpin negeri-negeri Barat yang mengidap islamofobia akut dibalut kebebasan berekspresi atas nama demokrasi. Maka wajar ketika banyak didapati rakyatnya yang kerap melakukan tindakan-tindakan rasis terhadap umat Muslim minoritas yang tinggal di negeri mereka. 

Aksi pembakaran Al-Qur'an beruntun yang dilakukan Rasmus Paludan pun wajar akan terus berlanjut. Kelakuan biadap Paludan ini sudah dideklarasikan sejak April 2021 yang akan melakukan "tur" pembakaran Al-Qur'an selama bulan suci Ramadhan dan pengumuman tersebut memicu kerusuhan di seluruh Swedia. 

Berbagai penghinaan terhadap Islam kerap terjadi di negeri-negeri Barat. Bukan sekadar simbol-simbol Islam, Muslim minoritas pun kerap mendapat perlakukan rasis. Islamofobia akut berbalut kebebasan berekspresi akan terus berlanjut karena atas nama demokrasi membiarkan para pelaku berlindung di bawah ketiaknya.


Umat Muslim Tak Cukup Sekadar Mengecam 

Buntut dari aksi pembakaran Al-Qur'an oleh Rasmus Paludan muncul berbagai kecaman dari negeri-negeri Muslim. Sejumlah umat Islam Turki menggelar demo untuk menguntuk aksi tercela tersebut. 

Kementerian Luar Negeri RI menyatakan responsnya lewat sebuah utas dalam akun Twitter resminya, @Kemlu_RI. "Indonesia mengutuk keras aksi pembakaran kitab suci Al-Qur'an oleh Rasmus Paludan, politisi Swedia, di Stockholm (21/1)." 

Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menyebutkan aksi pembakaran Al Qur’an oleh politisi ekstrimis Rasmus Paludan di Swedia bisa mengganggu hubungan negara. Karena itu, dia meminta OKI yang beranggotakan 57 negara, bersatu mengutuk, menolak, dan menghentikan aksi pembakaran Al-Qur’an yang sepertinya dibiarkan oleh pemerintah Swedia dengan alasan kebebasan berekspresi (PojokSatu, 23/1/2023). 

Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengutuk keras pembakaran Al-Qur’an oleh seorang politisi sayap kanan di Swedia, Rasmus Paludan. Dia mengatakan aksi rasis tidak dapat dibenarkan. Jangan karena alasan kebebasan berekspresi, tindakan menghina dan melecehkan agama dibiarkan (PojokSatu, 23/1/2023). 

Dilansir dari Viva (22/1/2023), berbagai kecaman muncul dari negeri-negeri Muslim. Turki, Pakistan, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Iran, Mesir mengecam Swedia setelah mengizinkan Rasmus Paludan untuk membakar salinan Al-Qur'an dengan kedok "kebebasan berekspresi". 

Kementerian Luar Negeri Turki menyatakan, "Kami mengutuk sekeras mungkin serangan keji terhadap kitab suci kami, Al-Qur'an, di Swedia hari ini (21 Januari 2023), meskipun kami telah berulang kali memperingatkan sebelumnya." 

Kementerian Luar Negeri Pakistan dalam sebuah pernyataan, "Tindakan islamofobia yang tidak masuk akal dan provokatif ini melukai kepekaan agama lebih dari 1,5 miliar Muslim di seluruh dunia." 

Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mengatakan, "Tindakan provokatif menargetkan Muslim, menghina nilai-nilai suci Muslim, menunjukkan contoh lebih lanjut dari tingkat mengkhawatirkan yang dilakukan oleh islamofobia." OKI meminta Swedia untuk menghukum mereka yang berada di balik "kejahatan rasial". 

Bersatunya para tokoh dan negeri-negeri Muslim mengecam setiap terjadi penistaan terhadap Islam menunjukkan bahwa mereka masih sadar memiliki satu ikatan akidah yang sama. Namun sungguh, berulang kalinya penistaan yang diikuti dengan hanya kecaman tidak dapat menghentikan islamofobia akut berbalut kebebasan berekspresi di negeri demokrasi. Ini bukti bahwa umat Muslim tak cukup sekadar mengecam.


Cara Umat Muslim Memupus Mata Rantai Islamofobia Akut 

Islamofobia akut yang berbalut kebebasan berekspresi di negeri-negeri yang menganut demokrasi tidak akan pernah berhenti hanya sekadar dengan kecaman semata. Meskipun kecaman tersebut berasal dari seluruh tokoh Muslim dunia dan negeri-negeri Muslim. Fakta membuktikan tindakan islamofobia terus berulang. Ini juga membuktikan lemahnya umat Islam saat ini. 

Sejarah pernah mengungkapkan fakta ketika Barat tidak berani menghina Nabi Muhammad SAW. Pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Hamid II (1876–1918) Prancis pernah merancang drama teater yang diambil dari karya Voltaire (seorang pemikir Eropa) yang menghina Nabi Muhammad SAW. Drama bertajuk “Muhammad atau Kefanatikan” serta merta dibatalkan Prancis saat Khalifah Abdul Hamid memberi perintah kepada pemerintah Prancis melalui dutanya di Paris supaya menghentikan pementasan drama itu dan mengingatkan akan akibat politik yang bakal dihadapi oleh Prancis jika ia meneruskan pementasan itu. 

Dikisahkan Hidayatullah.com, kumpulan teater datang ke Inggris untuk merancang melakukan pementasan yang serupa dan sekali lagi Abdul Hamid memberi perintah kepada Inggris. Inggris menolak perintah itu dengan alasan tiket-tiket telah dijual dan pembatalan drama itu bertentangan dengan prinsip kebebasan rakyatnya. Perwakilan Utsmaniyah di Inggris mengatakan kepada Inggris bahwa walaupun Prancis mengamalkan “kebebasan” tetapi mereka telah mengharamkan pementasan drama itu. Inggris juga menegaskan bahwa kebebasan yang dinikmati oleh rakyatnya adalah jauh lebih baik dari apa yang dinikmati oleh Prancis. Setelah mendengar jawaban itu, Abdul Hamid sekali lagi memberi perintah, ”Saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengumumkan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasulullah kami. Saya akan kobarkan jihad al akbar (jihad besar). Inggris dengan serta merta melupakan keinginannya mengamalkan “kebebasan berpendapat” dan pementasan drama itu dibatalkan. 

Ketakutan Prancis dan Inggris atas ancaman Khalifah Abdul Hamid bukan tanpa alasan. Kala itu umat Muslim bersatu dalam satu kekuatan politik, yakni Kekhilafahan Utsmaniyah, memiliki jumlah yang menjadi perisai bagi seluruh umat Muslim di dunia. 

Jadi Barat tidak akan berani melakukan penistaan terhadap Islam berbalut kebebasan berekspresi ketika umat Islam memiliki kekuatan politik yang mampu menyatukan umat Islam sedunia dan kekuatannya ditakuti Barat. Namun, saat ini umat Islam lemah karena terpecah belah dalam sekat-sekat nasionalisme maka wajar Barat memiliki nyali merestui setiap penistaan terhadap Islam berbalut kebebasan berekspresi di bawah ketiak demokrasi. 

Oleh karena itu, menjadi pekerjaan rumah umat Islam adalah menghilangkan sekat-sekat nasionalisme menyatu dalam satu kekuatan politik yaitu Khilafah Islamiyah yang akan mampu membuat siapapun berpikir jutaan kali sebelum berani melakukan penghinaan terhadap Islam. []

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

Posting Komentar

0 Komentar