Bagaimana Membangun Aqliyah Anak?


TintaSiyasi.com -- Sobat. Kepribadian manusia sesungguhnya langsung terkait dengan 2 (dua) potensi utama manusia, yaitu: akal manusia dan nafsu manusia. Dari dua unsur inilah kepribadian manusia akan dibentuk. Manusia yang memiliki aqliyah adalah manusia yang memiliki akal, tetapi akal tersebut tidak hanya digunakan untuk berpikir begitu saja. Manusia yang memiliki aqliyah adalah manusia yang ketika akan menggunakan akalnya untuk berpikir, pemikirannya akan dipimpin, diikat atau distandarisasi dengan pandangan hidup tertentu. Manusia yang memiliki nafsiyah adalah manusia yang memiliki nafsu, tetapi nafsu tersebut tidak hanya dipuasi begitu saja. Manusia yang memiliki nafsiyah adalah manusia yang ketika akan menggunakan nafsunya untuk dipenuhi, pemenuhannya akan dipimpin, diikat atau distandarisasi dengan pandangan hidup tertentu.

Sobat. Untuk dapat membentuk aqliyah, manusia harus mau meningkatkan penggunaan potensi akalnya. Potensi akalnya harus ditingkatkan hingga dapat digunakan untuk berpikir sampai ke tingkat 4, tingkat 5 dan bahkan tingkat 6. Peran akal tidak boleh hanya sekadar untuk memenuhi tuntutan pemenuhan nafsunya saja. Akal harus difungsikan secara mandiri, murni dan jujur. Anda ingin mengetahui secara detailnya bagaimana membangun kepribadian Islam yang unggul maka ikuti kajian keislaman bersama SAE – Samara Academic Education.

Sobat. Menggunakan akalnya untuk memikirkan tentang hakikat hidup ini. Akalnya harus mampu menjawab 3 pertanyaan besar manusia: Darimana asal kehidupan ini? Apa tujuan hidup di dunia ini? Akan ke mana setelah hidup di dunia ini? Tiga pertanyaan itu disebut ‘uqdatul kubra. Jika sudah terjawab dengan benar yakni dengan Islam. Akan terbentuk pandangan hidup yang khas bagi manusia tersebut. Pandangan hidup ini jika diyakini kebenarannya, akan menjadi keyakinan bagi seluruh hidupnya. Pandangan hidup inilah yang akan mengikat dan menstandarisasi seluruh pemikiran-pemikiran selanjutnya. Pandangan hidup ini kemudian disebut dengan istilah akidah.

Sobat. Bagaimana kita bisa mempengaruhi akal anak? Tips berikut ini akan membantu Anda yang penulis ambil teladan dari para Nabi dan Rasul tentunya juga baginda Rasulullah SAW dan para sahabatnya.

Pertama. Menceritakan kisah-kisah. Hikayat atau kisah-kisah memainkan peranan penting dalam menarik perhatian anak dan membangun pola pikirnya. Ada catatan penting dalam hal ini, yaitu kisah-kisah kenabian seluruhnya berpedoman pada kejadian nyata yang terjadi pada masa lampau. Jauh dari segala macam khurafat dan khayalan. Kisah-kisah ini menanamkan kepercayaan akan sejarah pada diri anak dan membangun rasa keislamannya yang memancar dan tidak akan pernah kering. Kisah-kisah para ulama dan orang-orang sholeh adalah sarana terbaik untuk menanamkan keutamaan jiwa. Dapat mendorong diri untuk kuat memikul beban perjuangan meraih tujuan mulia.

Allah SWT berfirman :

وَكُلّٗا نَّقُصُّ عَلَيۡكَ مِنۡ أَنۢبَآءِ ٱلرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِۦ فُؤَادَكَۚ وَجَآءَكَ فِي هَٰذِهِ ٱلۡحَقُّ وَمَوۡعِظَةٞ وَذِكۡرَىٰ لِلۡمُؤۡمِنِينَ  

Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS. Hud (11) : 120).

Sobat. Ayat ini menerangkan bahwa kisah para rasul terdahulu bersama umatnya, seperti peristiwa perdebatan dan permusuhan di antara mereka, keluhan para nabi karena kaumnya mendustakan serta menyakiti dan sebagainya, semuanya itu berguna untuk meneguhkan hati Rasulullah agar tidak tergoyahkan oleh apa pun untuk mengemban tugas kerasulan dan menyiarkan dakwahnya. 

Selain itu, kisah-kisah tersebut juga menanamkan keyakinan yang mantap dan mendalam tentang apa yang diserukan para rasul, seperti akidah bahwa Allah adalah Esa, bertobat dan beribadah kepada-Nya dengan ikhlas, meninggalkan kejahatan, baik yang nyata maupun yang tidak nyata. Kesemuanya itu merupakan pelajaran dan peringatan yang bermanfaat bagi orang-orang mukmin bahwa umat terdahulu itu ditimpakan azab kepadanya karena mereka telah berbuat aniaya dan kerusakan di bumi.

Kedua. Berdialog langsung ke inti persoalan. Dialog secara langsung dalam menjelaskan berbagai realita dan menyusun berbagai pengetahuan agar dipahami dan dihafalkan membuat anak sangat dapat dan siap untuk menerima. Demikianlah Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita dalam banyak kesempatan untuk melakukan dialog secara langsung dengan anak-anak dengan menggunakan kalimat yang jelas.

Seperti hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Anas ra : Rasulullah SAW bersabda kepadaku, “Wahai anakku, apabila engkau mampu untuk melalui pagi dan sore hari tanpa ada rasa ingin merugikan orang lain di hatimu, maka lakukanlah. Wahai anakku, itu adalah sunnahku. Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku, berarti telah mencintaiku, dan barangsiapa yang mencintaiku, dia kan bersamaku di surga” (HR. At-Tirmidzi).

Di sini beliau menggunakan ungkapan ‘Wahai Anakku’ ini untuk menggugah perasaan si anak dan menarik perhatiannya untuk mendengarkan hadis yang diucapkan oleh baginda Rasulullah SAW.

Ketiga. Berbicara sesuai kadar akal anak. Akal dan pikirannya sedang dalam masa pertumbuhan. Pengetahuan kedua orang tua dan guru tentang tingkatan pertumbuhan akal anak cukup memudahkan mereka untuk memberikan solusi bagi berbagai masalah yang dihadapi anak. Karena, dengan pengetahuan tersebut, mereka mengetahui kapan harus berbicara dengan anak, kalimat apa yang harus dipakai dan pola pikir apa yang akan diungkapkan. 

Rasulullah SAW melakukannya ketika ada seorang anak kecil yang menjadi penggembala kaum Quraisy yang ditangkap oleh para sahabat sebelum perang badar menanyakan jumlah tentara Quraisy, namun anak itu tidak bisa menjawab, sehingga mereka pun memukulnya. Sampai Rasulullah datang dan menanyakan kepada penggembala kecil itu. Beliau bertanya, ”Berapa banyak unta yang mereka sembelih?” Anak itu menjawab, “Antara sembilan hingga sepuluh ekor.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Jumlah mereka antara Sembilan ratus hingga seribu personel.” Nabi SAW tidak diragukan lagi beliau laksana psikolog ulung beliau tahu bahwa anak ini tidak mengerti hitungan dengan jumlah ribuan. Kemampuan akalnya hanya sampai hitungan jumlah puluhan. Puluhan unta yang mudah dihitung oleh setiap anak kecil, dan itu sudah cukup besar menurut mereka. 

Keempat. Metode tanya jawab. Metode ini dapat merangsang pertumbuhan akal anak dan meluaskan wawasannya serta menambah semangatnya untuk menyingkap berbagai inti permasalahan dan esensi dari berbagai kejadian sehari-hari. 

Dari Ibnu Abbas ra : Aku menghadap Nabi Muhammad SAW yang akan melakukan shalat di akhir malam. Aku berdiri di belakang beliau. Kemudian beliau menarikku dan menempatkanku sejajar dengan beliau. Setelah beliau mulai sholat aku mundur sedikit. Setelah selesai shalat, beliau bertanya, “Ada apa denganmu? Aku menempatkanmu sejajar denganku tetapi angkau malah mundur?’’ Aku menjawab, ”Tidak sepatutnya seorang shalat sejajar denganmu, karena engkau adalah Rasul utusan Allah.” Beliau merasa takjub. Lalu beliau mendoakanku agar bertambah pemahaman dan pengetahuanku. (HR. al-Hakim).
 
Kelima. Melatih Anak dengan beraktivitas. Melatih indra anak dapat menghasilkan pengetahuan baginya. Ketika si anak mulai tumbuh mulai menyibukkan diri dengan suatu pekerjaan, hal itu dapat menggugah kesadaran akalnya, sehingga dia dapat menyaksikan bagaimana cara melatih inderanya dan meniru pekerjaan tersebut. Dengan cara itulah dia dapat melakukan pekerjaan dengan baik dan mempelajarinya setahap demi tahap.

Rasulullah SAW pernah melihat seorang anak menguliti seekor kambing. Namun dia tidak mampu melakukannya dengan baik. Maka Rasulullah SAW menyisingkan lengan baju beliau dan mulai menguliti kambing tersebut di hadapan anak itu. Si anak memperhatikan dengan seksama cara-cara yang dilakukan dalam pekerjaan tersebut. Akalnya berputar merekam apa yang dilihatnya dan pikiran terfokus pada pelajaran yang dberikan oleh Rasulullah SAW. Pekerjaan seperti ini dapat membuka wawasan si anak dan memperdalam pengetahuannya.

Keenam. Mengarahkan anak untuk melandani Rasulullah SAW. Ali Bin Abi Thalib ra menyampaikan hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Ajarkanlah kepada anak-anak kalian tiga perkara: Cinta kepada Nabi kalian, Cinta kepada keluarga beliau dan membaca Al-Qur'an.

Kita cukup menceritakan sejarah beliau, akhlak beliau dan berbagai pertempuran yang beliau lakukan di hadapan anak-anak dalam rangka memupuk rasa cinta mereka kepada Nabinya, meneladani rasulnya dan mecontoh perilaku beliau Rasulullah SAW serta untuk menjauhkan diri dari tokoh-tokoh maksiat.

Sobat. Keterikatan seorang anak kepada Rasulullah SAW membuatnya menjadi manusia yang sempurna, pikirannya menjadi terbuka untuk mempelajari jalan hidup pemimpin para rasul, pemimpin seluruh umat manusia dan kekasih Allah. Akalnya akan diterangi oleh cahaya keimanan. Dengan memahami sejarah yang mulia ini, dia akan mengangkat kepala bangga sebagai pengikut setia baginda Rasulullah Muhammad SAW. []


Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual, Sekjen Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa, Dosen Pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo, Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur

Posting Komentar

0 Komentar