Jatah Mantan Jelang Nikah: Fenomena Kebobrokan Hukum, Moral, dan Agama di Tengah Pergaulan Liberal Sekularistik



TintaSiyasi.com -- Jatah mantan lagi viral. Istilah ini sempat trending di Twitter gegara akun @briankhrisna mencuitnya. Jatah mantan, sebuah diksi yang menunjuk pada aktivitas hubungan suami istri dengan mantan kekasih yang dilakukan oleh seseorang sebelum atau bahkan setelah menikah. Biasanya pelaku dipaksa menikah, dijodohkan, tidak suka calon pasangannya, sementara perasaannya masih tertuju pada sang mantan. Warganet pun merespons dengan membagikan pengalaman pribadinya maupun kisah nyata saudara atau temannya. 

Praktik brutal tersebut sebenarnya sudah lama, namun baru viral belakangan ini. Fenomena ini tentu membuat kita mengelus dada. Apalagi di tengah gunungan problem sosial yang hingga kini tak kunjung reda: pergaulan bebas, kehamilan tak dikehendaki, hingga aborsi. Meskipun berbalut diksi unik, hakikat jatah mantan tetaplah zina. 

Zina (KBBI) adalah perbuatan bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan. Sayangnya, tindak amoral ini lazim terjadi di Indonesia, negeri yang digadang-gadang sebagai religious nation state. Di negeri ini, hubungan seks di luar nikah asal suka sama suka, tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan, belum tentu dianggap zina. Pun pelakunya tak bisa dianggap melanggar hukum dan dikenai sanksi. Padahal secara agama dan moral, zina jelas perbuatan keji dan terlarang.

Dalam sistem hidup liberalisme sekularistik, fenomena jatah mantan jelang nikah atau varian zina lainnya akan terus ada. Berbasis kebebasan nyaris tanpa batas dengan dalih hak asasi manusia, seseorang boleh berbuat sekehendak hati meski bertentangan dengan kehendak Tuhannya. Hak Tuhan (Allah SWT) untuk ditaati hanya dalam ruang privat saat manusia berinteraksi dengan Sang Khaliq melalui ibadah ritual. Adapun di ruang-ruang publik, termasuk pergaulan lelaki perempuan, ajaran Allah SWT disingkirkan. Padahal ketika agama dianggap tak ada, zina pasti merajalela.   

Fenomena Jatah Mantan dalam Dekapan Pergaulan Liberal Sekularistik

Jatah mantan, diksi ini menghebohkan jagat media sosial khususnya di Twitter. Brian Khrisna, sang pencuit, mengaku mewawancari beberapa orang dan ia mendapati banyak pelaku pemberi “jatah mantan” menjelang menikah. Menurutnya, banyak yang “keluar” di dalam seperti investasi jangka panjang tapi tak tahu investor asli yang mana (indozone.id, 18/5/2022). Komentar beberapa warganet menunjukkan perilaku ini seolah biasa dilakukan, baik oleh dirinya, teman, atau saudaranya. Miris bukan?

Jatah mantan menjadi bukti zina dianggap perilaku biasa, bukan perkara dosa. Sebagaimana jika ada calon pengantin perempuan yang hamil duluan, ini pun dinilai wajar. Hal ini mengkonfirmasi kian bejatnya perilaku manusia memenuhi naluri seksual, pun kian rusaknya tata pergaulan lelaki perempuan. “Tak aneh” jika angka zina cukup tinggi dan terus mengalami peningkatan di negeri ini.    

Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 menunjukkan terdapat delapan persen lelaki dan dua persen perempuan usia 15-24 tahun telah berhubungan seksual. Sebanyak 11% hamil di luar nikah (kehamilan tidak dikehendaki/KTD). Adapun survey Reckitt Benckiser Indonesia (2019) menyebut 33% remaja telah berhubungan seksual (merdeka.com, 23/7/2019).

Terbaru, sindonews.com (11/2/2022) melansir tiga kota dengan jumlah pelajar hamil di luar nikah terbanyak. Pertama Tangerang Selatan, akhir 2021 tercatat sekitar 276 kasus KTD. Kedua Yogyakarta, pada 2022 ini tercatat 1.032 kasus KTD. Ketiga Madiun di mana nikah usia dini naik lebih dari seratus persen dari tahun sebelumnya, salah satunya karena KTD.  

Data di atas memperlihatkan betapa mengerikannya degradasi moral generasi. Sementara di lain sisi, berbagai elemen masyarakat berupaya memperbaiki akhlak anak bangsa. Lembaga-lembaga peduli nasib generasi gencar memberikan edukasi dampak seks bebas dan upaya pencegahannya. Namun, sampai kapan upaya mereka menuai hasil sementara arus kerusakan lebih kencang bergulir?

Ada beberapa faktor penyebab fenomena jatah mantan dan model zina lainnya menyeruak di tengah upaya memperbaiki akhlak bangsa, yaitu:

1. Faktor individu. 

Dalam Islam, iman adalah pondasi. Seseorang yang tidak terbina iman, takwa, dan pemahaman agama, berpotensi besar berperilaku menyimpang termasuk zina. 

2. Keluarga. 

Merupakan institusi terkecil namun fundamental bagi pembentukan kepribadian, mencakup aspek pemikiran dan perilaku. Orang tua yang minim menanamkan nilai agama dan akhlakul karimah, serta kurang mencurahkan perhatian dan kasih sayang terhadap anak akan melahirkan sosok rentan berperilaku menyimpang.

3. Lingkungan.

a. Masyarakat sekitar.

Karakter masyarakat individualis liberal berefek pada menurunnya kepedulian terhadap sekitar. Minim upaya saling mengingatkan atau amar makruf nahi mungkar. Kondisi ini menambah keleluasaan bagi pelaku zina. Bagi mereka yang penting “tidak mengganggu orang lain.”

b. Sekolah/kampus.

Sekularisasi di dunia pendidikan justru menjauhkan lulusan dari tujuan pendidikan nasional yaitu menjadikan manusia beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, dan seterusnya. Agama diajarkan terpisah dari mata pelajaran/kuliah dengan waktu minimal. Tak ada integrasi mata pelajaran umum dengan agama saat diajarkan. Bagaimana mampu meluluskan sosok berkepribadian utuh dan unggul? ‘Wajar’ jika banyak generasi bejat. 

c. Teman bergaul.

Agar diterima dalam komunitas pergaulannya, seseorang akan bersikap sesuai kehendak mayoritas anggota komunitas tersebut. Kata Rasulullah SAW, “Jika ingin melihat seseorang, lihatlah dengan siapa ia bergaul.”

d. Media komunikasi/informasi.

Di era globalisasi yang meniscayakan kecanggihan piranti komunikasi, penyebarluasan informasi terjadi sangat pesat. Konten merusak seperti pornografi yang merangsang munculnya gejolak seksual begitu mudah diakses. Jika pada poin 1,2, 3a-c lemah, maka poin 3d ini akan memicu terjadinya zina.
 
4. Negara.

Pada dasarnya, negara wajib mengatur urusan rakyat. Jika abai seperti kurang mengedukasi rakyat, membiarkan peredaran media porno, tidak ada sanksi bagi pelaku zina, maka ini sama dengan memproduksi zina secara massal.

Demikianlah faktor penyebab menyeruaknya fenomena jatah mantan dan zina lainnya. Ini menunjukkan perzinaan bukanlah problem individual, tetapi juga dipengaruhi oleh sistem aturan yang diterapkan di masyarakat. Nampak jelas negeri ini mengadopsi sistem hidup liberalisme sekularistik, memisahkan agama dari kehidupan hingga manusia bebas menjalani hidup sesuai aturannya sendiri. 

Hukum, Moral, dan Agama Sebagai Penuntun Pasangan Hidup Baru Menjaga Kesucian Diri dan Rumah Tangganya

Hukum, moral, dan agama semestinya menjadi trilogi penuntun manusia mengarungi kehidupan, termasuk hidup berumah tangga. Islam sebagai agama mayoritas penduduk negeri ini telah menyediakan seperangkat aturan menyeluruh terkaitnya. Dari aturan pergaulan lelaki perempuan, pranikah, pernikahan, pascanikah, bahkan hingga jika terjadi perpisahan dalam pernikahan. 

Aturan pergaulan Islam menjamin kemuliaan lelaki dan perempuan agar mereka mampu melaksanakan fungsi masing-masing dalam kehidupan. Pun terwujud kerja sama demi membentuk masyarakat yang tenteram dan beradab. Sistem pergaulan Islam menetapkan bahwa naluri seksual pada manusia semata-mata untuk melestarikan keturunan umat manusia, serta menjaga naluri ini agar hanya disalurkan dengan cara alami. 

Islam membatasi hubungan lawan jenis (seksual) hanya dengan pernikahan dan kepemilikan hamba sahaya. Setiap hubungan seksual selain dengan dua cara tersebut adalah dosa besar yang layak diganjar dengan hukuman paling keras. Di luar hubungan seksual seperti hubungan kekeluargaan: orang tua, anak, saudara, dan seterusnya, Islam membolehkannya sebagai silaturahim antarmahram. Islam pun menjadikan kerja sama lelaki perempuan dalam berbagai aspek kehidupan serta interaksi antarmanusia sebagai perkara pasti dalam seluruh muamalah. Namun pelaksanaan kerja sama ini tetap dalam koridor syariat.

Islam telah menetapkan aturan berkenaan hal ini, antara lain: perintah menundukkan pandangan (QS. Al Baqarah: 30-31), perempuan baligh menutup aurat dengan jilbab dan khimar (QS. An Nuur: 31 dan Al Ahzab: 59), melarang perempuan safar sehari semalam tanpa mahram (HR. Muslim), larangan berkhalwat (HR. Bukhari), wanita keluar rumah dengan seizin suami, pada dasarnya kehidupan lelaki perempuan itu terpisah, serta hubungan kerja sama lelaki perempuan bersifat umum dalam urusan muamalah.

Dengan aturan tersebut, Islam menjaga interaksi lawan jenis tidak mengarah pada hubungan bersifat seksual. Tak hanya aturan preventif, Islam pun menyediakan sanksi jika terjadi pelanggaran. Misalnya, sanksi bagi pezina muhsan (telah menikah) dirajam hingga meninggal. Adapun pezina ghairu muhsan dicambuk seratus kali. Sanksi yang tegas tentu memberikan efek jera hingga meminimalkan angka perzinaan. Penerapan aturan ini akan menjaga kesucian diri, pasangan, dan mewujudkan kesakinahan rumah tangga.   

Sementara dalam sistem liberalisme sekularistik, penjagaan kesucian termasuk pasangan baru dan rumah tangganya nampak sulit diwujudkan. Fenomena jatah mantan dan maraknya zina (gaul bebas remaja, KTD, selingkuh, pelacuran) menjadi bukti akibat tiadanya penerapan agama, hukum, dan moral.

Jika ditelisik, selain nihilnya peran agama (aturan dan sanksi Islam) dalam pergaulan lelaki perempuan, zina marak sebab tidak diatur secara eksplisit dalam aturan hukum Indonesia. Pelaku perzinaan tidak dianggap melanggar hukum selama tidak ada yang merasa dirugikan. Misalnya ada perjaka berhubungan seksual dengan gadis sebelum menikah, belum tentu dapat disebut zina. Karena di Indonesia belum ada hukum tertulis yang secara jelas menyatakan hal tersebut sebagai zina. 

Namun, menurut hukum adat dan moral, perbuatan tersebut tetap disebut zina. Tidak ada hukuman fisik, melainkan sanksi moral bagi pelaku saat berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Zina dapat dihukum pidana jika salah satu pihak merasa dirugikan sebagai korban perkosaan. Pasal tentang perkosaan sudah diatur jelas dalam aturan hukum di Indonesia, namun perzinaan belum. Ketidakjelasan tersebut menyebabkan kasus zina tidak dapat diselesaikan di meja pengadilan (kompas.com, 26/6/2008). 

Sayang jika perilaku bejat seperti zina tak bisa dihukum. Semestinya hukum di negeri ini bisa mengacu pada ajaran agama seperti Islam, ajaran yang dipeluk mayoritas penduduk. Pun sesuai moral bangsa yang cenderung menganggap zina sebagai hal tabu dan tak layak dilakukan. Sebagaimana ungkapan Ahli Hukum Oemar Seno Adji bahwa “No law without moral, no moral without religion. Tiada hukum tanpa moral, tiada moral tanpa agama.” Dengan kata lain, hukum (konstitusi) harus tetap bersumber dari nilai-nilai agama.
 
Dengan demikian, hukum, moral, dan agama harus terwujud secara bersamaan agar fenomena jatah mantan dan varian zina lainnya hilang sekaligus sebagai penuntun pasangan hidup baru menjaga kesucian diri dan rumah tangganya.

Dampak Fenomena Jatah Mantan terhadap Rumah Tangga dan Pembentukan Generasi Masa Datang

Jatah mantan sebagai bentuk zina tentu membawa kerusakan. Selain mendatangkan dosa dan azab pedih dari Allah SWT, fenomena ini berdampak buruk terhadap rumah tangga dan pembentukan generasi masa datang, yaitu:

1. Mengancam keharmonisan rumah tangga. 

Kenangan terhadap mantan akan membayangi kehidupan rumah tangga. Terlebih jika suami/istri mengetahui pasangannya berzina, tentu akan bergejolak emosinya hingga memicu konflik dan mengancam keharmonisan hubungan pasangan dan keluarga. Bahkan bisa berujung perceraian.

2. Berpotensi terjangkit penyakit mematikan seperti HIV/AIDS dan penyakit seksual lainnya: siphilis, gonorhea. Ini bisa ditularkan pada pasangan.

3. Menghasilkan generasi tak bernasab. 

Bila jatah mantan ini menghasilkan anak, maka nasabnya akan tidak jelas: keturunan dari mantan ibunya atau lelaki yang menikahi ibunya. Jika ia lahir akibat perzinaan, secara hukum Islam anak tersebut tak berayah dan garis keturunannya dinisbatkan pada ibu.

4. Mengacaukan pelaksanaan hukum syariat pascanikah. 

Efek lanjut dari kacaunya nasab anak adalah kacaunya pelaksanaan hukum seperti perwalian, nafkah, warisan, dan lain-lain.

5. Jika pelaku jatah mantan hamil dan demi menutupi aib ia menggugurkan kandungannya, maka dosanya berlipat. 

Dosa berzina dan menggugurkan janin. 

6. Zina membunuh rasa malu dan menghilangkan sikap wara’. 

Zina biasanya terkait dengan maksiat dan dosa lainnya. Jika pelaku tak bertobat, besar kemungkinan zina terulang kembali. Kemaksiatan akan menghilangkan rasa malu, berat untuk taat, sikap wara’ (kehati-hatian dalam perkara syubhat) hilang. Bila orang tua berkarakter begini, bagaimana mampu memberikan teladan baik bagi anak?

7. Aib zina menjatuhkan kehormatan dan harga diri keluarga di mata masyarakat.

Tak hanya bagi pelaku, keluarga bisa jadi menanggung malu dan tak berani ‘mengangkat muka’ di hadapan masyarakat.  

8. Hilangnya barokah dalam rumah tangga dan jauh dari ridha-Nya. 

Pelaksanaan berbagai aktivitas yang tak mendasarkan pada syariat Allah akan menghilangkan barokah dan ridha-Nya. Hal ini akan menyulitkan pasangan meraih tujuan rumah tangga sakinah.

Demikian dampak buruk fenomena jatah mantan (zina). Bahayanya telah jelas, baik di dunia maupun di akhirat. Jika begitu buruk dampaknya, mengapa pelakunya terus ada? Pelaku jatah mantan telah kehilangan akal sehat karena mengedepankan syahwat. 

Sungguh benar firman Allah SWT, “Kal an’am bal hum adhol. Seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.” (QS. Al A’raf: 179)

Strategi Religious Nation State Indonesia Menghentikan Fenomena Jatah Mantan sehingga Terbentuk Keluarga dan Generasi Mulia

Mengingat bahwa pertama, dampak buruk fenomena jatah mantan (zina) tak hanya menimpa pelaku, namun juga mampu merusak tatanan moral, agama, dan bangsa. Kedua, zina bukan sekadar problem individual melainkan problem sistemis. Dari sini perlu strategi terpadu untuk menghentikannya sehingga terbentuk keluarga dan generasi mulia, yaitu: 

1. Individu.

a. Beriman kepada Allah SWT sebagai kunci utama terhindar dari zina dan kebejatan lainnya.

b. Membina diri dengan pemahaman Islam dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

c. Mematuhi norma yang berlaku dan ikut menjaga ketertiban sosial di masyarakat.

2. Keluarga.

a. Mengokohkan peran utamanya sebagai madrasatul ula (sekolah pertama) bagi ananda. Dari sinilah kehidupan manusia bermula, mengenal hakikat diri, alam semesta dan kehidupan, baik-buruk, benar-salah, dan seterusnya.

b. Mendidik, mengawasi, dan memastikan anggota keluarga berada di jalur benar sesuai aturan agama.

c. Menjadi tempat melahirkan generasi berkepribadian tangguh, jauh dari segala jenis penyimpangan.

3. Lingkungan.

a. Masyarakat sekitar.

(1) Menguatkan fungsi kontrol dan peduli terhadap perilaku anggota masyarakat lainnya.

(2) Beramar makruf nahi mungkar jika menjumpai perilaku zina dan sejenis.

b. Sekolah/kampus.

(1) Visi pendidikan menghasilkan lulusan berkepribadian mumpuni (shalih dan cerdas).

(2) Kurikulum pendidikan yang mengintegrasikan pelajaran agama dengan mata pelajaran umum, agar terjadi kesatuan sudut pandang dalam melihat permasalahan berbasis religi.

(3) Menjamin kesejahteraan guru sehingga optimal mendidik.

(4) Pihak terkait memberikan edukasi tentang pergaulan sehat dan seluk-beluknya.

c. Teman bergaul.

(1) Mencari teman bergaul/komunitas yang membawa pada kebaikan.

(2) Menjadi inspirasi kebaikan bagi teman sepergaulan/di komunitasnya.

d. Media massa.

(1) Mengabarkan peristiwa (termasuk zina dan sejenisnya) agar mendapat perhatian penguasa dan menjadi pelajaran bagi masyarakat untuk ditolak karena jelas keburukannya.

(2) Mengedukasi masyarakat tentang ajaran agama, nilai baik-buruk, serta norma kesopanan yang berlaku di negeri ini.

4. Negara.

Negara harus hadir demi menyelesaikan kebejatan zina dengan segala bentuknya. Dalam Islam, penguasa adalah raa’in (pengurus rakyat). Pun junnah (perisai) tempat berlindung rakyat dari musuh dan kondisi buruk (maraknya zina dan lain-lain). Kelak, semuanya itu dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Sang Maha Penguasa Jagat Raya. 

Berikut peran negara menyelesaikan fenomena jatah mantan (zina):

a. Berparadigma menjaga kehormatan dan nasab rakyat adalah tujuan syariat Allah yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab negara. Mengabaikannya berpotensi meningkatkan zina dan sejenisnya.

b. Membina kepribadian rakyat berdasarkan keimanan dan pemahaman agama yang benar. 

c. Memberikan edukasi tentang pergaulan sehat dan menggambarkan buruknya zina.

d. Mengontrol, mengawasi dan mengevaluasi aktivitas masyarakat melalui aparat/lembaga pemerintahan secara berjenjang.

e. Melarang peredaran benda atau sarana yang memicu zina (minuman keras, narkoba, pornografi).

f. Menerapkan sanksi hukum tegas bagi pelaku jatah mantan (zina) hingga berefek jera.

g. Memahami bahwa fenomena jatah mantan (zina) terjadi akibat penerapan sistem hidup buatan manusia dan diabaikannya pengaturan Allah SWT dalam segala aspek kehidupan. Jadi, solusi mendasarnya kembali pada aturan Allah pencipta manusia, kehidupan, dan alam semesta.

Diharapkan, dengan strategi terpadu tersebut mampu mengantarkan pada penyelesaian fenomena jatah mantan (zina). Selanjutnya, dengan penerapan hukum Allah SWT akan mampu mewujudkan keluarga, generasi, dan bangsa mulia. Apalagi sistem Islam adalah jaminan Allah untuk mengatur hidup sekaligus solusi masalah manusia, bersifat up to date untuk segala zaman dan tempat. Dengannya, idealitas religious nation state akan tercapai.[]

Oleh: Nabila Zidane (Mutiara Umat Institute) dan Ika Mawarningtyas (Mutiara Umat Institute)

Posting Komentar

0 Komentar