Pilih Kasih Perlakuan Korban Antara Pelecehan Seksual dan Predator Anak: Inikah Indikasi Negara Cacat Moral?


TintaSiyasi.com-- Awal bulan September 2021 media sosial Twitter gempar karena akun @mediteraniaq (1/9/2021). Hingga Kamis (2/9/2021) unggahan tersebut telah disukai lebih dari 45.300, dibagikan ulang lebih dari 33.200 kali, dan dikomentari lebih dari 2.100 kali. Seorang pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menceritakan kisahnya dalam sebuah surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo. Korban menceritakan dirinya dilecehkan secara seksual, dirundung atau di-bully selama sekitar 2 tahun, antara 2012-2014 oleh teman-teman sekantornya sejak mulai bekerja di KPI Pusat sejak 2011. Setelahnya adalah perjalanan kasusnya untuk mengadukan, membuat laporan polisi dan di pingpong sana sini hingga September 2021 thread itu viral baru di perhatikan dan di tanggapi KPI. Belakangan akun pelapor tersebut menghilang. 

Tegar Putuhena selaku kuasa hukum dua terlapor saat mendatangi Mapolrestro Jakarta Pusat menilai MS tak punya bukti kuat. Anton, pengacara terlapor lainnya mengatakan, laporan yang dilakukan pada kejadian tahun 2015 dan 2017 itu semua tidak dapat dibuktikan. Anton menganggap bully sebagai hal yang biasa, seolah seperti mengejek dalam kontek canda. Asalkan, kata Anton, masih dibatas kewajaran (Voi, 6/9/2021). Korban juga dikabarkan di gugat balik karena pencemaran nama baik dan cyber bullying karena tercantum dalam surel twitter untuk Presiden tanggal 1 September lalu. CNN Indonesia bahkan menyiarkan terduga korban pelecehan seksual (MS) disebut mendapat tekanan untuk membuat dan menandatangani kesepakatan damai dengan para terduga pelaku. Berdasarkan sumber tersebut, pemaksaan damai itu juga difasilitasi oleh KPI (CNN Infonesia 9/9/2021).

Pada bulan yang sama KPI ternyata juga menjadi kecaman netizen. Alasannya karena mengizinkan siaran pedangdut Saiful Jamil eks pelaku pelecehan anak untuk tampil di televisi. Sontak hal ini memancing reaksi keras. Petisi boikot Saiful di https ://www.change.org/ kabarnya tembus 500 ribu tanda tangan ( Liputan 6, 8/9/2021).  Banyak pihak menyayangkan dan meragukan kredibilitas KPI dalam menyajikan tayangan untuk bangsa. Padahal pada saat yang sama KPAI justru tidak mengijinkan tayangan Saiful Jamil. Setelah viral kecaman penolakan tersebut akhirnya KPI Pusat telah merespons sentimen negatif publik terkait pembebasan Saipul Jamil yang dirayakan bak seorang pahlawan hingga diundang ke acara televisi dengan melarang stasiun televisi menampilkan Saipul Jamil (Seputar Tangsel 6/9/2021). Dan kembali di revisi pada saat tampil di kanal Youtube Deddy Cobbuser Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, mengatakan Saipul Jamil bisa tampil di televisi untuk kepentingan edukasi (KumparanHits, 9/9/2021).

Melihat kedua kasus di atas di mana satu korban dan yang lain sebagai pelaku sangatlah terlihat adanya pilih kasih. Sebagai pelaku kejahatan seksual kenapa malah di dukung media dan lembaga yang ada, sebagaimana berita KPI malah mendukung Saiful Jamil dan para pelaku kejahatan seksual di kantor KPI Pusat daripada korban. Seakan mengatakan itu adalah masa lalu dan mengabaikan trauma psikologis yang terjadi. Masa depan penjagaan moral negeri ini kembali di pertanyakan. 


Pilih Kasih Terjadi Karena Beda Pandangan Kontrol Sosial dan Kepentingan yang Ingin Dicapai

Membayangkan kasus MS dan perjuangannya untuk laporan lalu mengugat pelaku pastilah melewati tahap perang batin dan psikologis yang tidak sebentar. Tapi keberanian demi keberanian itu di pupus dengan cepat ketika berhadapan dengan oknum pimpinan maupun kepolisian. Berbeda perlakuan ketika postingan lapor pada Jokowi viral, seolah angin segar padahal itu juga sebenarnya menuju pada prahara jilid 2. Publik pun seolah sudah memprediksi langkah pencarian keadilannya tidak semulus jalan tol. Bahkan dalam Mata Najwa yang akan membahas kecurigaan publik, ketua KPI malah pergi keluar panggung alias menghindar. 

Petisi yang ditujukan kepada KPI sedang ditimbang keefektifannya. KPI menjadi sorotan karena dianggap membiarkan dugaan kasus kekerasan seksual dan perundungan menahun dalam lembaganya. “Hari ini kita melihat ada pembiaran terhadap kekerasan yang bertumpuk, kekerasan fisik, mental, verbal, dan seksual yang dilakukan oleh delapan staf KPI dan berjalan selama 10 tahun,” kata advokat Dian Kartikasari dalam jumpa pers daring (cnn.com, 4/9/2021).

Bersamaan dengan kasus tersebut, KPI justru memberi ruang pada SJ sebagai eks pedofilia tampil di media televisi, juga cenderung membela pegawainya yang pelaku kejahatan seksual. Maka kecaman untuk KPI juga semakin gencar. Publik mempertanyakan kredibilitas sebuah lembaga negara pengawal hak siar ternyata cenderung membela pelaku kejahatan seksual. Secara moral bagaimana mungkin lembaga yang bertanggung jawab pada moral bangsa malah amoral ? Apakah KPI juga tidak memiliki indepedensi untuk bekerja dan di bawah tekanan sesuatu? Berbagai pertanyaan berkecamuk menuntut penjelasan. Bahkan untuk film kartun saja tindakannya sedemikian tegas, mengapa ketika berhadapan dengan kasus nyata KPI tidak bertaji?

Kinerja KPI wajar dipertanyakan. Kejadian tidak hanya sekali dua kali. Acara Prime time televisi pun di penuhi dengan acara tidak bermutu. Kabarnya prime time di kuasai 4 stasiun MNC. Fungsi-fungsi televisi yang adalah sebagai media komunikasi, sarana pendidikan, sarana hiburan dan informasi, serta sebagai sarana tayangan komersial rupanya tidak berjalan seimbang. Tayangan pada jam prime time didominasi 21% oleh sinetron, 14% berita, 11% talk show, 9% tayangan animasi, drama sejarah India, dan comedy show, dan sisanya adalah tayangan reality show, talent show, variety show, tayangan religi, dan kuis (Abstrak Stefana Suryana Ginting 2015). Alih-alih mengedepankan moral, KPI justru tidak mampu berhadapan dengan korporasi. 

Mengamati kedua kasus dan juga kasus lain yang serupa, memang ada perbedaan kalau orang-orang ber-uang dan tenar yang berperkara. Kasus SJ bukan yang pertama, banyak dari mereka setelah melakukan tindakan asusila justru makin naik karier keartisannya. Sebut saja Luna Maya yang makin eksis pascavideo syur dirinya viral. Vanessa Angel yang terlibat prostitusi online, masih saja diberi panggung. Sheila Marcia yang hamil di luar nikah pun malah diangkat menjadi duta antiaborsi karena memilih mempertahankan bayi yang dikandungnya.

Prediksi rating suatu siaran bisa ditingkatkan dengan kejadian kontroversial. Viralitas suatu perkara menjadi obyek yang diperhitungkan. Melihat postingan MS yang viral baru ada tanggapan. Kecaman netizen yang viral di berbagai medsos terkait SJ akhirnya membuat KPI melarang siaran meski dalam hitungan hari keputusan tersebut berubah. Kemungkinan adanya tekanan (kepentingan) stasiun televisi yang ingin memanfaatkan momen. Padahal sampai hari ini kecaman dari berbagai pihak banyak menyayangkan perubahan keputusan KPI ini. Bahkan KPAI yang sedari awal konsisten menolak SJ tampil pun mengungkapkan masih banyak yang lebih layak dari SJ untuk alasan edukasi. 

Inilah kegagalan media siar dalam tata kelola negara sekuler kapitalisme. Mereka kehilangan visi sebagai medium dalam mengajarkan nilai-nilai moral nan luhur. Media hanya mengejar rating yang dengannya akan terhimpun profit yang berlimpah. Tak peduli pesannya membawa petaka. Jika dapat menghantarkan cuan, konten tak bermutu pun menjadi andalan. Akibat media di bawah kendali korporasi, pemerintah seperti tak memiliki andil menentukan mana yang boleh tayang dan mana yang tidak. Begitulah, mereka semua kembali eksis dan tampil di layar kaca. Publik dibuat fokus pada prestasinya dan mengabaikan fakta perzinaan yang mereka lakukan karena dianggap sebagai ranah pribadi si figur publik. Sama dengan kasus SJ ini, publik dibuat fokus pada karyanya “menghibur” penonton dan dipaksa mengubur fakta bahwa ia adalah seorang pelaku pencabulan. Maka reaksi KPI untuk 8 pegawainya yang cabul pun terkesan datar. Dan mengganggap itu sebagai peristiwa yang disederhanakan saja.


Dampak Buruk yang Tanpa Sadar DiLestarikan karena Sistem Kapitalisme

Kejahatan seksual bisa berbentuk memiliki perzinaan, L6BT, prostitusi (pelacuran), pencabulan, dan perkosaan promiskuitas (hubungan seksual yang dilakukan di luar ikatan perkawinan dengan cara berganti-ganti pasangan). Diantara kejahatan seksual yang disebutkan tadi, diantaranya dilakukan dengan cara kekerasan dan ada yang tidak. Istilah kejahatan seksual yang paling sering didengar adalah pelecehan seksual dan perkosaan.

Istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harrasment yang diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments" ( terj: pengenaan tuntutan seksual yang tidak diinginkan atau penciptaan lingkungan yang menyinggung secara seksual). 
 
Kejahatan seksual tidak pernah menyenangkan apalagi untuk korban. Dan ketika pilih kasih ini diteruskan maka akan membawa dampak yang tidak ringan, di antaranya:

Pertama. Maraknya kejahatan seksual. Kondisi memihak pelaku dan orang beruang meski dia pelaku membuat iklim perlindungan yang tak kentara. Apalagi di dukung media penyiaran yang hanya peduli rating dan cuan. Para pelaku pun akan bebas melenggang dan semena-mena melampiaskan nafsu bejatnya. Karena hukuman pun tidak menjerakan mereka. Bahkan membuat mereka tambah ngetrend. Apalagi di bumbui opini-opini yang mendukung. Sebagaimana kasus MS yang menjadi korban sekaligus bisa revictim jika terjerat lagi kasus baru terkait laporannya.

Kedua. Merosot kontrol sosial. Lembaga kontrol sosial saat ini terutama adalah negara dan perangkat-perangkatnya. Masyarakat dengan aturan dan adat yang berlaku di dalam kehidupan. Kondisi ini terlihat lah fungsi negara untuk lembaga kontrol ini lemah. Bahkan kedua lembaga negaranya yaitu KPI dan KPAI berbeda pendapat satu sama lain. Kondisi ini menggelikan sekaligus mengenaskan. Lalu pada siapa beban kontrol moral ini harus disematkan?

Ketiga. Rendahnya kesadaran lapor. Pelajaran yang diambil dari para korban pelecehan seksual adalah melampaui rasa trauma dan malu ketika melaporkan diri. Termasuk pengumpulan bukti yang di tempat-tempat privat. Tentu saja kasus seperti ini biasanya membuka luka dan aib. Lalu masih harus bersiap dengan konsekwensi yang diterima setelahnya. Misal kasus MS adalah dijerat UU ITE dan cyber bullying orang-orang yang pro pelaku. Sungguh bagi korban yang tertekan dengan perlakuan tak senonoh yang lalu, hal kecil seperti makian atau penghinaan verbal mampu menurunkan psikologisnya. Maka hal semacam ini rentan dan biasanya terjadi malas lapor. 

Keempat. Distrust publik. Pentingnya ketegasan hukum bagi semua pihak yang melanggar hukum. Namun, di mata publik, ada kesan hukum tidak berkeadilan pada semua pihak. Wajar saja bila masyarakat menilai demikian. Karena masyarakat membutuhkan ketegasan dan penindakan cepat terhadap para pelaku kejahatan. Berkaca dari kasus-kasus yang sebelumnya terjadi, negara cenderung pasif dan pihak berwenang juga tidak gerak cepat mengatasi masalah rakyatnya termasuk kasus pelecehan seksual seperti kasus MS. 

Kehidupan rakyat makin sengsara terdampak pandemi. Publik makin yakin, pejabat negara dalam rezim kapitalistik terbiasa berkata sesuka hati tanpa memerhatikan kondisi rakyat. Pejabat negara miskin empati terutama di masa pandemi begini. Rakyat harus selalu berjuang sendiri bahkan untuk mencari keadilan. Sementara para pelaku malah di jembreng dan di sambut bak bintang. Ironi sungguh ironi.


Strategi Penanganan Warganegara Nir Pilih Kasih Khususnya Rakyat Sipil terutama untuk Kasus Kejahatan Seksual

Pertama. Adanya kesepakatan moralitas yang diterapkan secara jelas oleh negara. 
Negara perlu menetapkan standar moralitas yang jelas di dalam negara. Misal adanya hukum tertulis untuk para pelaku pelecehan seksual. Karena hal ini merupakan moral dan etika yang harus ditegakkan. Menghormati seseorang sesuai gender dan kewajaran membutuhkan persepsi yang disepakati dan hukum yang memadai. Indonesia belum memiliki aturan yang dapat menjerat para pelaku pelecehan seksual. Itulah kenapa lelaki yang mencolek paha seorang mahasiswi di bus TransJakarta langsung dilepaskan tak lama setelah dilaporkan korban. AKP Bambang Edi, Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Jatinegara, yang menangani kasus tersebut mengatakan, “Enggak ada unsur pidananya. Orang cuma pakai kelingking. (Korban) dicolek bagian pahanya. Bukan paha atas, tapi bagian dekat dengkul. Kalau dipegang bagian payudara atau alat kelaminnya, itu (baru) bisa (kena pidana)” (Kumparan, 8/3/2017). Sedangkan RUU PKS yang di ajukan ke Prolegnas rentan dengan nuansa dan misi feminisme maka menimbulkan kontroversial. 

Kedua. Perlu disadari adanya ideologi sekulerisme yang menjadikan agama tidak dapat menjadi aturan dalam kehidupan dan politik. Sekularisme yang tengah diterapkan negeri ini memang meminggirkan peran agama dalam mengatur kehidupan. Dari sekularisme inilah lahir paham lainnya, yakni liberalisme, pluralisme, dan demokrasi yang menganggap agama bukan sesuatu yang sakral yang wajib dijaga dan diutamakan.  Jika korban menuntut hukuman tegas bagi pelaku pelecehan seksual, korban diminta lapang dada memberi maaf atau meredam diri agar tidak terjerat hukum yang lain seperti pencemaran nama baik dan UU ITE. Bagaimana melakukan itu, bahkan membayangkan saja sudah membuat dada sesak.

Penerapan hukum sekuler selalu akan terbentur dengan paham lainnya. Jika penista agama ditindak tegas, berbenturan dengan HAM dan kebebasan berpendapat. Jika tidak ditindak tegas, kebebasan pasti bablas dan tak terkontrol. Dihukum salah, tak dihukum tambah salah. Serba salah. Karena pandangan ini tidak bersandar pada sesuatu yang sifatnya baku dan tetap. Sesuatu yang mestinya tidak terpengaruh penilaian manusia.

Ide kebebasan bertingkah laku (freedom of behavior) lahir dari ideologi sekuler kapitalisme, paham yang tidak melibatkan Sang Pencipta dalam setiap aturan kehidupan manusia. Aturan agama hanya disimpan dalam ranah privat, keberadaannya bisa saja disingkirkan jika berbenturan dengan aturan manusia.

Ide kebebasan jelas bertolak belakang dengan Islam yang menjadikan agama sebagai landasan dalam kehidupannya. Maka, mengapa ide kebebasan ini terus dipromosikan dan diperjuangkan? Hal demikian semata demi tertancapnya hegemoni negara adidaya yang menguasai dunia hari ini. Ideologi sekuler yang diemban oleh dunia Barat menginginkan masyarakat dunia—khususnya umat muslim—menyingkirkan aturan agama dalam kesehariannya dan menggantinya dengan aturan yang telah mereka buat. Kebebasan yang mereka promosikan sejatinya adalah aturan Barat mengenai tata cara bertingkah laku, bukan semata kebebasan.

Ketiga. Perlu buzzing media dan pengawalan publik atas perlakuan negara pada warganya.
Bukti beberapa kasus yang terjadi viralitas kejadian akan merubah kebijakan negara yang ditetapkan atau di canangkan. Ternyata viralitas juga manjur untuk mendapatkan perhatian negara dan lembaga negara. Hal ini terjadi karena ekonomi kapitalisme yang berbasis pasar saham rentan isu yang di miliki oleh para kapital dan korporasi.  Sedikit isu beredar bisa membuat harga saham turun harga, dan itu membawa kerugian signifikan untuk para pemilik saham besar. Maka inilah kesempatan sekaligus tantangan memanfaatkan viralitas (buzzing) mengarah pada kebenaran yang ingin di gapai rakyat. Termasuk kasus BPIP yang menetapkan judul kontroversial beberapa saat yang lalu pun bisa batal dan berganti judul karena banyaknya opini dan kecaman yang dilancarkan. 

Langkah selanjutnya adalah pengawalan penerapan tersebut oleh publik. Sekali lagi sebenarnya ini juga kekuatan (buzzing) media lagi yang bermain selain strategi para aktivis dan pakar hukum. Karenanya penting bagi publik belajar hukum dan perangkat-perangkat hukum yang di butuhkan dalam menghadapi masalah politik hari ini. Maka hari ini kita bisa memilih berbagai channel online seperti Prof. Suteki, Ahmad Khozinuddin, dan seterusnya. Berkah pandemi yang bisa kita rasakan adalah SFH dan bertabur ilmu online di berbagai media. Langkah ini perlu dilakukan agar para pengawal kasus juga paham ilmu dan tepat ketika merilis berita-berita politik, khususnya berkaitan berita viral yang ingin di aruskan. 


Penutup

Kondisi pilih kasih media siar dan lembaga negara yang berkiblat pada rating, cuan dan ketenaran sesungguhnya menginginkan adanya arus yang selalu menguntungkan terbangun dalam negara sehingga mereka selalu berupaya meredam dan mendekati pihak yang beruang dan tenar meski mereka eks kriminal (baca : pelaku pelecehan seksual).

Dampak pilih kasih yang ada saat ini sesungguhnya mengorbankan rakyat dan memihak para pemilik ketenaran ber-uang. Jika diteruskan hal ini akan menghancurkan negara dari dalam, karena menguatnya publik distrust. Padahal ini negara yang punya perangkat hukum dan membutuhkan dukungan rakyat. Bukan hanya kumpulan orang dalam suatu area.

Strategi penanganan pelecehan seksual nir pilih kasih tentu saja dimulai dari itikad negara untuk meriayah rakyatnya dengan baik. Maka hal ini membutuhkan kekuatan ideologi dan menyadari bahwa saat ini ideologi kapitalisme hanya mengakibatkan kerusakan demi kerusakan. Meski rakyat sekuat apapun melakukan upaya pengawalan, penerapan tetaplah menjadi ranah negara sebagai kiyan tanfidz (pelaksaksana penerapan). []

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


Oleh: Retno Asri Titisari
(Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)


Referensi:
- https://www.google.com/amp/s/m.kumparan.com/amp/kumparannews/aturan-pelecehan-seksual-di-berbagai-negara
- https://voi.id/amp/82626/kuasa-hukum-terlapor-ingatkan-ms-perbuatan-kliennya-masih-dalam-batas-wajar?__twitter_impression=true
- https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl3746/pelecehan-seks
- https://seputartangsel.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-142539559/kpi-akhirnya-larang-tv-glorifikasi-pembebasan-saipul-jamil-ernest-prakasa-harus-viral-dulu-baru-ditindak?page=2
- https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210909105620-12-691864/korban-pelecehan-di-kpi-disebut-dipaksa-damai-oleh-pelaku/amp
- https://amp.suara.com/news/2021/09/10/071000/lima-terduga-pelaku-pelecehan-seksual-temui-ms-di-kantor-kpi-diam-diam-minta-damai
- https://news.detik.com/berita/d-5716218/korban-pelecehan-seks-di-kpi-dikabarkan-akan-cabut-laporan/amp

Posting Komentar

0 Komentar