Kamuflase 'Konten Negatif' versi Kominfo, Berpotensi Menyasar Dakwah Islam


TintaSiyasi.com -- Bagaikan makan buah simalakama, hidup di era digital memang serba salah. Jika tidak mengikuti teknologi akan tertinggal. Tetapi, jika diikuti banyak konten negatif berseliweran di media sosial (medsos). Dilansir siaran pers di laman Kominfo, Ahad (19/9), hingga September 2021, Menkominfo menyebut mereka telah menghapus 24.531 konten negatif. Konten negatif yang dihapus termasuk 214 kasus pornografi anak, 22.103 konten terkait terorisme, 1.895 misinformasi Covid-19, dan 319 misinformasi vaksin Covid-19.

Jika diperhatikan data di atas, awalnya penulis mengira konten negatif yang banyak dihapus adalah konten-konten berbau pornoaksi, pornografi, LGBT, dan pedofilia. Karena faktanya, konten tersebut memang tinggi daya rusaknya. Ternyata yang banyak dihapus adalah puluhan ribu konten berbau terorisme. Nah, sejatinya konten negatif yang dimaksud pemerintah ini seperti apa? Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate mengkonfirmasi, konten-konten negatif yang ia anggap berbahaya berupa misinformasi, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme, serta eksploitasi anak-anak secara daring. 

Baiklah, jika misinformasi dan eksploitasi anak dianggap konten berbahaya. Tetapi, yang patut dipertanyakan adalah ekstremisme, radikalisme, dan terorisme yang dianggap sebagai konten negatif/berbahaya itu seperti apa definisinya? Sampai saat ini, definisi ekstremisme, radikalisme, dan terorisme ini cenderung kabur dan obscure (lentur). Bukan lagi definisi asli, tetapi sudah bercampur dengan definisi politik yang dimaknai sesuai kepentingan yang sedang dimainkan. 

Buktinya, tudingan terorisme, radikalisme, dan ekstremisme sering dialamatkan kepada umat Islam dan simbol-simbol Islam. Sebagaimana perjuangan dakwah Islam kaffah dan khilafah juga sering dituding radikal. Sampai-sampai bendera Rasulullah SAW yaitu, liwa dan roya pernah distigmatisasi.

Dari sekian banyak konten negatif, konten yang dianggap berbau radikalisme/terorisme yang banyak dihapus oleh pemerintah. Hal tersebut mengkonfirmasi beberapa hal berikut. Pertama, pemerintah gagal memahami konten negatif yang mampu merusak generasi dan mengacaukan informasi. Jika mau jujur, sebenarnya yang berpotensi besar merusak negeri ini adalah konten-konten berbau sekularisme, liberalisme, dan hedonisme. 

Sebenarnya, dalam Islam sangat jelas, konten negatif adalah konten-konten yang mengajak kepada kemungkaran atau pun yang mengajak untuk berbuat zalim. Jadi, segala bentuk tayangan atau unggahan yang bertentangan dengan syariat jelas itu merusak dan harus dihukum pelakunya. Tidak hanya menghapus akun atau pun kontennya, seharusnya negara memberikan hukuman sesuai dengan konten maksiyat yang diunggah atau ditayangkan.

Kedua, pemerintah masih larut dalam propaganda sesat global war on terrorism yang dipimpin Amerika Serikat (AS). Makna politik di balik war on terrorism adalah perang melawan Islam, dakwahnya, ajarannya, dan simbol-simbolnya. Hal itu ditunjukkan, umat Islam, ajaran Islam, dan simbol-simbol Islam sering dicap teroris, radikal, dan ekstrem. Contohnya, tahun lalu pemerintah telah menghapus jihad dan khilafah dari mapel fikih MA kelas VII.

Patut diduga, dua puluh ribuan konten negatif versi pemerintah yang berisi terorisme isinya belum tentu teror, bisa jadi konten-konten berisi dakwah Islam kaffah, khilafah, dan jihad dihapus pula. Jika benar konten-konten dakwah Islam kaffah dan khilafah banyak dihapus karena dianggap negatif dan berbahaya, berarti pemerintah menghalangi dakwah Islam dan ini pasti mengundang kemurkaan Allah SWT.

Sebagai negara yang memiliki kekuasaan, seharusnya pemerintah mendukung dakwah dan keras dalam menghapus konten-konten maksiyat dan kemungkaran di medsos. Karena, mereka yang membiarkan konten tersebut tetap eksis mendapatkan aliran dosa pula. Begitu pula, jika pemerintah mendukung dan melindungi konten dakwah, sejatinya pemerintah juga mendapat aliran pahala. Andai pemerintah mau menjadi penerap syariat Islam secara tuntas, tentunya Allah SWT akan menhujani negeri ini dengan keberkahan. Wallahu'alam.[] Ika Mawarningtyas

Posting Komentar

0 Komentar