Tinta Hangat untuk Pegiat Childfree: Ibumu yang Penyayang Kepadamu

Berbagai alasan untuk menjadi Childfree, sebutan untuk pasangan yang memilih tidak punya anak kandung maupun adopsi, terutama adalah kebahagiaan untuk bebas dari anak, beban biaya memelihara anak yang dihitung sangat besar, dan juga kekhawatiran menjadi orang tua yang gagal sejalan dengan anak.

Kekhawatiran-kekhawatiran tidak berbahagia dengan keberadaan anak muncul karena perasaan berat yang tak kunjung berlalu, baik karena tekanan hidup yang menuntut perempuan setara dengan lelaki sehingga ia harus mandiri dan profesional di karir publik,  maupun pengalaman pengabaiannya di masa kecil sehingga orang tua baginya hanyalah sosok dingin penuntut balas jasa. Semua itu ada dalam kehidupan individualisme, sehingga memang menyulitkan untuk sekadar membayangkan kehidupan istimewa berkeluarga dengan memiliki banyak anak.

Pemuliaan Islam terhadap hubungan spesial seorang ibu dengan anak, digambarkan dengan baik oleh Syekh Umar bin Ahmad Baraja, seorang ulama mulia dalam kitab Akhlaq lil Banin, sebuah kitab kecil, namun isinya mencukupi untuk menjelaskan istimewanya hubungan fisik dan batin ibu dengan anak:

Ketahuilah wahai anakku, bahwasanya ibumu mengalami kelelahan yang luar biasa karena kamu, mengandungmu dalam perutnya sembilan bulan tanpa meletakkan kandungannya sekejap pun, lalu menyusuimu, merawat dan mendidikmu dengan pendidikan yang baik di masa ketergantunganmu yang panjang hingga engkau dewasa, dan membersihkan badanmu dan juga pakaianmu, menyiapkan tempat tidurmu, menyiapkan makananmu, menjagamu dari berbagai macam yang mengganggu.

Ibumu yang penyayang kepadamu, dan cintanya tulus sangat besar dengan cinta yang banyak, beliau selalu berharap menjadikanmu sebagai anak yang paling baik, bersabar bersama kelelahannya karenamu, dan berbahagia denganmu, senang sekali ketika melihat engkau senang dan dalam keadaan sehat wal afiat, bersedih ketika melihat engkau bersedih atau ketika engkau sakit maka beliau berusaha mencari obat dan terus mendoakan kesembuhanmu, tanpa bisa beristirahat hingga engkau sembuh sempurna.

Wahai anak yang memiliki sopan santun, ketika engkau telah mengetahui sulitnya ibumu dalam membesarkan dan mendidikmu dan besarnya kecintaannya kepadamu, lalu bagaimana engkau akan membalasnya? Pasti engkau tidak akan mampu membalas apa yang sudah ibu persembahkan untukmu. 

Maka tidak ada pilihan lain kecuali kita melakukan berbagai adab yang baik kepadanya. Melakukan perintahnya dengan penuh kecintaan dan penghormatan, melakukan segala sesuatu yang membahagiakan hatinya, dan selalu senyum di hadapannya, menjabat tangannya setiap hari, dan mendoakan baginya agar berumur panjang dan sehat afiat.

Demikian juga pemuliaan Islam terkait hubungan kasih sayang ibu dan anak tergambar pada sebuah atsar seorang anak muda yang menggendong ibunya dari Yaman hingga Mekkah berjalan kaki (kurang lebih 1000 km) untuk melakukan haji, tidak dilepaskan ibunya dari gendongan kecuali shalat, buang hajat, atau istirahat. Kemudian anak itu bertanya, ''Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk ke dalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua?'' Nabi Muhammad sangat terharu mendengarnya beliau bersabda, ''Sungguh Allah ridha kepadamu, kamu anak yang saleh, anak yang berbakti. Tapi anakku, ketahuilah, cinta orang tuamu tidak akan terbalaskan oleh pengorbanan dan kebaikanmu.'' 

Demikianlah kehidupan Islam mengajarkan bahwa balasan kebahagiaan itu setara dengan jerih payah yang dicurahkan masing-masing pihak. Namun bagaimanakah mendamaikan kepedihan innerchild akibat adanya cacat-cacat pengasuhan orang tua di masa lalu kita? Jawabannya pada keikhlasan kita kepada Allah Sang Khaliq Al-Mudabbir, keikhlasan kita menerima perlakuan orang tua di masa lalu sebagai sebuah qadha, ketetapan yang telah Allah datangkan bagi kita. Maafkanlah masa lalu itu karena Allah.

Di sisi lain Allah menganugerahkan tuntunan Islam yang mampu merealisasikan kehidupan masyarakat yang tenteram sehingga ketika seorang perempuan dalam kondisi nadir tidak dipaksa untuk tetap berdiri di atas kakinya sendiri. Bebannya ketika tidak terpikul oleh suami atau pun walinya, akan dipikul oleh masyarakat melalui jaminan negara. 

Di masa kekhilafahan Umar ra telah dibuatkan data kependudukan untuk memastikan sampainya per penduduk termasuk, Umar ra memerintahkan petugas mencatat bayi-bayi yang akan lahir. Pemimpin juga dikewajibkan oleh Islam untuk menghidupkan pasar riil dan mencegah tumbuhnya pasar non riil, sehingga lapangan kerja terbuka luas bagi para suami untuk mencari nafkah. Dengan demikian, beban kehidupan tidak mematahkan punggung rakyat, sebab negara bertanggung jawab untuk memastikan kehidupan masyarakat yang sejahtera.

Memang masyarakat Islami dan pemimpin yang amanah itu sekarang belum terwujud kembali, walhasil masyarakat dan banyak keluarga tumbuh dalam suasana karut marut individualistis. Kejujuran keimanan kita kepada Allah-lah yang akan mendorong kita turut berkontribusi menyerukan tegaknya penerapan Islam secara kaffah di masyarakat sekaligus mendorong kita untuk berani meninggalkan slogan kesetaraan gender dan meninggalkan keputusan childfree, kemudian memilih untuk memupuk keteguhan menjadi ibu yang baik dan lembut dengan terus dikuatkan dengan mencari ilmu. Pilihan sikap tersebut merupakan kontribusi yang sangat besar bagi masyarakat dan juga teladan yang baik bagi tumbuh kembang anak-anak kita. 

Hanya dengan berjalan bersama Allah, jiwa kita damai, meski untuk itu harus berlelah-lelah mendapatkan kebahagiaan yang tak terbeli dengan harta. Al-Ajru ‘ala qadril masyaqqah, balasan itu setara dengan upaya yang kita curahkan. []


Oleh: Bintoro Siswayanti
(Istri dan ibu dari lima anak)

Posting Komentar

0 Komentar