Tidak Ada Kebebasan Berbicara dalam Demokrasi

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baru-baru ini mengedarkan surat pemberitahuan panduan penyiaran kepada lembaga penyiaran Indonesia. Surat edaran ini diantaranya berisi tentang konten siaran yang diminta untuk tidak menampilkan muatan yang mengandung lesbian gay biseksual dan transgender (LGBT), hedonistik, mistik atau horor atau supranatural, praktik hipnotis atau sejenisnya. Selain itu lembaga penyiaran dilarang  mengeksploitasi konflik dan atau privasi seseorang, bincang-bincang seks, serta muatan yang bertentangan dengan norma kesopanan dan kesusilaan.

Hal ini segera disambut baik oleh publik mengingat sebentar lagi akan memasuki bulan suci Ramadhan dan KPI menunjukkan kepeduliannya terhadap kepentingan umat Muslim yang akan menjalankan ibadah sebulan penuh pada bulan Ramadhan ini. Namun salah satu isi surat edaran tersebut telah menarik perhatian dan menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat. Yaitu pada poin 6 huruf d. Disebutkan, “Mengutamakan penggunaan dai/pendakwah kompeten, kredibel, tidak terikat organisasi terlarang sebagaimana telah dinyatakan hukum di Indonesia, dan sesuai dengan standar MUI, serta dalam penyampaian materinya senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila”.

Tanggapan beragam muncul dari berbagai kalangan dan tokoh masyarakat. Salah satunya datang dari Ketua DPP PKS Bukhori Yusuf yang menganggap KPI telah melampai kewenangannya sebagai lembaga negara yang independen sebagaimana ditegaskan dalam pasal 7 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2022 tentang penyiaran (Tribunnews.com, 24/3/2021).

Dengan adanya poin diatas, KPI dinilai kemungkinan besar akan menjadi pemicu perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Akan ada stigmatisasi negatif terhadap individu-individu tertentu. Individu tidak lagi dipandang membawa ide rasional dan original. Namun akan dicap memiliki keterikatan dengan sebuah organisasi. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Salah satu ide yang paling menonjol dalam demokrasi adalah kebebasan individu. Ide ini menjadi salah satu prinsip penting dalam demokrasi yang memastikan tiap-tiap individu akan dapat melaksanakan dan menjalankan kehendaknya seperti yang diinginkannya tanpa tekanan atau paksaan. Ide ini adalah ajaran suci yang tidak boleh dilanggar, baik oleh negara maupun individu. Bahkan salah satu tugas negara adalah memelihara dan menjaganya.

Sehingga jika berdasarkan dengan hal ini, sikap KPI telah mencederai kebebasan berbicara yang tertuang pada pasal tersebut. Sikap ini bagaikan menelan bulat-bulat ide kebebasannya sendiri. Bukankah sebagai lembaga penyiaran Indonesia KPI merupakan pusat pers dan induk dari dunia kebebasan berpendapat di Indonesia. Mengingat wewenang mereka dalam dunia pers Indonesia.

Dengan banyaknya spekulasi yang beredar di kalangan masyarakat, KPI telah mengubah isian pasal 6 poin d tersebut menjadi redaksi yang lebih ramah dan diharapkan dapat memenuhi keinginan masyarakat. Tersebut dalam pasal 6 poin d revisi ialah, “mengutamakan dai/pendakwah yang sesuai standar MUI” (Kpi.go.id, 31/3/2021).
Di tengah pengkhianatan kebebasan berbicara atas nama demokrasi oleh pegiat demokrasi sendiri ini, bagaimanakah media dalam sistem Islam seharusnya akan bekerja?

Media massa termasuk dalam hal ini konten dan bentuk acara media yang akan ditampilkan pada ruang publik bukanlah berorientasi pada upaya meraup keuntungan sebesar-besarnya seperti yang terjadi pada dunia kapitalistik. Namun media Islam akan berorientasi pada hukum-hukum Allah semata. Karena pengaplikasian hukum syariat Islam tidak terbatas pada aspek-aspek ruhiyah dan ibadah saja. Namun juga diterapkan pada seluruh aspek kehidupan manusia termasuk hubungan sosial antara masyarakat melalui media massa. Muslim wajib memahami seluruh hukum-hukum tersebut. Sehingga koridor perbuatannya diharapkan akan senantiasa berada dijalur yang benar.

Selain itu, dalam sistem Islam ada Departeman Penerangan yang bertugas mengatur informasi yang sampai di masyarakat. Departemen ini bertujuan mengolah informasi agar terbentuk masyarakat Islami yang kuat dan kokoh, menghilangkan keburukan, dan menonjolkan kebaikan. Dan berfungsi sebagai sarana dakwah Islam yang menjelaskan keagungan Islam dan keadilannya.

Khusus untuk media pers, dibolehkan bagi setiap warga negara untuk mendirikannya dan tidak memerlukan izin khusus, hanya pemberitahuan kepada Departemen Penerangan. Seluruh konten penayangan menjadi tanggung jawab pemilik dan redaksinya. Negara memberikan kebebasan dalam masalah konten, dengan syarat tidak melanggar syariat.

Media informasi dalam sistem Islam akan mendukung usaha pemerintah dalam membentuk masyarakat yang Islami dengan cara menanyangkan program-program yang akan meningkatkan keimanan, seperti kajian, hafidz Al Quran, tausiah, belajar bahasa arab, tafsir Al Qur’an dan laim-lain.

Ada pula kegiatan yang mencerdaskan masyarakat dengan mengadakan diskusi tsaqofah Islam, hingga memahamkan kebijakan pemerintah sesuai standar hukum syara’. Jika acara tersebut berkenaan dengan berita, baik dalam dan luar negeri, media harus memaparkannya dengan data yang valid dan bukan hoaks. Tidak diperbolehkan konten acara yang dapat menginspirasi kejahatan. Juga tidak boleh ada penekanan transaksional atau kompromi. Seluruhnya dilandaskan pada hukum syara’. Wallahu a’lam bishshawab.[]

Oleh: Andita Mayang Sina

Posting Komentar

0 Komentar