Sistem Islam Wujudkan Tayangan Media Handal dan Mencerdaskan


Watak asli ideologi sekuler selalu hadir dalam setiap anak cabang yang terpancar darinya. Sebagaimana dunia penyiaran yang lahir dan besar dengan asupan ekonomi kapitalis. Demi memenuhi demand pasar dan meraup keuntungan besar, lebih menonjol daripada pencerdasan penikmat siaran.

Maka tidak heran kalau pada momentum menyambut bulan Ramadan tahu ini, KPI mengeluarkan Surat Edaran KPI 2/2021 berdasarkan keputusan pleno 16 Maret 2021. Tujuannya, meningkatkan kekhusyukan menjalankan ibadah puasa. Atau sebagaimana ditulis oleh Ketua KPI Pusat Agung Suprio bahwa hal ini sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai agama, menjaga dan meningkatkan moralitas (tirto.id, 20/03/2021).

Setidaknya terdapat 14 poin aturan yang diminta KPI ke lembaga penyiaran. Di antaranya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegaskan, selama bulan Ramadan 2021 siaran televisi diperketat. Lembaga penyiaran diminta untuk tidak menampilkan muatan yang mengandung lesbian, gay, biseksual, dan transgender, hedonistik, mistik/horor/supranatural, praktik hipnotis atau sejenisnya (deskjabar.com, 24/03/2021).

Sepintas memang aturan tampak elegan dan penuh kesopanan. Seakan inilah bentuk penghormatan datangnya bulan Ramadhan. Akan tetapi, jika kita detaili sedikit lebih dalam, maka aturan yang berlaku pada bulan Ramadhan membuktikan bahwa sekularisasi di negeri ini masih terus berjalan.

Agama dengan kesempurnaannya yang meliputi seluruh aspek kehidupan, "terpaksa" dikotomi dan dicukupkan sebatas mengatur ibadah ritual semata (shalat, puasa, zakat, haji). Segala hal di luar ibadah ritual, negara menerapkan hukum buatan manusia, seolah manusia lebih handal.


Ciri Khas Masyarakat Sekuler-Kapitalis

Terbitnya surat edaran ini justru semakin menegaskan eksistensi masyarakat yang masih dikuasai oleh ideologi sekuler kapitalis.

Ideologi kapitalis memandang bahwa masyarakat terdiri dari individu-individu. Apabila urusan individu ini teratur, maka dengan sendirinya urusan masyarakat akan teratur pula. Titik perhatiannya adalah individu-individu saja.

Sementara tugas negara adalah bekerja untuk menjamin kepentingan individu. Dari sinilah dianggap terbitnya surat edaran akan menjamin terjaganya hak individu Muslim yang sedang berpuasa Ramadhan. Bisa dipastikan, demi menjamin hak (kebebasan berekspresi) individu lainnya, maka selepas Ramadhan tak akan lagi diberlakukan.

Dari sinilah, ideologi ini disebut juga
individualisme. Berbeda sekali dengan ideologi Islam memandang bahwa asas tempat masyarakat berpijak adalah akidah, disamping pemikiran, perasaan dan peraturan yang lahir dari akidah. Oleh karena itu apabila pemikiran dan perasaan Islam ini berkembang luas, dan peraturan Islam diterapkan di tengah-tengah rakyat, dari sanalah akan terbentuk masyarakat Islam. Tidak hanya sebatas bulan puasa saja, namun sepanjang masa.


Urgensi Dakwah Ideologis dalam Mewujudkan Masyarakat Islam

Dengan demikian, keberadaan masyarakat yang tidak sekadar tersusun dari individu-individu, melainkan terdiri dari kumpulan manusia, pemikiran, perasaan dan peraturan. Sehingga keberadaan upaya sungguh-sungguh dan terus menerus dalam mewujudkan perubahan masyarakat lebih dibutuhkan dari pada terbitnya sebuah surat edaran.

Islam memandang bahwa kebutuhan akan suatu maslahat adalah faktor terbentuknya manusia satu dengan manusia lainnya. Sehingga sangat dibutuhkan upaya menyamakan pemikirannya tentang kemaslahatan, juga perasan mereka, sehingga rasa ridha dan marahnya menjadi sama, ditambah pula adanya penerapan peraturan yang sama, yang mampu memecahkan berbagai macam persoalan.

Namun, sebagian program Ramadhan itu hanyai7 berisi penjelasan tentang hukum-hukum agama seputar Ramadhan. Konten program Ramadhan juga hanya seputar perbaikan diri (ini pun hanya sedikit sekali), konten tentang perbaikan masyarakat sama sekali tidak bisa kita temui.

Terlebih program lain yang menyajikan pemikiran liberal di aspek ekonomi dan politik tetap jalan tanpa hambatan. Menggumbar aib sederetan artis, juga reality show yang lebih kepada eksploitasi materi, atau pun unboxing barang mewah justru membuat masyarakat tergiring pada gaya hidup hedonis yang tiada habis.

Sejalan dengan media sekuler, masyarakat menganggap bahwa semua persoalan manusia harus selalu diselesaikan sendiri oleh manusia demi kepentingan manusia. Agama tidak boleh ikut campur sama sekali, kecuali hanya sebatas aspek moral. Akibatnya masyarakat memandang kebahagiaan itu identik dengan teraih tingginya nilai finansial, pemuasan seksual dan di hadapan manusia menjadi terkenal.


Sistem Islam, Kebutuhan Hakiki Umat Islam

Kaum Muslim tidak hanya membutuhkan tayangan yang mendukung tercapainya tujuan puasa, yaitu terbentuknya insan bertakwa. Tapi juga sistem yang benar-benar mewujudkan tujuan takwa dalam arti yang sebenar-benarnya.

Ada satu ayat yang patut jadi renungan saat ini, Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)

Ath Thobari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian –wahai manusia- adalah yang paling tinggi takwanya pada Allah, yaitu dengan menunaikan berbagai kewajiban dan menjauhi maksiat. Bukanlah yang paling mulia dilihat dari rumahnya yang megah atau berasal dari keturunan yang mulia.” (Tafsir Ath Thobari, 21:386)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,  “Sesungguhnya kalian bisa mulia dengan takwa dan bukan dilihat dari keturunan kalian” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 13: 169)

Mengutip ungkapan Sayyidina Ali Bin Abi Thalib, bahwa orang yang bertakwa mempunyai empat sifat utama. Ciri pertama, Al-Khaufu minal-Jalil, yakni manusia yang merasa takut kepada Allah SWT yang mempunyai sifat Maha Agung. Kedua, Al-‘Amalu bi At-Tanzil, manusia yang beramal dengan apa yang diwahyukan oleh Allah SWT. Ciri ketiga, Ar-Ridha bil-Qalil, merasa cukup dan ridha dengan pemberian Allah SWT, meskipun hanya sedikit. Sedangkan yang keempat adalah Al-Isti`dadu li Yaumir-Rahil, yaitu sentiasa mempersiapkan bekal untuk menghadapi kematian dan kembali menghadap Allah.

Nah, hakikat takwa seperti ini sangat sulit diwujudkan di tengah masyarakat yang penuh dengan penyebaran pemikiran dan pemahaman yang rusak dan merusak, pemikiran sesat dan menyesatkan, kedustaan dan berita manipulatif.

Sehingga sangat dibutuhkan media Islam yang berperan sebagai media komunikasi massal yang berfungsi dalam menciptakan sebuah opini publik yang kemudian akan menjadi opini umum. Pembentukan opini umum adalah hal yang tidak bisa disepelekan dalam sistem Islam (Sya’rawi, 1992: 140).

Dengan fungsi ideal di dalam negeri, media massa berfungsi untuk membangun masyarakat Islami yang kukuh. Sementara di luar negeri, ia berfungsi untuk menyebarkan Islam, baik dalam suasana perang maupun damai, untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam sekaligus membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia (Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilâfah, pasal 103).

Untuk itu, kita sebagai masyarakat harus terus mengingatkan penguasa bahwa keberadaan media harus dimaksimalkan untuk mencerdaskan masyarakat.

Di samping kita juga harus terus melakukan aktivitas dakwah kepada segenap masyarakat akan pentingnya sebuah perubahan menuju penerapan Islam secara kaffah yang telah terbukti bertahan belasan abad dalam menjaga masyarakatnya sebagai masyarakat Islam yang mampu membawa perubahan cemerlang dan peradaban gemilang. Wallahu a'lam bishshawab.[]

Oleh: Qawlan Sadiidaan

Posting Komentar

0 Komentar