Anak Muda dan Politik


Anak muda suka kulineran? Itu sudah umum terjadi. Anak muda suka K-Pop? Itupun sesuatu yang wajar terjadi dalam kehidupan sekuler hedonis seperti saat ini. Namun bagaimana dengan persoalan politik, apakah anak muda melek dengan politik kekinian?

Dilansir dari Merdeka.com, diketahui Survei Indikator Politik Indonesia digelar pada 4-10 Maret 2021. Survei dilakukan melalui sambungan telepon dengan responden sebanyak 1200 responden berusia 17-21 tahun.

Menurut Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam rilis survei secara daring, Minggu (21/3), anak muda menganggap masalah yang penting saat ini dan harus diselesaikan yaitu penanganan wabah virus, manajemen pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, pengangguran hingga korupsi.

Bagaimana pula pendapat anak muda terkait kinerja Partai Politik? Dikutip dari laman  CNN Indonesia, hasil Survei Indikator Politik Indonesia menyatakan sebanyak 64,7 persen anak muda menilai partai politik atau politikus di Indonesia tidak terlalu baik atau tidak baik sama sekali dalam mewakili aspirasi masyarakat. "Kalau ditanya tentang sikap mereka, penilaian mereka terhadap politisi, umumnya anak muda tidak begitu yakin bahwa politisi itu mewakili aspirasi masyarakat," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi rilis survei Indikator Politik Indonesia yang berlangsung daring, Minggu (21/3).


Harus Melek Politik

Tak dipungkiri, saat menyebut kata "politik" ada sebagian masyarakat yang tabu untuk membicarakannya. Dan menganggapnya urusan politik bukan tanggungjawab wong cilik (rakyat). Namun, sepertinya cara berpikir seperti ini harus dibuang jauh-jauh, karena disaat perpolitikan berjalan tidak baik, ternyata sangat berimbas pada seluruh masyarakat dengan berbagai latar belakang dan usia.

Maka ketika ada survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia, setidaknya kita mendapatkan gambaran, apa yang ada dalam benak anak muda terkait politik dan kinerja Parpol di negeri ini. Dan survei ini pun seharusnya tidak berhenti pada angka prosentase di atas kertas. Namun harus ditindaklanjuti dengan solusi nyata untuk mengurai problem politik yang ada. 


Politik Sekuler vs Politik Islam

Sungguh ironis, dalam kehidupan sekuler kapitalis keberadaan Parpol sebagai lembaga penampung aspirasi masyarakat ternyata belum optimal dilakukan. Lantas kemana lagi masyarakat akan mengadu, jika tumpuannya tidak mau mendengar setiap aspirasi yang disuarakan?

Disisi lain, anggota Parpol pun banyak diberitakan terjerat dengan kasus kriminal semacam korupsi, narkoba dan lainnya yang tentunya makin membuat masyarakat  apatis untuk mewujudkan perubahan kehidupan yang lebih baik.  

Islam sebagai diin yang sempurna telah memberikan pengaturan untuk setiap detail kehidupan kita, termasuk bagaimanakah mengatur masalah politik. Ya, Islam juga mengatur masalah perpolitikan. Inilah yang mungkin belum dipahami oleh sebagian umat Muslim. Hingga menganggap politik sebagai sesuatu yang tabu dan kotor untuk dibicarakan.

Kata politik dalam bahasa Arab sama dengan “sâsa-yasûsu-siyâsat[an]”; artinya mengurusi, dan bisa juga dimaknai memelihara. Telah banyak ahli yang mendefinisikan makna politik ini, di antaranya Samih ‘Athif dalam bukunya, As-Siyâsah wa As-Siyâsah Ad-Duwaliyyah (1987: 31), menyatakan bahwa politik (siyâsah) merupakan pengurusan urusan umat, perbaikan, pelurusan, menunjuki pada kebenaran dan membimbing menuju kebaikan.

Sehingga mengurus urusan umat, seharusnya menjadi tujuan utama dalam dunia politik yang dilakukan oleh negara sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap urusan masyarakat. Sehingga saat misi mengurus urusan umat ini benar-benar dijalankan, maka tidak akan terjadi tumpukan problem yang tak kunjung usai.


Teladan Urusan Politik

Benang kusut dunia politik akan tuntas jika umat Muslim merujuk pada panutan yang memang terbukti bisa menuntaskan problem kehidupan dengan baik. Teladan itu adalah Rasulullah shallallahu'alaihi wassalam yang sudah dijamin oleh Allah Ta'ala dalam surah Al Ahzab ayat 21 yang artinya: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah".

Dikutip dari Republika.co.id, Kamis 22 Maret 2012 artikel dengan judul "Inilah Cara Rasulullah Mengawasi Harta Negara", Nabi Saw ketika mengutus Muadz bin Jabal sebagai gubernur di Yaman, sebelum ia sampai ke tempat bertugas diminta kembali datang menghadap kepada Nabi, “Tahukah kamu mengapa aku memanggilmu kembali wahai Muaz?” tanya Nabi.
 
Belum tahu ya Rasululullah.”

Saya ingatkan lagi sejak engkau mengemban amanah ini jangan coba-coba mengambil sesuatu (untuk kepentingan pribadi) tanpa seizinku. Barang siapa yang berbuat curang, pada hari kiamat kelak akan dibangkitkan dalam keadaan memikul beban kecurangannya.

Cara Nabi ini diikuti olen generasi berikutnya, Umar bin Khattab, seperti diceritakan Abdul Qadim Zallum dalam bukunya al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah. Umar dengan tegas mengambil harta negara dari tangan Abu Sufyan pemberian dari anaknya, Muawiyah, yang menjadi Gubernur Syam senilai 10 ribu dinar.

Bagi seorang Muslim, Rasulullah shallallahu'alaihi wassalam tidak hanya berperan sebagai kepala rumah tangga yang berakhlak mulia. Namun Beliau merupakan pemimpin negara yang menjadikan syariatNya sebagai panduan dalam mengatur urusan masyarakat.

Sehingga politik dan Islam merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan seorang ulama sekaliber Imam al-Ghazali mengatakan, “Agama Islam adalah asas dan kekuasaan adalah penjaga. Kekuasaan tanpa asas akan binasa, sedangkan agama tanpa penjaga akan lenyap.” (Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, 1/76).

Maka dari sinilah umat Muslim terkhusus generasi penerus bangsa, selayaknya bersegera untuk mengupgrade diri dengan pemahaman Islam secara kaffah, sehingga mendapat gambaran yang lurus dan benar tentang politik dalam pandangan Islam. Hingga cita-cita terwujudnya perubahan hakiki benar-benar bisa terealisasi, Insya Allah. Wa ma tawfiqi illa billah, 'alayhi tawakkaltu wa ilayhi unib.[]

Oleh: Dahlia Kumalasari, Pendidik

Posting Komentar

0 Komentar