Raja Ampat, Bukti Papua Bagian dari Kesultanan Islam

Foto: Hidayatullah.com


Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar nama Raja Ampat? Pastilah banyak di antara pembaca yang langsung membayangkan obyek wisata berupa pulau-pulau kecil yang sangat eksotik di barat bagian ‘kepala burung’ Papua. Juga merupakan tempat menyelam terindah dan terkaya di dunia karena lebih dari 1.320 spesies ikan karang dan lebih dari 540 jenis karang keras (75% dari total jenis di dunia) ada di sini.

foto: agolf.xyz

Foto: tripzilliaa.id

Sebenarnya Raja Ampat adalah nama kabupaten di Provinsi Papua Barat.  Terdiri dari hamparan 1.846 pulau berpenghuni maupun tidak, dengan luas wilayah 4,5 juta hektar. Empat pulau terbesarnya adalah Pulau Waigeo (ibu kota kabupaten), Batanta, Salawati dan Misool. 

Foto kumparan.com
foto travel tribunnews.com

Pada abad ke-15, warga setempat menerima dakwah dari Kesultanan Bacan (berpusat di Pulau Bacan, Kepulauan Maluku). Pada masa pemerintahan Sultan Mohammad al-Bakir, Kesultanan Bacan memang mencanangkan syiar Islam ke seluruh penjuru negeri, seperti Sulawesi, Filipina, Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa dan Papua.

Untuk menjalankan pemerintahannya, Kesultanan Bacan (versi lain menyebut Kesultanan Tidore) menunjuk 4 orang raja lokal untuk berkuasa di masing-masing pulau terbesar tersebut. Istilah 4 orang raja dalam yang memerintah di gugusan kepulauan itulah yang menjadi awal dari nama Raja Ampat.

Masjid Patimburak, foto Republika.co.id


Menurut sejarawan Beggy Rizkiyansyah, terbentuknya Kolano Fat (Raja Ampat atau Raja Empat, dalam bahasa Melayu) di kepulauan Raja Ampat oleh Kesultanan Bacan, dapat dilihat dari nama-nama gelar di kepulauan tersebut: (1) Kaicil Patra War, bergelar Komalo Gurabesi (Kapita Gurabesi) di Pulau Waigeo; (2) Kaicil Patra War bergelar Kapas Lolo di Pulau Salawati; (3) Kaicil Patra Mustari bergelar Komalo Nagi di Misool; dan (4) Kaicil Boki Lima Tera bergelar Komalo Boki Sailia di Pulau Seram.

“Isitilah Kaicil adalah gelar anak laki-laki Sultan Maluku. Menariknya, nama Pulau Salawati menurut tutur lisan masyarakat setempat diambil dari kata Shalawat,” ungkapnya mengutip kajian linguistiknya ahli linguistik JT Collins.

Ia juga menyebutkan ada beberapa nama tempat yang merupakan pemberian Sultan Bacan. Seperti Pulau Saunek Mounde (buang sauh di depan), Teminanbuan (tebing dan air terbuang), War Samdin (air sembahyang/wudhu). War Zum-zum (penguasa atas sumur) dan lainnya. 

Menurutnya, nama-nama tersebut merupakan bukti-bukti peninggalan nama-nama tempat dan keturunan Sultan Bacan yang menjadi raja-raja Islam di Kepulauan Raja Ampat. Kemungkinan Kesultanan Bacan menyebarkan Islam di Papua sekitar pertengahan abad ke-15 dan kemudian abad ke-16, terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil di Kepulauan Raja Ampat, setelah para pemimpin-pemimpin Papua di kepulauan tersebut mengunjungi Kesultanan Bacan tahun 1596.

Sedangkan versi yang menyebutkan Kesultanan Tidore (berpusat di Maluku Utara) bersumber dari  ‘Museum Memorial Kesultanan Tidore Sinyine Malige’, yang menyebutkan Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X) melakukan ekspedisi ke Papua dengan satu armada kora-kora. Ekspedisi ini menyusuri Pulau Waieo, Batanta, Salawati, Misool di Kepulauan Raja Ampat.
 
Di wilayah Misool, Sultan Ibnu Mansur yang sering disebut Sultan Papua I, mengangkat Kaicil Patra War, putra Sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi. Kacili Patra War kemudian dinikahkan dengan putri Sultan Ibnu Mansur, yaitu Boki Thayyibah. Dari penikahan inilah Kesultanan Tidore memperluas pengaruhnya hingga ke Raja Ampat bahkan hingga Biak.

Menurut Beggy catatan perjalanan Miguel Roxo de Brito, penjelajah asal Portugis ke Raja Ampat tahun 1581-1582 juga menunjukkan Raja Waigeo telah memeluk agama Islam. [The Report of Miguel Roxo de Brito in His Voyage in 1581-1582 To the Raja Ampat, the MacClur Gulf and Seram, JHF Sollewijn Gelpke, BKI Vol 150 No: 1 Leiden, 1994].


Ustadz Fadlan Garamatan

Bukti Lain

Ketua Umum Al-Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN) M Zaaf Fadzlan Rabbani Al-Garamatan menyatakan kepada Media Umat pada Januari 2016, salah satu tradisi lisan yang berkembang di Fakfak, Papua Barat, bahwa Islam masuk ke Papua dibawa oleh Syaikh Iskandar Syah dari Kesultanan Samudera Pasai. Syaikh Iskandar Syah yang diperintahkan oleh Syaikh Abdurrauf  yang merupakan putra ke-27 dari waliyullah Syaikh Abdul Qadir Jailani ini mulai menjejakkan dakwahnya di Papua pada abad XIII tepatnya 17 Juli 1214 di Mesia atau Mes, daerah itu kini lebih dikenal Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak. 

Orang pertama yang diajarkan oleh Syaikh Iskandar Syah bernama Kris-kris. Kris-kris ketika itu sudah menjadi Raja Patipi pertama. Kepada Kris-kris, Syaikh Iskandar Syah mengatakan, “Jika kamu mau maju, mau aman, mau berkembang, maka kamu harus mengenal Alif Lam Lam Ha (maksudnya Allah) dan Mim Ha Mim Dal (maksudnya Muhammad).” 

Tertegun Raja Kris-Kris dengan nasihat dari ulama asal Pasai itu, hingga akhirnya ia menyatakan ingin memeluk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Kris-Kris banyak menimba ilmu kepada Syaikh Iskandarsyah. 

Kebetulan dalam perjalanan itu, Syaikh Iskandar membawa beberapa kitab, di antaranya mushaf Al-Qur’an tulisan tangan, Hadits, Ilmu Tauhid, dan kumpulan doa-doa. Tiga bulan kemudian, Kris-kris diangkat menjadi imam pertama di Mesia. 

“Menurut pewaris Kris-kris yang masih hidup di zaman sekarang Ahmad Iba, kitab-kitab itu ditulis di atas daun koba-koba, pohon asli Papua yang kini mulai punah. Ada pula manuskrip yang ditulis di atas pelepah kayu, mirip dengan manuskrip,” tegas lelaki kelahiran Patipi, Fakfak, 17 Mei 1969.

Sedangkan dalam buku Studi Sejarah Masuknya Islam di Fakfak yang diterbitkan oleh Pemda Kabupaten Fakfak, Papua Barat, menjelaskan pada tanggal 8 Agustus 1360 datang seorang mubaligh bernama Abdul Ghafar di Fatagar Lama. Kehadiran mubaligh asal Aceh ini di Semenanjung Onin dalam rangka mencari rempah-rempah yang melimpah ruah di Fakfak. Salah satu rempah yang terkenal di daerah ini adalah buah pala. 

Sebagai seorang mubaligh, Abdul Ghafar sangat tekun menjalankan shalat lima waktu. Kegiatan ibadah itu mendapat perhatian dari masyarakat sekitar, bahkan di antara mereka saling bertanya-tanya perihal yang dilakukan oleh Abdul Ghafar. Setelah Abdul Ghafar berhasil beradaptasi dengan masyarakat dan mempelajari bahasa lokal, ia mulai mengajarkan agama Islam kepada masyarakat termasuk tentang kegiatan ibadah yang ia lakukan setiap hari. 

Abdul Ghafar menjelaskan, dicatat dalam buku tersebut, bahwa (ketika shalat itu) dirinya sedang menyembah Allah pencipta langit dan bumi, serta segala isinya. Penjelasan ini menyentuh dan menggugah hati penduduk setempat, hingga akhirnya masyarakat mulai membuka diri untuk menerima Islam.

Maka, wajarlah, kalau Toni Victor M Wanggai dalam disertasinya yang berjudul Rekonstruksi Sejarah Umat Islam di Tanah Papua menuliskan bahwa Islam telah masuk ke Papua sejak abad XV atau abad sebelumnya, sementara agama Kristen dan Katholik baru disyiarkan ke Papua pada pertengahan abad XIX.[] 


Oleh Joko Prasetyo ---dari berbagai sumber
 
Dimuat pada rubrik KISAH Tabloid Media Umat edisi 218 (Pertengahan April 2018)

Posting Komentar

0 Komentar