Di tengah pandemi ini, pemerintah bersama lembaga legislatif mendapat sorotan tajam atas kinerjanya yang cenderung menghasilkan produk peraturan yang tidak memihak kepada rakyat. Masih segar diingatan kita akan disahkannya UU Minerba pada periode Mei lalu yang menurut para ahli hanya menguntungkan para kapitalis dan merugikan negara. Produk peraturan yang tidak sepi dari kritikan adalah lahir dan disahkannya Perpu corona atau perpu no 1 tahun 2020 yang telah mendiskualifikasi proses hukum jika terjadi kerugian keuangan negara dengan penghapusan atau peniadaan pertanggung jawaban hukum.
Polemik RUU yang tidak jauh dari kritik keras oleh berbagai elemen masyarakat juga ada pada RUU Omnibus law dan RUU HIP yang masih dalam tahap pembahasan di DPR. Begitu juga yang masih segar dan hangat mendapat kritik adalah disahkannya produk politik berupa Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 terkait penyelenggaraan Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat). Dalam PP tersebut, pekerja mulai dari ASN sampai pekerja swasta wajib membayar iuran sebesar 3% dengan perincian 2,5% dibayar oleh pekerja dan 0,5% oleh pemberi kerja.
Ahmad Syaikhu (Fraksi PKS DPR RI) dalam laman pks.id (08/06/2020) menyatakan bahwa PP Tapera ini perlu dikritisi. Ada beberapa catatan kritis agar kehadirannya tidak menambah beban baru rakyat. Beliau menyampaikan bahwa peraturan ini sudah sekitar empat tahun terkesan diabaikan.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya tidak serius membangun rumah untuk rakyat. Kesan yang terbaca jelas justru untuk mendapatkan dana talangan akibat dari penerimaan pemerintah yang anjlok dan defisit APBN. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa PP Tapera ini hadir pada saat yang tidak tepat. Fokus pemerintah harusnya pada pangan karena pandemi ini berpotensi melahirkan krisis ketahanan pangan. Selain itu juga berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi karena akan mengurangi belanja masyarakat.
A. Menelisik Penyebab Tanggung Jawab Negara terhadap Kebutuhan Rakyat di Bidang Perumahan dalam Sistem Kapitalistik Sulit Terpenuhi
Rumah atau papan merupakan salah satu kebutuhan primer atau mendasar bagi setiap individu selain pangan dan sandang. Abraham Maslow dalam teori motivasi (a theory of human motivation) membagi motivasi kebutuhan manusia dalam 5 tingkatan yaitu kebutuhan fisiologi, rasa aman, kasih sayang, penghargaan dan aktualisasi diri. Kebutuhan akan rumah/ papan masuk dalam kategori kebutuhan fisiologi yang paling mendasar untuk dipenuhi bagi setiap orang
Menjadi masalah besar pada masa sekarang ini perihal terjangkaunya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan fisiologi terutama papan. Dalam laman tirto.id, 19/06/2019, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan, Kementrian PUPR, Khalawi Abdul Hamid, menjelaskan bahwa ada beberapa hambatan yang dihadapi oleh generasi milineal indonesia untuk membeli hunian. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh pengeluaran konsumsi milinieal yang tinggi, kenaikan upah yang rendah sampai suku bunga.
Hasil survey Kementrian PUPR di 17 Kabupaten/Kota, 50% lebih pengeluaran keluarga milineal adalah untuk kebutuhan konsumsi, bukan untuk investasi. Hal ini menjadi sebab sulitnya memiliki rumah pada zaman kapitalistik sekarang ini. Lebih lanjut, menurut Khalawi Abdul Hamid, lonjakan harga properti tidak sebanding dengan kenaikan upah pekerja. Berdasarkan data Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) Bank Indonesia (BI), harga hunian naik 39,7% dalam satu dekade. Sementara upah pekerja yang menggunakan standar Upah Minimum Regional (UMR), di seluruh Indonesia pertahun kenaikannya tidak sebanding dengan kenaikan harga rumah.
Data dari Kementerian PUPR dinyatakan bahwa pada tahun 2019 ada 11 juta keluarga yang belum memiliki rumah dan menempati rumah yang tidak layak. (Okezone.com, 26/12/2019). Pada periode 2015-2018 saja meskipun negara memproyeksikan program rumah subsidi, hanya bisa menjangkau sebanyak 775.508 unit rumah. Maka pertahun subsidi rumah hanya bisa menjangkau 193.877 unit, seperti pada tahun 2019 yang hanya mencapai 177.472 unit.
Di balik fakta-fakta yang telah dikemukakan pada paragraf sebelumnya, ketersediaan rumah menjadi semakin sulit dengan diadopsinya sistem ekonomi kapitalistik. Dalam sistem kapitalisme, hampir semua obyek vital telah menjadi obyek bisnis. Sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan bahkan kemanan semuanya berbayar. Beban setiap individu tidak hanya sekedar pada pemenuhan sandang, pangan dan papan semata tetapi juga harus membayar cost untuk kesehatan, pendidikan dan keamanan yang tentunya tidak murah.
Laman cnbcindonesia.com (03/02/2020) bedasarkan data BPS menyatakan bahwa pada tahun 2019 terjadi inflasi pada berbagai sektor. Inflasi yang tertinggi pada sektor makanan, minuman dan tembakau. Pada sektor kesehatan juga terjadi inflasi sebesar 3,46%. Nilai tersebut lebih besar dari pada inflasi pada tahun sebelumnya yang mencapai 3,14%. Bahkan pada januari 2019, pengeluaran biaya kesehatan mengalami inflasi sebesar 3,87%. Tidak hanya kesehatan, bidang pendidikan juga mengalami inflasi yang cukup tinggi, nilainya sebesar 3,81%. Dengan demikian maka, biaya kebutuhan pangan, kesehatan dan pendidikan setiap tahun terus meningkat.
Mekanisme pembelian rumah pada sistem kapitalis juga cukup beresiko dalam akad transaksinya. Salah satu hal yang sangat beresiko selain keharaman dari adanya riba oleh bank dan menjadikan rumah yang dibeli sebagai jaminan adalah adanya denda dari pihak bank jika nasabah melakukan wanprestasi (cedera janji) terhadap perjanjian kredit (PK). Misalnya denda kepada nasabah yang menunggak pembayaran angsuran per bulan. Atau denda kepada nasabah yang melunasi sisa angsuran lebih awal dari waktu yang seharusnya. Kedua macam denda tersebut hakikatnya adalah riba yang diharamkan Islam, karena ia merupakan tambahan yang disyaratkan atas pokok utang. (Prof Muhammad al Husain ash Showa, al Syarat hal Jaza’iy fi al Duyuun: Dirasat Fiqhiyyah Muqaranah, hlm 23-25)
B. Peta Politik Penyelenggaraan Tapera sehingga Berpotensi Menimbulkan Kegaduhan Baru di Tengah Kesulitan Masyarakat Memenuhi Kebutuhan di Bidang Perumahan
Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera pada 20 Mei 2020 silam. Dengan adanya PP Tapera, maka perusahaan atau pekerja akan dipungut iuran baru. Gaji para pekerja akan dipotong 2,5 persen untuk iuran Tapera tersebut.
Pada pasal 15 dalam PP tersebut tertulis, "Besaran Simpanan Peserta ditetapkan sebesar 3 persen (tiga persen) dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan peserta pekerja mandiri". Kemudian, dari angka 3 persen tersebut, sebanyak 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja. Sisanya sebesar 2,5 persen ditanggung oleh pekerja yang diambil dari gaji pegawai.
Peserta dana Tapera di PP itu disebut terdiri dari pekerja dan juga pekerja mandiri. Golongan pekerja yang dimaksud meliputi calon PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, pekerja BUMN, pekerja BUMD dan pekerja dari perusahaan swasta. Sedangkan pekerja mandiri menjadi peserta dengan mendaftarkan diri sendiri kepada BP Tapera. Jika peserta mandiri tidak membayar simpanan, maka status kepesertaan Tapera dinyatakan non-aktif.
BP Tapera sendiri sebenarnya bukan lembaga baru. Institusi ini sebelumnya bernama Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan-Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS).Dengan nomenklatur baru, BP Tapera kini tak hanya menjadi pemungut iuran bagi PNS, namun bakal mengelola dana dari iuran pekerja yang berasal dari BUMN, BUMD, TNI dan Polri, perusahaan swasta, dan peserta mandiri.
Sebelum menjadi BP Tapera, Bapertarum-PNS memiliki sekitar 6,7 juta orang peserta, baik PNS aktif maupun yang telah pensiun, dengan dana kelolaan Rp 12 triliun. Saat masih bernama Bapertarum, lembaga ini mengumpulkan uang dari PNS dengan memotong gaji setiap bulan sehingga uang di Bapertarum PNS pada dasarnya adalah uang PNS dan harus dikembalikan kepada mereka. Kepesertaan di BP Tapera akan berakhir jika pekerja sudah pensiun yakni usia 58 tahun. Nantinya setelah pensiun, peserta bisa mendapatkan dana simpanannya beserta hasil dari dana pengembangan yang ditempatkan di deposito bank, surat utang pemerintah, dan investasi lainnya.
Lahirnya PP Tapera tidak sepi dari kritik. Irwan Fecho (Anggota Fraksi V DPR RI) mempertanyakan kebijakan PP Tapera ini. Menurutnya rakyat sudah cukup sulit apalagi dalam kondisi pandemi seperti ini. (acurat.co, 09/06/2020). Pengamat Tata Kota dan Perumahan Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengkritisi PP Tapera ini. Menurutnya, tidak ada poin atau mekanisme yang bisa memastikan perihal pemanfaatan tabungan tersebut. Padahal peserta menabung dari mendaftar hingga pensiun. Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa tidak ada jaminan bagi peserta Tapera untuk bisa memiliki rumah di masa mendatang. (wowkeren.com, 05/06/2020).
Deputi Komisioner BP Tapera Eko Ariantoro, mengatakan program seperti Tapera sudah lazim dilaksanakan di berbagai negara. "Program serupa Tapera sudah lazim dilaksanakan di berbagai negara, seperti Singapura, Malaysia, China, India, dan Korea Selatan". Dia menuturkan, hadirnya Tapera melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 merupakan upaya pemerintah untuk melengkapi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Berdasarkan informasi dari Komisioner BP Tapera tersebut, maka terkonfirmasi bahwa Tapera tak ubahnya merupakan bagian dari SJSN. Dengan demikian maka Tapera juga memiliki potensi kesalahan paradigma seperti yang terjadi dalam mekanisme jaminan sosial yang diselenggarakan oleh negara yang mengadopsi sistem kapitalisme. Kritik terhadap Jaminan Sosial utamanya pada UU SJSN sendiri sudah pernah dilontarkan oleh berbagai pihak sejak 2011 silam.
Hizbut Tahrir Indonesia pernah mengkritik pedas UU SJSN ini. Dalam kritiknya, kesalahan mendasar dari sistem jaminan sosial yang muncul dari sistem ekonomi kapitalis ini—yang kemudian diadopsi dalam UU SJSN—adalah negara tidak boleh ikut campur tangan dalam menangani urusan masyarakat, termasuk dalam urusan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat seperti kesehatan, pendidikan maupun keamanan. Semua urusan masyarakat, khususnya bidang ekonomi dan sosial, diserahkan kepada mekanisme pasar.
Arim Nasim (Pakar Ekonomi Syariah) menyatakan bahwa konsep jaminan sosial merupakan kebijakan tambal-sulam untuk menutupi kegagalan sistem kapitalis. Melalui konsep keadilan sosial atau negera kesejahteraan maka negara—yang sejatinya dalam sistem kapitalis tidak boleh campur tangan langsung dalam urusan sosial kemasyarakatan—dapat menjalankan beberapa pelayanan sosial. Konsep ini sebetulnya hanya untuk menutupi kelemahan sistem kapitalis. Berkat konsep inilah sistem kapitalis masih bisa bertahan.
Dengan demikian, maka konsep Tapera yang tidak jauh beda dengan konsep BPJS pada dasarnya merupakan bentuk kebijakan yang semakin menambah iuran yang harus dibayarkan oleh rakyat. Iuran-iuran yang dipungut tentu merupakan beban bagi yang ditarik. Bahkan bisa menjadi pintu yang kesengsaraan bagi pekerja dan pemberi kerja. Maka dapat disimpulkan bahwa Tapera pada dasarnya hanyalah mekanisme kapitalistik yang sudah gagal dalam mensejahterakan umat manusia.
C. Strategi yang Tepat untuk Menjamin Pemenuhan Kebutuhan Perumahan Rakyat, Khususnya Ditinjau dari Perspektif Islam (dalam bingkai Syariah dan Khilafah)
Mekanisme kepemilikan rumah yang melibatkan bank dan mengandung riba jelas adalah beban yang mencekik rakyat. Selain riba haram, mekanisme denda membuat utang semakin menumpuk jika tidak segera dilunasi. Wajar saja, jika masih banyak rakyat yang belum memiliki rumah, hingga ada yang tinggal di pemukiman kumuh atau bahkan menjadi gelandangan.
Andai saja sandang, pangan, dan papan benar-benar diurusi dan dijamin keberadaannya oleh pemerintah tentunya akan meminimalisir kemiskinan yang terjadi. Akibat penerapan sistem kapitalisme jurang kemiskinan semakin menganga lebar. Karena banyak kebijakan yang lebih memihak segelintir kapitalis asing aseng. Rakyat tak ubahnya hanya menjadi tumbal kerakusan mereka.
Negara kapitalis memang tidak akan memberikan jaminan kepada rakyatnya secara cuma-cuma dan menyeluruh. Karena negara kapitalis hanya berfungsi sebagai regulator saja. Negara akan bertindak jika ada masalah. Ketika ada masalah yang menimpa yang miskin dan lemah, negara baru memberikan jaminan secara pragmatis.
Karena jaminan dalam kacamata kapitalisme adalah kebijakan tambal sulam yang pragmatis dan berujung dilematis. Lumrah, jika jaminan tersebut kadang malah membebani rakyat. Alih-alih meringankan beban rakyat, negara hanya mengatur bagaimana rakyat mampu membiayai hidupnya sendiri dengan berbagai bentuk iuran atau tarikan. Bukannya tambah sejahtera, terkadang dana rakyat malah menjadi santapan lezat para tikus berdasi.
Dalam pandangan Islam, negara wajib menjamin sandang, pangan, dan papan rakyatnya. Tak hanya itu, pendidikan, kesehatan, dan keamanan juga menjadi tanggung jawab negara. Inilah yang membuat negara yang berasakan Islam yaitu Khilafah berbeda dengan negara apapun di dunia.
Khilafah ada untuk mengurusi urusan agama dan dunia. Melalui mekanisme syariah, Khilafah akan menjamin kebutuhan hidup rakyatnya dan mewujudkan kesejahteraan yang nyata. Baik rakyat muslim maupun non muslim, seluruh rakyat adalah tanggung jawab Khilafah.
Nabi bersabda, “al-Imam ra’[in] wa huwa mas’ul[un] ‘an ra’iyyatihi.” (Imam [kepala negara] laksana penggembala, hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap urusan rakyatnya). Karena iu, khilafah bertanggungjawab penuh untuk mengurus dan menyelesaikan semuanya.
Kebutuhan primer maupun sekunder adalah tanggungjawab negara. Khilafah akan menjamin terpenuhinya kebutuhan tersebut melalui mekanisme syariah. Mekanisme ini sekaligus mengatasi masalah “ketergantungan” rakyat kepada negara, di satu sisi. Di sisi lain, mekanisme ini juga mendidik mental mereka, dan mengatasi masalah dengan adil.
Jaminan kebutuhan dasar dan sekunder dapat diwujudkan dengan bekerja, bagi laki-laki dewasa yang mampu, karena memang seorang laki-laki dewasa wajib menanggung nafkah anaknya, adiknya, orang tua, keluarganya, dan lain-lain. Jika seorang laki-laki tersebut tidak mampu menanggung nafkah, dan tidak ada kerabatnya yang mampu menanggungnya, negara berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi laki-laki dewasa tersebut.
Jaminan di atas bisa diwujudkan, jika setiap warga negara yang mampu bekerja atau berusaha mempunyai kesempatan yang sama untuk bekerja dan berusaha. Karena itu, negara khilafah mempunyai kewajiban untuk membuka lapangan pekerjaan, dan kesempatan berusaha bagi seluruh rakyatnya. Jika ada yang mampu bekerja, tetapi tidak mempunyai modal usaha, maka bisa mengadakan kerja sama dengan sesama warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Bisa juga dengan mekanisme qardh (utang), hibah (pemberian cuma-cuma), maupun yang lain.
Sebagaimana dalam pemenuhan papan atau tempat tinggal. Bisa jadi negara membantu dengan mekanisme utang tanpa riba dan disesuaikan cicilan terhadap penghasilan rakyatnya. Tentu saja, hal tersebut juga tidak memaksa. Bagi yang membutuhkan bantuan karena tak mampu mengupayakan sendiri, negara akan hadir membantu rakyatnya yang belum memiliki tempat tinggal.
Jika ada yang mampu bekerja, tetapi tidak mempunyai modal usaha, maka bisa mengadakan kerja sama dengan sesama warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Bisa juga dengan mekanisme qardh (utang), hibah (pemberian cuma-cuma), maupun yang lain.
Jika modal usaha tersebut terkait dengan negara, misalnya seperti tanah pertanian milik negara, maka negara khilafah bisa memberikannya untuk dikelola. Inilah yang disebut Iqtha’. Negara juga menjamin kepemilikannya atas tanah mati, yang tidak dikelola lebih dari 3 tahun oleh pemilik asalnya, jika tanah mati tersebut dia kelola. Dan, masih banyak mekanisme yang lain.
Jika ditanyakan dari mana khilafah bisa memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok, sekunder, layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan kepada rakyatnya? Tentu saja dari pendapatan negara khilafah. Baik yang bersumber dari sumber daya alam, kekayaan bahari dan hayati, hasil tambang, dan lain-lain. Dimana semua itu dalam mekanisme syariah memang digunakan untuk mensejahterakan rakyatnya, dan haram dalam Islam menyerahkan kepada segelintir kapitalis.
Mengutip laman mediaumat.news (19/4/18), beberapa bentuk aturan atau kebijakan dalam khilafah sehingga ada keterjaminan kesejahteraan bagi rakyat antara lain:
Pertama, khilafah adalah sebuah negara yang Islam diterapkan menetapkan bahwa setiap muslim laki-laki, khususnya kepala rumah tangga memiliki tanggung jawab untuk bekerja guna memberikan nafkah baginya dan bagi keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.
Kedua, Islam mengatur ketika masih ada kekurangan atau kemiskinan yang menimpa seseorang, maka tanggung jawab itu menjadi tanggung jawab sosial. Maksudnya keluarga dan tetangga turut dalam membantu mereka yang masih dalam kekurangan dengan berbagai macam aturan Islam seperti zakat, sedekah dan lainnya.
Ketiga, khilafah melalui pemimpin tertingginya yaitu seorang khalifah adalah pihak yang mendapatkan mandat untuk mengayomi dan menjamin kesejehteraan rakyat. Dia yang akan menerapkan syariah Islam, utamanya dalam urusan pengaturan
Dalam sistem ekonomi, khilafah memiliki kebijakan dalam mengatur kepemilikan kekayaan negara sesuai Islam. Ada kepemilikan individu, umum dan negara yang semua diatur sedemikian rupa untuk kemakmuran rakyat. Pengaturan tersebut kemudian akan masuk dalam Baitul Mal yang menjadi pusat kekayaan khilafah.
Arahnya adalah untuk menjamin kehidupan per-individu rakyat agar benar-benar mendapatkan sandang, pangan dan papan. Serta untuk mewujudkan jaminan bagi rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, pertanian, industri, infrastruktur dan lainnya.
Secara rinci dan adil akan dijumpai dan senantiasa merujuk pada syariat Islam mengenai pengaturannya dalam sistem ekonomi dan keuangan Islam. Apabila khilafah tegak, niscaya sistem Islam yang diterapkan secara fundamental dan komprehensif akan mampu mewujudkan kesejahteraan hakiki dan menyelamatkan umat dari segala bentuk kezaliman yang mengakibatkan kesengsaraan umat. Wallahu’alam.[]
Oleh Ika Mawarningtyas, S. Pd.
Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo dan Analis Muslimah Voice
Nb: MATERI KULIAH ONLINE
UNIOL 4.0 DIPONOROGO
Rabu, 10 Juni 2020
(di bawah asuhan Prof. Pierre Suteki)
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst
0 Komentar