Sejarah Keruntuhan Khilafah


“The point at issue is that Turkey has been destroyed and shall never rise again, because we have destroyed her spiritual power: the Caliphate and Islam (Inti permasalahannya adalah bahwa Turki telah dihancurkan dan tidak akan bangkit kembali, karena kita telah menghancurkan jantung kekuatan spiritualnya: Khilafah dan Islam)." Demikian jawaban Lord Curzon, Menlu Inggris yang diprotes karena Inggris mengakui kemerdekaan Turki.

Beberapa bulan setelah penghapusan sistem  Khilafah, maka pada tanggal 24 Juli 1924, kemerdekaan Turki secara resmi diakui dengan penandatanganan Traktat Lausanne. Inggris dan sekutu-sekutunya menarik semua pasukannya dari Turki yang ditempatkan sejak akhir PD I. Khilafah sendiri dihapuskan secara resmi pada tanggal 3 Maret 1924 oleh Mustafa Kemal at Tarturk.

Penghapusan sistem Khilafah sendiri dilakukan sebagai bagian dari syarat yang diajukan oleh Inggris untuk mengakui kekuasaan Mustafa Kemal Attaturk atas negara Turki. Keempat syarat itu adalah: (1) Menghapus sistem Khilafah; (2) Mengasingkan keluarga Utsmaniah di luar perbatasan; (3) Memproklamirkan berdirinya negara sekular; (4) Pembekuan hak milik dan harta milik keluarga Utsmaniah. (Mahmud Syakir, Târîkh al-Islâm, VIII/233).


Sejarah Runtuhnya Khilafah


Para sejarahwan membagi sejarah Khilafah Islam menjadi empat masa: (1) Khulafaur Rasyidin (632-661 M); (2) Khilafah Bani Umayah (661-750 M); (3) Khilafah Bani Abbasiyah (750-1517 M); (4) Khilafah Utsmaniyah (1517-1924 M). Artinya, kurang lebih selama 13 abad lamanya kekhilafahan Islam pernah berlangsung selama kurang lebih 13 abad lamanya.

Sebuah usia yang sangat panjang untuk ukuran sebuah negara ideologis yang sangat besar, yang wilayah kekuasaannya pernah meliputi hampir 2/3 bagian dunia, mencakup seluruh Timur Tengah, sebagian Afrika, dan Asia Tengah; di sebelah timur sampai ke negeri Cina; di sebelah barat sampai ke Andalusia (Spanyol), selatan Prancis, serta Eropa Timur (meliputi Hungaria, Beograd, Albania, Yunani, Rumania, Serbia, Bulgaria, serta seluruh kepulauan di Laut Tengah).

Kejayaan dan kebesaran Khilafah Utsmaniyah terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Sulaiman al-Qanuni (926-974 H/1520-1566 M. Pada masa tersebut, Khilafah Utsmaniyah telah jauh meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains, dan politik. Namun sayang, setelah Khalifah Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia, Khilafah mulai mengalami kemerosotan terus-menerus, bahkan mendapatkan gelar 'The Sick Man of Europe' (Si Sakit dari Eropa).

Tahun 1855, negara-negara Eropa berkonspirasi untuk menghancurkan Khilafah Turki Utsmani. Dengan melihat semakin lemahnya pengaruh kekuasaan Turki Utsmani, negara-negara Eropa –khususnya Inggris- memaksa Khilafah Usmaniyah untuk melakukan amandemen UUD sebagai syarat jika ingin masuk dalam Keluarga Internasional, yakni syarat dimana Khilafah Utsmani diminta tidak berhukum dengan hukum Islam untuk hubungan internasional dan memasukan sebagian undang-undang Eropa. Khilafah Utsmani tunduk dan menerima syarat-syarat tersebut, yang kemudian diterima menjadi bagian dari Keluarga Internasional pada tahun 1856.

Tahun 1908 M Turki Muda yang berpusat di Salonika—pusat komunitas Yahudi Dunamah—melakukan pemberontakan. Gerakan pemberontakan itu didukung Inggris dan Prancis. Kemudian tanggal 18 Juni 1913, pemuda-pemuda Arab mengadakan kongres di Paris dan mengumumkan Gerakan Nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis di Damaskus telah membongkar rencana pengkhianatan mereka kepada Khilafah Utsmaniyah yang didukung oleh Inggris dan Prancis.

Perang Dunia ke I yang turut menyeret Daulah Utsmaniyah kian membuat lemah negara tersebut. Hal itu kemudian dimanfaatkan oleh Inggris untuk menyerang Istanbul, dan menduduki Gallipoli. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kamal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915 M. Kamal Pasha, seorang agen Inggris keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika itu, akhirnya menjalankan agenda Inggris yakni melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan Khilafah Islam.

Pada tanggal 21 November 1923 terjadi perjanjian antara Inggris dan Turki. Dalam perjanjian tersebut Inggris mengajukan  syarat-syarat agar pasukannya dapat ditarik dari wilayah Turki sekaligus syarat untuk pengakuan kekuasaan Mustafa Kamal atas Turki, yang dikenal dengan “Persyaratan  Curzon”. 

Persyaratan tersebut diterima oleh Mustafa Kamal dan perjanjian tersebut ditandatangani tanggal 24 Juli 1923. Delapan bulan setelah itu, tepatnya tanggal 3 Maret 1924 M, Kamal Pasha mengumumkan pemecatan Khalifah, pembubaran sistem Khilafah, mengusir Khalifah ke luar negeri, dan menjauhkan Islam dari negara.

Faktor Penyebab

Runtuhnya Daulah Utsmaniyah secara umum  bisa dilihat dari dua faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal.

a. Faktor Internal

Secara internal, faktor-faktor yang memperlemah negara yang pada akhirnya menyebabkan hancurnya Daulah Islam, secara ringkas dapat dikelompokkan menjadi dua faktor: (1) Lemahnya pemahaman Islam dan (2) Buruknya penerapan Islam. (An-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islamiyyah).

 

Buruknya pemahaman terhadap Islam berakibat  para penguasa ketika itu mulai membuka diri terhadap demokrasi, yang didukung oleh fatwa-fatwa syaikh al-Islam yang penuh kontroversi. Bahkan, dengan dibentuknya Dewan Tanzimat tahun 1839 M, tsaqafah Barat di Dunia Islam semakin kokoh, termasuk setelah disusunnya beberapa undang-undang, seperti UU Acara Pidana (1840 M) dan UU Dagang (1850 M) yang bernuansa sekular.

 

Keadaan ini diperparah dengan dirumuskannya Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha untuk membatasi fungsi dan kewenangan Khalifah. Boleh dikatakan, saat itu sedikit demi sedikit telah terjadi sekularisasi terhadap Khilafah Islam.

 

Adapun kesalahan penerapan hukum Islam adalah banyak penyimpangan dalam pengangkatan khalifah, yang justru tak tersentuh oleh undang-undang. Akibatnya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaiman al-Qanuni, yang diangkat menjadi khalifah justru orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan atau lemah.

 

Kaum Muslim mulai memandang kehidupan dengan asas manfaat. Kemudian mereka mengambil sebagian sistem Barat untuk diterapkan dalam negara Utsmaniyah, lalu mereaktualisasi hukum riba dan membuka bank-bank. Langkah-langkah ini sampai pada kecerobohan mereka mengambil undang-undang Barat, yang akhirnya mengabaikan ketentuan-ketentuan syara’, dan menggantinya dengan undang-undang pidana Barat.

 

Selain masalah-masalah diatas, hal lain yang menyebabkan semakin lemahnya Daulah Ustmani saat itu adalah adanya pemberotakan dari Penguasa Saudi yakni Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Dan ini tidak terlepas dari rencana Barat –dalam hal ini Inggris- untuk menghancurkan Daulah Ustamani dari dalam.

 

Menurut Syekh Abdul Qadim Zallum ada empat cara yang digunakan Barat dalam menghancurkan Daulah Islam dari dalam, yaitu : pertama, menghembuskan paham nasionalisme. Kedua, mendorong gerakan separatisme. Ketiga, memprovokasi umat untuk memberontak terhadap Khilafah. Keempat, memberi dukungan senjata dan dana untuk melawan Khilafah. (Zallum, Kaifa Hudimat Al-Khilafah, hal. 13; Abdur Rauf Sinnu, An-Naz’at Al-Kiyaniyat al-Islamiyah fi ad-Daulah al-Utsmaniyah, hal. 91).

Penguasa Saudi dan Wahabi telah menyerang dan menduduki Kuwait tahun 1788, lalu menuju utara hingga mengepung Baghdad, menguasai Karbala dan kuburan Husein di sana untuk menghancurkan kuburan itu dan melarang orang menziarahinya. Pada tahun 1803 mereka menduduki Makkah dan tahun berikutnya (1804) berhasil menduduki Madinah dan merobohkan kubah-kubah besar yang menaungi kuburan Rasulullah SAW. Setelah menguasai Hijaz, mereka menuju ke utara (Syam) dan mendekati Hims. Mereka berhasil menguasai banyak wilayah di Siria hingga Halb (Aleppo). (Muwaffaq Bani Al- Marjih, Shahwah ar-Rajul Al-Maridh, hal. 285).

Menurut Zallum, serangan militer ini sebenarnya adalah aksi imperialis Inggris, karena sudah diketahui bahwa penguasa Saudi adalah antek-anek Inggris. Jadi, Inggris telah memanfatkan penguasa Saudi yang selanjutnya juga memanfaatkan gerakan Wahabi untuk memukul Khilafah dari dalam dan mengobarkan perang saudara antar mazhab dalam tubuh Khilafah.

Hanya saja, para pengikut gerakan Wahabi tidak begitu  menyadari kenyataan bahwa penguasa Saudi adalah antek Inggris. Mengapa? Karena menurut Zallum, hubungan yang terjadi bukanlah antara Inggris dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, melainkan antara Inggris dengan Abdul Aziz, lalu antara Inggris dengan anak Abdul Aziz, yaitu Saud bin Abdul Aziz. (Kaifa Hudimat Al-Khilafah, hal. 14).

b. Faktor Eksternal

Secara eksternal, negara-negara Eropa seperti Inggris, Perancis, dan Italia berkonspirasi untuk menghancurkan Khilafah Utsmaniyah. Negara-negara Eropa itu berkali-kali berkumpul dan bersidang membahas apa yang disebutnya Masalah Timur (al-mas’alah al-syarqiyyah, eastern question) dengan tujuan untuk membagi-bagi wilayah Khilafah. Meski tidak berhasil mencapai kata sepakat dalam pembagian ini, namun mereka sepakat bulat dalam satu hal, yaitu Khilafah harus dihancurkan. (El-Ibrahimy, Inggris dalam Pergolakan Timur Tengah, hal. 27).

 

Agar Khilafah hancur, negara-negara Eropa itu melakukan serangan politik (al-ghazwuz siyasi) dengan menggerogoti wilayah-wilayah Khilafah. Selain Rusia yang yang telah mencaplok wilayah Turkistan tahun 1884 dari wilayah Khilafah, Perancis sebelumnya telah mencaplok Syam (Ghaza, Ramalah, dan Yafa) tahun 1799. Perancis juga telah merampas Al-Jazair tahun 1830, Tunisia tahun 1881, dan Marakesh tahun 1912. Italia tak ketinggalan menduduki Tripoli (Libya) tahun 1911. Sementara Inggris menguasai Mesir tahun 1882 dan Sudan tahun 1898. (An-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islamiyyah, hal. 206-207).

 

Ambisi untuk menghancurkan Daulah Ustmani oleh Barat tidak terlepas dari dendam mereka yang berkaitan dengan Perang Salib yang dulu terjadi.  Beberapa abad setelah berakhirnya Perang Salib, kaum Muslim bangkit. Pada abad 15 M, kaum Muslim menyerang Barat sampai berhasil membebaskan Konstantinopel. Kemudian disusul berbagai pembebasan pada abad 16 M, yang merambah Eropa Selatan dan Timur, hingga berhasil membawa Islam ke negeri-negeri tersebut. Berjuta-juta bangsa Albania, Yugoslavia, Bulgaria, dan bangsa lainnya berbondong-bondong memeluk Islam. Hal inilah yang kian membuat Barat marah dan dendam kepada kaum Muslimin.

 

Permusuhan  salib terpendam dalam seluruh jiwa bangsa Barat, apalagi Eropa, khususnya Inggris. Permusuhan yang mengakar dan dendam yang sangat hina inilah yang menciptakan strategi jahannam untuk melenyapkan Islam dan kaum Muslimin. Permusuhan itu pula yang menyebabkan kehinaan kita di negeri kita sendiri dengan kehinaan yang memalukan. Ketika Lord Allenby berhasil membebaskan al-Quds dan memasukinya pada tahun 1917 M, dia berkata, “Hari ini, Perang Salib telah berakhir.” (An-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islamiyyah).

 

Mudahnya Barat dalam menghancurkan Khilafah sendiri tidak terlepas dari adanya   pemikiran Barat berupa dihembuskannya ide nasionalisme ditengah-tengah kaum   Muslimin. Apa hubungan antara nasionalisme dan kehancuran Khilafah? Menurut   Ahmad Zain dan Najah MA, paham nasionalisme diyakini merupakan penyebab   utama   runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Mengutip pakar sejarah Mahmud Syakir   dalam buku   Târîkh Islâm Dawlah Utsmaniyah, Najah menyebutkan bahwa sarana untuk   menghancurkan kekuatan pemerintahan Islam di Turki waktu itu adalah dengan   menghidupkan paham nasionalisme.

 

“Mungkin hal yang terpenting adalah kelompok yang bergerak untuk menyebarkan   paham   nasionalisme, mereka tidak mempunyai gerakan yang berarti untuk meruntuhkan   Daulah Islamiyah kecuali dengan "menyebarkan paham nasionalisme". Oleh karena itu, mereka   bekerja keras untuk mencapai tujuan tersebut. Ternyata paham   nasionalisme tersebut   merupakan unsur terpenting di dalam melemahkan kekuatan   Daulah Islamiyah, karena   umat Islam, dengan nasionalisme, akan tercerai-berai,   saling berselisih; masing-masing   ingin bergabung dengan suku dan kelompoknya,   ingin melepaskan diri dari kekuasaan Daulah. Cukuplah dengan gerakan untuk   memisahkan diri tersebut akan terkotak-kotaklah kekuatan umat. Dengan demikian,   Daulah akan melemah dan terputus   jaringannya dan akhirnya ambruk. Begitulah yang   terjadi.” (Mahmud Syakir, Târîkh   Islâm, Al-Maktab Islami, 1991 M, VIII/122).

 

Hal ini selaras dengan pendapat Syekh Abdul Qadim Zallum terkait cara Barat dalam menghancurkan daulah khilafah, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, yakni satu diantara 4 caranya adalah dengan menghembuskan paham nasionalisme ke dalam diri kaum Muslimin. Paham inilah yang berhasil melemahkan kekuatan kaum Muslimin. Oleh karena itu, agar kembali bisa menjadi kuat, Umat Islam harus kembali kepada pemahaman Islam yang benar, meninggalkan paham kufur dari Barat seperti Nasionalisme. 

Kembali memahami Islam dengan benar, memperbaiki penerapannya di dalam negeri, dan mengemban dakwahnya ke luar di dalam bingkai daulah khilafah rasyidah ‘ala minhajin nubuwwah, hingga dengannya kemudian tercipta peradaban Islam yang akan memancarkan keadilan kesejahteraan, serta menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. In sya Allah[].

Oleh : Adi Victoria (Penulis & Aktivis Dakwah)

Sumber: Al Waie Maret 2020

Posting Komentar

0 Komentar