Kewajiban Menegakkan Khilafah dalam Pandangan 4 Madzab


A. Pengertian Khilafah

Menurut Wahbah az-Zuhaili, ‘Khilafah, Imamah Kubra dan Imarah al-Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.’ (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881).

Menurut Dr. Mahmud al-Khalidi (1983), ‘Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah & mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.’ (Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226).

Karena merupakan istilah Islam, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Apalagi menegakkan Khilafah adalah wajib menurut syariah Islam.

Wajib itu terbagi menjadi 2 macam yaitu wajib syar’i dan wajib aqli. Wajib syar’i  adalah kewajiban yang jika tidak dilaksanakan maka akan berdosa. Menegakkan Khilafah adalah wajib syar’i sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji, dakwah, jihad dan lainnya. Sedangkan wajib aqli adalah kewajiban yang jika tidak dikerjakan akan menghasilkan sesuatu yang salah tapi tidak berdosa. Misalnya 2+2 = 4. Wajib dijawab 4. Jika dijawab 6 maka salah tapi tidak berdosa.

Khilafah merupakan ‘tâj al-furûd (mahkota kewajiban)’. Pasalnya, tanpa Khilafah—sebagaimana saat ini—sebagian besar syariah Islam di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, pemerintahan, politik, politik luar negeri, hukum/peradilan, dan lain sebagainya akan terabaikan.

B. Dalil-Dalil tentang Wajibnya Khilafah

Sebagai  sebuah kewajiban dalam Islam, Khilafah didasarkan sejumlah dalil syariah. Sebagaimana jumhur ulama, khususnya ulama Ahlussunnah wal jamaah, menyepakati empat dalil syariah yakni: (1) Al-Quran; (2) As-Sunnah; (3) Ijmak Sahabat; (4) Qiyas Syar’iyyah.

Imam Syafii menyatakan bahwa Seseorang tidak boleh menyatakan selama-lamanya suatu perkara itu halal dan haram kecuali didasarkan pada ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah informasi dari AlQuran, as-Sunnah, Ijmak atau Qiyas.’ (Asy-Syafii, Ar-Risâlah, hlm. 39).

Imam al-Ghazali menyatakan bahwa Keseluruhan dalil-dalil syariah merujuk pada ragam ungkapan yang tercantum dalam Al-Kitab (Al-Quran), As-Sunnah (al-Hadis), Ijmak & Istinbat (Qiyas).’  (Al-Ghazali, Al-Mustashfâ, 2/273).

1. Dalil Alquran

Dalil-dalil al-Quran antara lain QS an-Nisa` (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dan lain lain. (Ad-Dumaji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).

Allah SWT berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اَطِيْـعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْـعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْ ۚ  فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْـتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَـوْمِ الْاٰخِرِ  ۗ  ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 59)

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :

وَاَنْزَلْنَاۤ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَـقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ الْحَـقِّ ۗ  لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا  ۗ  وَلَوْ شَآءَ اللّٰهُ لَجَـعَلَـكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰـكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَاۤ اٰتٰٮكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَـيْـرٰتِ ۗ  اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ

"Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan,"
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 48)

Selain itu Allah SWT juga berfirman:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰٓئِكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً  ۗ  قَالُوْۤا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَآءَ ۚ  وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَـكَ ۗ  قَالَ اِنِّيْۤ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu? Dia berfirman, Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 30)

Al-Qurtubi menegaskan, ‘Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) tersebut di kalangan umat dan para imam mazhab; kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli terhadap syariah.) Dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.’
(Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264).

Al-Asham ini dari golongan mu’tazillah. Dia tidak mewajibkan tetapi hanya membolehkan (mubah).

Yang membolehkan saja dijuluki Al-Asham (budeg), apalagi yang melarang dan menolaknya. Pantasnya diberi julukan apa?

2. Dalil as-Sunnah.

Di antaranya sabda Rasulullah saw.: ‘Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.’ (HR Muslim).

Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib. (Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).

Lebih dari itu, Rasulullah saw. menegaskan bahwa imam/khalifah atas kaum Muslim sedunia tidak boleh berbilang : ‘Jika dibaiat dua orang khalifah maka perangilah yang terakhir dari keduanya.’ (HR Muslim).

Berkaitan hadis itu, Imam an-Nawawi berkomentar, ‘Jika dibaiat seorang khalifah setelah khalifah (sebelumnya), maka baiat untuk khalifah pertama sah sehingga wajib dipenuhi, sementara baiat untuk ‘khalifah’ kedua batal sehingga haram dipenuhi. Inilah pendapat yang benar menurut jumhur ulama.’ (An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahîh Muslim, 12/231).

3. Dalil Ijmak Sahabat.

Kedudukan Ijmak Sahabat sebagai dalil syariah—setelah al-Quran & as-Sunnah—sangatlah kuat. Apalagi menurut Imam al-Ghazali, Ijmak Sahabat tak terkena naskh (penghapusan)
(Al-Ghazali, Al-Mustashfâ, 1/14).

Ijmak Sahabat jelas tak boleh diabaikan. Imam as-Sarkhashi menegaskan bahwa Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar2 telah membatalkan fondasi agama ini. Karena itu orang yang mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi agama ini. (Ash-Sarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, 1/296).

Karena itu pula, Ijmak Sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan Khilafah tidak layak diabaikan seolah-olah tidak pernah ada, atau dicampakkan seakan tidak berharga sama sekali.
Mengabaikan Ijma’ sahabat tentang kewajiban khilafah —menurut Imam as-Sarkhasi—sama saja dengan menghancurkan fondasi agama ini.

Imam al-Haitami menegaskan: Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan para sahabat menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting.

Faktanya, para sahabat lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.’ (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).

Lebih dari itu, menurut Syaikh ad-Dumaji, kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan pada kaidah syariah berikut : Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya. Sudah diketahui bahwa banyak kewajiban syariah yang tak dapat dilaksanakan oleh orang per orang karena ketiadaan khilafah, seperti kewajiban melaksanakan hudûd, jihad, memungut dan membagikan zakat, dll. Pelaksanaan semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah) Islam. Kekuasaan itu tiada lain adalah Khilafah. Kaidah syariah ‘selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.’ juga merupakan dalil untuk menegakkan Khilafah. (Syaikh ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).

4. Kesepakatan Imam Madzab

Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menegaskan bahwa Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib’. (Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, 5/416).

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menegaskan, ‘Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, 12/205).

Para ulama muta’akhirîn juga menyatakan wajibnya khilafah (Lihat, misalnya: Syaikh Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124;

Pendapat ulama terdahulu terkait khilafah juga diamini ulama muta’akhirîn Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir), Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248).

Ulama Nusantara, Sulaiman Rasyid, dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat terkenal berjudul Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah.
Bahkan bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air.

Berdasarkan paparan singkat di atas, masih adakah yang berani menolak Khilafah sebagai ajaran Islam? Jika ada, semoga saja ia berani pula bertanggung jawab di hadapan Allah SWT kelak.

Wallahu a’lam

* Disampaikan oleh Ust Azizi Fathoni dalam acara Ngaji Bareng Gus Nur di Surabaya pada tanggal 31 Oktober 2019 dan disajikan kembali oleh Achmad Mu’it (Analis Politik Islam)
* Ust Azizi sudah membuat kurang lebih 530 slide untuk menunjukkan kitab kitab asli yang membahas tentang Khilafah. Karena waktunya terbatas dikompres menjadi sekitar 40 slide.

Posting Komentar

0 Komentar