Menyelisik "Gaya Aniesian" dalam Pengambilan Keputusan Berbasis Kuadran dan Skala Prioritas Terbalik


TintaSiyasi.com -- Pada beberapa kesempatan saya menyimak paparan Bacapres Anies Rasyid Baswedan (ARB) dalam menanggapi berbagai pertanyaan dan pernyataan warga terkait dengan model, pola pengambilan kebijakan atau keputusan ketika ARB menjadi memimpin dalam pemerintahan. 

Berdasarkan data dan track recordnya, ARB berani mengajukan model baru yang saya nilai konstruktif dalam hal pengambilan kebijakan publik (public policy), yakni model kuadran dan skala prioritas terbalik. 

Menurut ARB model kuadran dalam pengambilan kebijakan dalam pemerintahan dibagi menjadi dua lini (garis), yakni lini vertikal berupa nilai benar dan salah, dan lini horizontal berupa nilai baik dan buruk. Kedua lini lalu disilangkan pada titik potong di pertengahan lini sehingga terbentuklah empat kuadran dalam satu bidang. Empat kuadran tersebut adalah:

Pertama. Kuadran I (Benar dan Baik);
Kedua. Kuadran II (Benar dan Buruk);
Ketiga. Kuadran III (Salah dan Buruk) dan
Keempat. Kuadran IV (Salah dan Baik).

Menurut ARB, yang paling ideal memang kebijakan pemerintah itu benar (sesuai aturan) juga baik demi kepentingan semua pihak. Itu dapat disebut kebijakan ideal. Ketika yang ideal tidak dapat dilakukan, maka pejabat dapat melakukan kebijakan yang salah tetapi baik. 

ARB memberikan contoh, misal ditemui Jalan Sudirman itu one way traffic, namun ketika itu ditemui suatu peristiwa ada orang sakit mendadak dan di ujung jalan Sudirman secara berlawanan arah ada Rumah Sakit. 

Kalau mengikuti alur jalan one way, maka kecil kemungkinan nyawa pasien dapat diselamatkan. Maka, dalam keadaan tersebut dapat diambil kebijakan melawan arus demi menyelamatkan jiwa seorang manusia, tentu saja harus pula dilakukan secara hati-hati (precautionary principle). Ini yang disebut diskresi. Cicero mengatakan: "salus populi suprema lex esto" atau hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat, kesejahteraan rakyat.

Pengambilan kebijakan di kuadran ke II (Benar tapi buruk) dan ke III (Salah dan Buruk) sebaiknya dihindari. Pengambilan kebijakan Benar tapi buruk itu dapat dikatakan kebijakan yang represif. 

Kebijakan represif seringkali tidak menyelesaikan permasalahan melainkan dapat menimbulkan problem baru dalam penyelenggaraan pemerintahan, meskipun disadari bahwa pada titik tertentu kebijakan represif dapat pula dilakukan untuk mendisiplinkan warga atau pun para pihak atau pula untuk menimbulkan efek jera dalam penegakan hukum. 

Adapun pengambilan kebijakan yang pasti harus dihindari adalah kuadran III (salah dan buruk). Dalam hal ini potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sangat besar. Kebijakan di kuadran ini sarat dengan tindakan manipulatif, kolutif, nepotis, vested interest serta korup.

Di samping model kuadran yang ditawarkan ARB, masih ada satu lagi model komplementer dari model kuadran tadi, yakni skala prioritas terbalik. Pengambilan kebijakan oleh pejabat harus didasarkan pada skala prioritas ini. 

Meskipun negara ini merupakan negara hukum di mana segala sesuatu penyelenggaraan negara mesti dibingkai oleh peraturan, namun di mata ARB, pengambilan kebijakan tersebut tidak harus mengutamakan dasar peraturan, bahkan oleh ARB peraturan ditempatkan pada posisi terakhir pertimbangannya. Secara lengkap, berurutan ada 4 skala prioritas, yakni:

Pertama: Keadilan (sosial)
Kedua: Kepentingan Umum
Ketiga: Akal Sehat atau Science
Keempat: Peraturan

Berdasar skala prioritas ini, rekam jejak ARB tampak memenuhi pola pengambilan keputusan dengan mengutamakan lebih dahulu apakah kebijakannya itu memenuhi dan mencerminkan nilai keadilan sosial (bukan keadilan individual, atau pun kelompok tertentu). 

Lalu prinsip ini terhubung dengan skala berikutnya, kebijakan itu harus mengutamakan kepentingan umum bukan kepenting perseorangan atau pun kelompok tertentu. Selanjutnya adalah skala ketiga berupa pertimbangan akal sehat atau science. 

Kebijakan apa pun harus dapat dirunut dengan penalaran yang benar sesuai dengan akal sehat dan prinsip-prinsip ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Soal AMDAL misalnya, merupakan dokumen kajian ilmiah yang harus dilakukan dengan penuh kejujuran, tidak manipulatif, objektif dan secara nalar adalah benar. 

Skala prioritas terakhir, menurut ARB barulah pertimbangan peraturannya. Hal ini tidak berarti ARB berniat melakukan pelanggaran hukum sejak awal, namun justru pada akhirnya sebaliknya. Ketika peraturan hukum tidak lagi bersesuaian dengan keadilan, kepentungan umum dan akal sehat, maka peraturan hukum dapat dilanggar atau disimpangi untuk waktu dan keadaan tertentu. 

Pada model kuadran, kebijakan dengan skala ini disebut diskresi tadi. Kalau di dalam proses pencarian keadilan, Gustav Radbruch justru mengatakan: "where statutory law is incompatible with justice requairment...statutory law must be disregarded by a jugde" (ketika peraturan hukum tidak bersesuaian dengan pencarian keadilan, maka peraturan hukum wajib diabaikan oleh hakim (penerap peraturan).

Saya tidak berhak menilai salah dan benar model pengambilan gaya Aniesian ini, namun sebagai sebuah wacana yang telah terbukti pada pengalaman (track record) ARB dalam menahkodai DKI Jakarta, saya kira model itu layak untuk dipertimbangkan oleh para pejabat pengambil kebijakan publik. 

Tampaknya benar, bahwa seorang calon pemimpin harus menjadi "pemimpi" dengan konsep dan gagasan yang benar dan dapat bahkan telah dilakoninya. Dan akhirnya, seorang pemimpin juga harus mempunyai prinsip dalam menjalankan hukum sebagai mana dikatakan oleh Thomas Aquinas bahwa: "lex injusta non est lex", hukum yang tidak adil bukanlah hukum.

Tabik...!
Semarang, Senin: 2 Oktober 2023


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat 

Posting Komentar

0 Komentar