Mahasiswa Terjerat Pinjol: Gaya Hidup Hedonis dalam Asuhan Kapitalisme Sekularistik


TintaSiyasi.com - Meski bikin "benjol," mahasiswa tak kapok memiliki pinjol (pinjaman online). Laporan statistik Fintech Lending November 2022 yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 3 Januari 2023 memperlihatkan, Generasi Z dan milenial mendominasi kredit macet pada pinjol fintech lending. Tunggakan di atas 90 hari pada debitur usia 19-34 tahun mencapai Rp766,40 miliar (53.9% dari total kredit macet fintech lending). Adapun nasabah di bawah 19 tahun mencatatkan kredit macet senilai Rp1,71 miliar.

Solopos.com saat menyelisik statistik tersebut pada mahasiswa di Kota Solo, menemukan rerata peminjam memiliki pinjol dengan tenor enam hingga delapan kali bayar pada limit mencapai Rp2 juta-Rp3 juta. Kebanyakan demi memenuhi gaya hidup seperti jalan-jalan, jajan, membeli barang seperti sepatu, dan seterusnya (solopos.com, 15/1/2023).

Terbaru, berdasarkan hasil survei internal kampus secara acak, ditemukan 58 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) terjerat pinjol demi memenuhi gaya hidup. Mayoritas sebenarnya mampu secara finansial, buktinya tak ada yang kesulitan bayar kuliah. Dana pinjaman untuk ganti HP atau motor (cnnindonesia.com, 12/9/2023).

Ironis. Mahasiswa sebagai kaum intelektual nyatanya banyak terjerat pinjol. Miskin literasi keuangan, mudahnya proses pinjol, dan pola konsumerisme adalah kelindan masuknya mereka dalam pusaran pinjol. Sebuah potret buram mahasiswa di negeri ini, di tengah pertarungan meraih fungsi idealnya sebagai leader of change dan godaan gaya hidup hedonis materialistik.

Mengapa kaum intelektual mahasiswa terjerat pinjol? Bagaimana dampak jeratan pinjol dalam kehidupan kemahasiswaan? Bagaimana strategi bagi mahasiswa untuk dapat berlepas diri dari jeratan pinjol?


Penyebab Mahasiswa Terjerat Pinjol

Tidak dapat dipungkiri, kemajuan di bidang teknologi informasi telah meningkatkan akses masyarakat terhadap berbagai produk layanan keuangan. Salah satunya adalah pinjol. Dengan pinjol, masyarakat dapat meminjam tanpa perlu bertatap muka secara fisik.

Di satu sisi, ini memudahkan masyarakat dalam memenuhi 'kebutuhan' pinjamannya. Tetapi di sisi lain, ada mudharat mengancam. Tak hanya berbunga tinggi hingga mencapai 20-25 persen. Dari aspek agama (Islam), pinjol jelas haram karena mengandung riba. Berikut konsekuensi lain yang menyertai.  

Meski banyak kasus buruk terjadi akibat kredit macet seperti didatangi debt collector, diteror, dihujat dengan kalimat kotor, hingga ancaman data pribadi dibuka ke orang lain, namun tak menyurutkan masyarakat untuk memiliki pinjol. Hal ini pun terjadi di kalangan mahasiswa. Ada beberapa faktor penyebab mahasiswa terjerat pinjol, yaitu:

Pertama, kurangnya literasi keuangan digital. Secara umum, terjadi kesenjangan antara meningkatnya aktivitas masyarakat mengakses produk layanan keuangan dengan literasi keuangan. Hasil Survei Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 yang dirilis OJK menunjukkan, indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 49,68 persen dan inklusi keuangan 85,10 persen. Sementara hasil SNLIK 2019 mencatat indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 38,03 persen dan inklusi keuangan 76,19 persen.

Hasil SNLIK di atas menunjukkan, indeks literasi keuangan masyarakat di bawah indeks literasi inklusi keuangan yang terpaut cukup jauh. Ini menjadi penyebab banyaknya masyarakat bermasalah ketika menggunakan produk layanan keuangan.

Kedua, minim ilmu muamalah syar'i. Jerat pinjol mahasiswa jelas akibat mereka minim literasi sistem ekonomi Islam. Mereka mungkin tidak paham ada riba. Pun minim pola sikap islami yang mengharuskan sikap wara' (berhati-hati) dalam melaksanakan amal perbuatan, terlebih investasi digital dan pinjol adalah hal baru bagi mereka. Sementara dalam Islam, ilmu harus ada sebelum amal. 

Ketiga, kemudahan mendapatkan pinjol. Dibandingkan dengan bank konvensional, pinjol lebih mudah dan cepat diperoleh. Proses pendaftaran, verifikasi, hingga proses penyetujuan hanya 10 menit. Itu pun hanya bermodal KTP dan kontak HP. Selain itu, model penawarannya menggiurkan dan kini merambah rumah indekos hingga kafe-kafe.

Keempat, gaya hidup hedonis nan materialistik. Dari kasus yang ada, nampak bahwa banyaknya mahasiswa yang memiliki pinjol, bukan karena terdesak kebutuhan atau untuk membayar uang kuliah, tapi sekadar memenuhi gaya hidup. Untuk ganti HP hingga motor, jajan, membeli barang seperti sepatu, jalan-jalan, dan lain-lain. 

Geliat media sosial dengan segala tren barang dan citra kemewahan, lingkungan pergaulan have a fun, membujuknya untuk mengikuti. Meski sebenarnya kondisi ekonomi tak mencukupi. Akhirnya besar pasak daripada tiang. Dan untuk menutupinya, pinjol jadi solusi instan.

Inilah beberapa penyebab banyak mahasiswa terjerat pinjol. Di tengah penerapan sistem kapitalisme sekularistik yang mengajarkan hidup sekadar mengejar kekayaan material dan memaknai bahagia dengan banyaknya harta, maka orang berlomba meraihnya tak peduli halal ataukah haram caranya. Termasuk para mahasiswa yang ingin meraih kenikmatan dunia secara mudah dan cepat melalui pinjol.


Dampak Jeratan Pinjol bagi Kehidupan Kemahasiswaan

Meledaknya fenomena pinjol bukan hal mengherankan di tengah masyarakat berpola konsumtif dan 'matre' saat ini. Namun jasa pinjol yang menawarkan sejumlah kemudahan dan kecepatan, cenderung menjebak masyarakat awam atau mahasiswa yang tidak memiliki literasi finansial. 

Kini, pinjol banyak meresahkan masyarakat bahkan sudah mengarah pada penipuan. Selain sistem bunga tinggi, cara penagihannya pun cenderung tidak etis alias dengan cara intimidasi dan paksaan. Ini berbahaya dan bisa berdampak pada aspek akademik mahasiswa.

Berikut dampak negatif jeratan pinjol bagi kehidupan kemahasiswaan: 

Pertama, merusak reputasi khususnya terkait pengelolaan keuangan. Selain kehilangan kepercayaan orang tua, mahasiswa yang gagal bayar pinjol misalnya, akan memiliki reputasi buruk. Ini dapat mempengaruhi peluangnya mendapatkan beasiswa atau bantuan keuangan lainnya di masa depan, serta pengakuan di dunia akademik dan profesional.

Kedua, gangguan mental dan emosional. Terjerat utang apalagi gagal bayar, dapat menyebabkan gangguan mental dan emosional pada mahasiswa. Apalagi bila ia mendapatkan teror dan ancaman dari debt collector. Stres dan kecemasan soal keuangan dapat mempengaruhi kesehatan mental dan kinerja akademik. Proses belajar terganggu hingga tak memperoleh capaian (nilai/kelulusan) secara baik.

Ketiga, siklus utang berkepanjangan. Ketergantungan pada pinjol untuk memenuhi kebutuhan keuangan dapat menyebabkan mahasiswa terjebak dalam hutang yang sulit untuk dilunasi. Ada kasus mahasiswa yang kesulitan mengangsur hingga uang bulanan dari orang tua habis untuk membayar cicilan tersebut. Hingga ia meminjam di enam platform aplikasi pinjol yang berbeda demi gali lubang tutup lubang.

Keempat, risiko data pribadi. Beberapa pinjol mungkin meminta data pribadi mahasiswa sebagai bagian dari proses pendaftaran. Risiko data pribadi yang tidak terlindungi dapat meningkatkan potensi kejahatan siber dan penyalahgunaan informasi pribadi. Hal ini akan menjadi permasalahan hidup yang bisa mempengaruhi proses belajar.

Kelima, kian terjebak pada gaya hidup hedonis dan materialistik. Kemudahan mendapatkan utang via pinjol lebih memuluskannya mendapatkan keinginan berupa kesenangan dan benda. Bila terjadi terus-menerus, hal ini akan membentuk pola hidup instan dan hura-hura.

Keenam, melalaikan kewajiban sebagai mahasiswa. Jebakan gaya hidup hedonis yang mudah didapat lewat pinjol akan membuatnya lalai dari tugas sebagai mahasiswa. Tak sekadar kuliah, belajar, dan menyelesaikan berbagai tugas. Mahasiswa juga mesti berperan besar dalam perubahan masyarakat yang lebih baik (islami). Mesti peduli sekitar dan beraktivitas yang memberi manfaat pada sesama. Bila tersibukkan pada hura-hura, bagaimana ia mampu melakukan tugas dan fungsi idealnya?

Ketujuh, terbiasa melakukan kemaksiatan. Dalam Islam, utang piutang yang mengandung riba itu hukumnya haram. Dosanya menimpa kepada pihak-pihak yang terkait dalam akad tersebut, termasuk pemberi dan penerima utang riba. Bila pinjol jadi pilihan bahkan terus-menerus dilakukan, ini akan membuat mahasiswa biasa saja melakukan kemaksiatan. Apalagi pelaku di sekitarnya banyak.

Demikianlah dampak jeratan pinjol bagi kehidupan kemahasiswaan. Meskipun seolah-olah membantu dalam memenuhi kebutuhan atau keinginan, tapi dampak negatifnya banyak. Sehingga sebisa mungkin mahasiswa terhindar dari godaan pinjol baik legal maupun ilegal.


Strategi bagi Mahasiswa Berlepas Diri dari Pinjol

Sungguh, jebakan pinjol akan membuat masa depan generasi muda makin suram. TVOne bahkan menyebutkan, sekali kenal pinjol, bisa sengsara sampai mati. Apalagi utang ini hanya untuk memenuhi gaya hidup ala kapitalisme. 

Menimbang berbagai dampak negatifnya, perlu digagas strategi sinergis agar mahasiswa bisa berlepas diri dari pinjol. Strategi tersebut yaitu:

Pertama, individu mahasiswa. Hendaknya menguasai literasi keuangan digital dan ilmu muamalah syar'i sehingga paham seluk-beluk pinjol, dampak buruknya, serta pandangan Islam terhadap pinjol. Selain itu, menimpa diri untuk menjadi pribadi qona'ah agar tidak terjebak gelombang gaya hidup hedonis materialistik ala kapitalis saat ini.

Kedua, orang tua (keluarga). Membina ananda agar memiliki kepribadian Islam mumpuni sehingga tidak mudah terseret arus zaman. Apalagi di tengah arus teknologi informasi (media sosial) yang meniscayakan pengaruh gaya hidup global yang kapitalistik. Bila mahasiswa tidak memiliki ketangguhan kepribadian akan membebeknya hingga berujung pinjol demi memenuhi 'tuntutan' gaya hidup hedonis tersebut. Selain itu, orang tua membuka ruang dialog dengan anak agar tahu kebutuhan dan keinginannya diukurkan dengan kemampuan finansial keluarga. Jangan sampai ananda memiliki pinjol di luar sepengetahuan orang tua dan tetiba orang tua yang harus melunasi saat tagihan datang.

Ketiga, kampus. Agar mahasiswa tidak menjadi korban, kampus mesti memberikan edukasi tentang literasi keuangan (digital) yang baik dan benar kepada mahasiswa. Dan berpesan agar waspada dengan tawaran pinjol yang menggiurkan. Sekalipun pinjol legal dan bunga rendah, mahasiswa harus paham itu riba dan dilarang agama. Pun mengingatkan agar mahasiswa fokus pada fungsi idealnya sebagai agen bahkan pemimpin perubahan. 

Keempat, media. Dengan sifat penyebarannya yang massal, media berperan penting dalam memberikan edukasi yang benar tentang pinjol kepada publik. Terlebih di era digital saat ini, mahasiswa pasti mengakses media.

Kelima, pemerintah. Membina masyarakat agar menjadi pribadi produktif, bukan komsumtif. Agar konsumerisme tidak menjadi gaya hidup masyarakat. Selain itu, menindak tegas lembaga keuangan yang mengandung unsur riba. Apalagi yang merugikan bahkan mengancam keselamatan masyarakat. 

Demikian beberapa strategi sinergis agar mahasiswa terhindar dari jeratan pinjol, tidak bergaya hidup hedonis, dan kembali pada fungsinya sebagai agen dan pemimpin perubahan di masyarakat. Namun dalam kungkungan sistem kapitalisme sekularistik sebagai akar penyebab maraknya pinjol itu sendiri, keluarga dan pribadi mahasiswa harus berupaya keras meraih keidealan ini. 

Realitasnya, pinjol (legal) justru dilindungi negara. Bila menghendaki solusi tuntas lepas dari pinjol, lepaskan pula sistem kapitalisme sekularistik. Dan menggantinya dengan sistem yang melindungi fitrah manusia yaitu sistem Islam dengan konsep ekonomi bersumber dari wahyu Allah SWT.


Penutup

Penyebab mahasiswa terjerat pinjol antara lain; kurangnya literasi keuangan digital, minim ilmu muamalah syar'i, kemudahan mendapatkan pinjol, serta gaya hidup hedonis nan materialistik. 

Dampak jeratan pinjol bagi kehidupan kemahasiswaan yaitu; merusak reputasi mahasiswa khususnya terkait pengelolaan keuangan, gangguan mental dan emosional, siklus utang berkepanjangan, risiko data pribadi, kian terjebak gaya hidup hedonis materialistik, melalaikan kewajiban sebagai mahasiswa, serta terbiasa melakukan kemaksiatan. 

Strategi bagi mahasiswa berlepas diri dari pinjol adalah; individu mahasiswa menguasai literasi keuangan digital dan ilmu muamalah syar'i, keluarga membina ananda agar memiliki kepribadian Islam mumpuni, kampus. memberikan edukasi literasi keuangan (digital) yang baik dan benar kepada mahasiswa. Selain itu, media juga berperan penting dalam memberikan edukasi yang benar tentang pinjol kepada publik. Pun pemerintah membina masyarakat agar konsumerisme tidak menjadi gaya hidup masyarakat, serta menindak tegas lembaga keuangan ribawi. []


#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H, M. Hum dan Puspita Satyawati, S.Sos.

Posting Komentar

0 Komentar