Road to 2024 (26): Bu Nyai, Ning, dan Santriwati, Awas Hati-Hati!


TintaSiyasi.com -- Bakal Capres-cawapres pun tak melewatkan kalangan perempuan untuk pemenangan. Begitu pun politisi yang ingin jadi anggota dewan atau duduk di kursi kekuasaan. Terlebih mendekati perempuan berpengaruh yang memiliki pengikut. Seperti bu Nyai yang memiliki ning dan santriwati. Politik memang bukan semata permainan catur laki-laki. Perempuan juga turut menentukan hitam-putih siapa yang akan terpilih. Tak bisa diremehkan suara perempuan dan aktifitasnya jauh lebih militan.

Politik di Indonesia pun memunculkan gerakan ‘emak-emak militan’. Sebuah gerakan yang dilandasi emosional untuk menuntut perubahan. Kaum perempuan selama ini yang paling merasakan dampak dari kebijakan politik. Apalagi kunci rumah tangga dan urusan dapur ada di tangannya. Jika BBM dan LPG naik, emak pun panik. Tekanan ekonomi yang begitu sulit, emak pun berfikir kreatif. Biaya sekolah kian mahal, emak rela bekerja tambahan. Minyak goreng langka, emak tak kehilangan cara untuk mendapatkannya. 

Siapa pun yang bermain dalam kontestasi politik, akan mendekati bu Nyai. Harapannya pengikut, ning, dan santriwati akan juga turut memilih. Pendekatan lebih kepada jiwa keperempuanan, isu-isu kesejahteraan, hingga isu perubahan Indonesia ke depan. Hiruk pikuk politik dengan kehadiran perempuan berpengaruh menjadikan pertarungan sengit di kalangan relawan. Karenanya, menarik untuk melihat sepak terjang bu Nyai dan santriwati. Jika tidak hati-hati, maka banyak hati yang akan tersakiti.

‘Sabda’ Bu Nyai

Sebuntan ‘Nyai’ identik dengan kalangan pesantren. Merebut hati bu Nyai sama seperti merebut hati ibu pertiwi. Isu-isu keperempuanan dan ekonomi tampaknya menjadi angin segar bagi politisi untuk berjanji pada bu Nyai. Tak mengherankan, sebagian bu Nyai mendukung sosok yang akan maju menjadi pemimpin atau pejabat akan memberikan ‘sabda’ kuat. Sebuah sabda yang menjadi daya tarik dan titah kepada santriwati dan pengikutnya.

Semisal alasan mendukung karena seseorang itu pro rakyat, dekat dengan kalangan pesantren, tulus mengabdi kepada bangsa, dan menjadi idola. Alasan ini wajar sebagai bentuk pengindraan dekat terhadap sosok. Skala politiknya masih pada tataran person, belum menyentuh pada esensi warna politik dan kebijakan seperti apa ke depannya. 

Sabda suci bu Nyai akan memberikan legitimasi publik. Pengikutnya bisa mudah tertarik. Manut bu Nyai menjadi sabda manjur untuk memuluskan seseorang untuk bisa menang. Jika diamati sedemikian rupa, mengapa sabda bu Nyai muncul dalam kontestasi politik? Berikut analisisnya:

Pertama, bu Nyai memiliki kedudukan istimewa sebagai keturunan ulama’. Masyarakat Indonesia memberikan penghormatan dan takdzim dari garis keturunan. Ulama masih menjadi kunci perubahan sosial di Indonesia. Sebenarnya, kunci inilah yang hendak diraih politisi untuk merebut suara dan hati perempuan. 

Melalui bu Nyai lahirlah gus dan ning. Penerus keturunan yang sambung menyambung untuk melanjutkan kehidupan pesantren dan pengelolaannya. Masyarakat Indonesia kepada ulama sudah menaruh pasrah terkait beragam keputusan. Hal ini karena ulama yang memegang kunci agama di tengah-tengah beragama sekadar taklid buta.

Kedua, bu Nyai secara komunikasi politik ucapannya lebih didengar. Pasalnya, perempuan mudah ‘getok tular’ kepada perempuan lainnya. Gerakan bisik-bisik tetangga akan mudah viral melebihi apa yang terjadi di media sosial. Anggapan ‘bu Nyai’ sebagai ibu bagi umat sudah melekat. Melawan dawuhnya bisa saja kualat.

Politisi tampaknya cerdik memanfaatkan gaya komunikasi bu Nyai. Melalui relawan yang mengenal medan kepesantrenan dibuatlah skenario untuk meraup dukungan dan pemenangan. Begitu pula bu Nyai akan berjejaring dengan pesantren lainnya. Alhasil, model referal akan memudahkan marketing politik dengan menekan biaya yang dibilang mahal.

Ketiga, bu Nyai memang jarang yang duduk di kursi kekuasaan, namun banyak pejabat dan politisi mengambil bu Nyai sebagai guru spiritual. Segala langkah dalam mengambil keputusan akan coba dikonsultasikan. Meski terkadang bu Nyai tidak dilibatkan dalam masukan terkait pemerintahan. Karena politik demokrasi telah memisahkan peran ulama dengan umara.

Peranan ulama sekadar menjadi stempel di awal jika politisi tidak anti ulama, dekat dengan ulama’, dan dekat dengan pemimpin umat. Ditambah lagi doa ulama’ dianggap manjur dan membawa berkah untuk kemenangan dalam perebutan jabatan. Imbal baliknya bisa berupa materi atau keleluasaan pengaruh yang diback up ulama.

Keempat, bu Nyai dalam substuruktural politik menjadi bagian tim sukses. Sukses tidaknya politik di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh bu Nyai. Memang belum begitu massif edukasi di kalangan bu nyai dan perempuan perihal politik. Ini bukan bicara soal berapa persen keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia. Lebih dari itu, peranan politiknya masih dalam lingkup yang kecil. Bu Nyai bisa jadi soko guru dalam menggerakkan perempuan yang telah memiliki kecerdasan politik. perubahan bisa jadi dimotori kaum perempuan, jika kaum laki-laki dianggap lamban dan tak berdaya.

Alhasil, Bu Nyai akan menjadi sosok penting. Karena begitu pentingnya politisi demokrasi tak ingin kehilangan ceruk suara di kalangan agamawan dan pesantren. Tinggal menghitung saja, berapa jumlah pesantren dengan ribuan santrinya? Kira-kara berapa kalkulator politik untuk bisa menang? Itu semuanya bisa direncanakan dengan memegang pucuk pimpinan pesantren.

Awas dan Hati-Hati!

Sekiranya bu Nyai, ning, dan santriwati mau menyadari kembali akan keagungan Islam, niscaya akan ditemukan ‘siyasah Islam’ dalam kitab-kitab kuning. Politik Islam menjadi barang asing di pesantren, mengingat kajian kitab fokus pada ilmu alat, fiqh ibadah, dan tambahan bekal kehidupan. Minim sekali bahasan politik Islam. Karenanya, kerangka yang ada di benak kalangan pesantren, belum menyentuh bagaimana hudud dan jinayat bisa diterapkan dalam kehidupan. Hal ini juga diperparah dengan upaya dari luar yang memisahkan Islam dari kehidupan umatnya (sekularisasi dan liberalisasi politik).

Politik Islam lebih dikenal sebagai bentuk pengurusan umat dengan syariah Islam kaffah. Urusan berbangsa dan bernegara juga diatur dalam Islam. Jika kalangan pesantren menguasai politik Islam, kemudian menjadi pejabat maka selayaknya yang dibawa adalah syariah Islam. Sebuah perjuangan agung mewujudkan kehidupan penuh rahmat dan berkah.

Boleh kagum dengan sosok seseorang, namun jangan sampai lupa jika mengatur kenegaraan dibutuhkan sistem yang akan membawa perubahan hakiki. Kalau orangnya beda, tapi sistemnya sama perubahan sekadar ganti wajah. Sedangkan problem negara ini begitu kompleks meliputi orangnya dan sistemnya. Kondisi ini perlu disadari oleh bu Nyai, Ning, dan santriwati.

Sebagai contoh, utang luar negeri yang kian menumpuk, korupsi yang membudaya, hukum yang tebang pilih, hingga tata sosial yang semrawut tiada aturan. Belum lagi bicara ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Beras mahal, BBM mahal, pajak naik, hingga jutaan masyarakat masih hidup di bawah garis kemiskinan. Fokus inilah yang selayaknya, bu Nyai, Ning, dan santriwati bisa memberikan masukan dan solusi keluar dari jurang masalah rakyat Indonesia.

Karenanya, hati-hati jika sekedar fokus pada sosok tanpa memperhatikan sistem. Rasa kecewa, sakit hati, dan marah-marah bisa terjadi di kemudian hari. Pilpres 2019 sudah memberikan pelajaran, mati-matian didukung umat Islam, ujungnya umat ditinggalkan dan merasa dirugikan ketika didukung. Anomali politisi yang ketika pemilu akan dihelat, mereka datang ke bu Nyai dengan cepat. Sementara ketika sudah jadi, mereka lamat-lamat meninggalkan tanpa memberi alamat jelas.

Sudah saatnya, bu Nyai, Ning, dan santriwati menyadari peran strategisnya. Gali kembali siyasah Islam untuk diperjuangkan. Inilah sebenarnya titah dari Allah dan Rasulullah yang selalu diagungkan. Ketika umatnya yang memahi Islam mau berjuang mewujudkan politik Islam yang akan menjaga agama dan mengurusi umatnya, maka ini jadi amal jariyah. Tampil ke depan membawa perubahan ke arah Islam kunci sukses bu Nyai menyelamatkan umat dan rakyat. Nuwun sewu nggih bu Nyai, Ning, dan Santriwati![]

Oleh. Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar