Proyek Rempang Eco-city Lanjut: Pemerintah Hanya Bela Investor?


TintaSiyasi.com -- Sungguh aneh bukan kepalang, negara rela meminta aparat 'memiting' rakyatnya sendiri demi memuluskan proyek kerjasama dengan investor asing. Dikabarkan detik.com (19-9-2023), Panglima TNI Laksamana Yudo Margono memberikan penjelasan soal perintah 'piting' pendemo di wilayah Rempang, Kepulauan Riau (Kepri). Yudo menjelaskan bahwa perintah untuk memiting itu sebagai perumpamaan saja. Sekalipun pemerintah menyampaikan kata memiting itu maksudnya merangkul tetapi sangat tampak pendekatan yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya adalah memaksa sampai dengan kekerasan. 

Adanya istilah piting itu secuil indikator pendekatan penguasa dalam memaksakan permasalahan Rempang ini. Belum lagi adanya ultimatum tim satgas yang memaksa Rempang harus kosong tanggal 28 September 2023. Hal tersebut bisa dinilai sendiri. Pertanyaannya, mengapa pemerintah bersikap demikian terhadap warga demi proyek Eco City di Rempang? Jika proyek pembangunan industri di Rempang masih belum bisa dilakukan karena ditolak warga, maka pemerintah lebih mendahulukan mediasi dan edukasi terhadap warganya, bukan malah memaksa seperti itu.

Di Balik Kasus Rempang dan Wajah Pemerintah Indonesia

Jika diamati, sebenarnya publik tidak ingin menyatakan tidak ada ruang dialogis, tetapi tendensi yang ada lebih ke keegoisan penguasa yang berkolaborasi dengan pengusaha. Mereka nirhati nurani kemanusiaan mengusir warga negaranya sendiri demi kepentingan-kepentingan yang jauh dari kebutuhan rakyat, tapi demi kebutuhan kapitalis. Apakah ini yang dinamakan kemanusiaan yang adil dan beradab? Silakan dijawab sendiri. Pada sebuah diskusi dengan tokoh, ada yang berujar, Israel itu entitas penjahat, tapi di balik kejahatannya mereka melakukan tindakan jahat ke Palestina demi tempat tinggal warga Yahudi Israel. Lantas, Indonesia yang dikatakan orang Barat sebagai negara yang ramah, nyatanya kejam terhadap rakyatnya sendiri. Coba, lebih kejam mana antara Israel dan Indonesia?

Kita harus mendudukkan konsep pembangunan berdasarkan yang adil dan beradab itu seperti apa? Yang jelas kalau adil dan beradab itu tidak zalim, seharusnya ketika melakukan proyek pembangunan tidak ada pihak-pihak yang terzalimi dan terjahati. Lha sekarang fakta di Rempang itu secara nyata warga Rempang terzalimi dan dijahati, karena disuruh pergi dari kampung tempat tinggalnya. Atas nama investasi mereka bisa kongkalikong dengan pemerintah untuk mengusir warga Rempang, bahkan sudah berani menurunkan militer untuk mengosongkan mereka. 

Lalu sekarang di mana kemanusiaan yang adil dan beradab? Apakah atas nama investasi asing mereka rela mengusir warganya sendiri? Kasus-kasus seperti ini banyak, di Wadas dulu juga pernah, soal pulau Sangihe, lalu sekarang Rempang. Bisa-bisa kita semua akan diusir atas nama pembangunan infrastruktur, ini kan alarm berbahaya. 

Seolah-olah pemerintah tidak mampu menyediakan ruang luas untuk mendialogkan bagaimana cara mewujudkan janji kemakmuran tanpa pengusiran. Benar, kalau dulu rakyat diberi lahan agar mereka bisa lebih produktif contohnya melalui program transmigrasi, kalau sekarang rakyat "dipaksa diambil atau dirampas" lahannya untuk oligarki. Lantas yang jadi pertanyaannya, penguasa sebenarnya berpikir dan bertugas untuk memakmurkan rakyat atau memakmurkan oligarki? Demi apa pemerintah merampas lahan rakyatnya demi proyek-proyek bersama investor asing?

Dampak Kasus Rempang terhadap Politik dan Ekonomi Negeri Ini

Dikata proyek strategis nasional (PSN), tetapi pantaskah disebut strategis kalau bersikap bengis terhadap rakyat dilaksanakan demi mewujudkan proyek tersebut? Soal PSN di Rempang hari ini jadi konflik besar, tetapi anehnya banyak politisi yang enggan berpendapat karena takut dicap antikapitalis, anti-investasi, atau antiasing.

Seharusnya, jika para kontestasi politik hari ini ingin meraih simpati rakyat, ayo bela warga Rempang! Kira-kira berani atau tidak? Namun, jika yang ingin mereka ambil simpatinya adalah para korporasi, kapitalis, atau investor asing, tentunya akan diam seribu bahasa melihat polemik di Rempang.

Ada beberapa dampak buruk apabila proyek Rempang Eco City tersebut tetap dilanjutkan. Pertama. Dampak ekonomi adalaha Indonesia menyerahkan pusat ekonomi se-Asia terhadap investor asing alias Cina. Rempang letaknya sangat strategis di selat Malaka di antara dua benua dan dua samudra. Mengapa malah diserahkan ke asing proyek pembangunan tersebut dan mengapa konsensinya diberikan ke Cina? Padahal di sana disinyalir kaya akan pasir kuarsa yang bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan kaca.

Dikutip dari CNN Indonesia (21-9-2023), sejumlah wilayah di Indonesia kaya akan potensi sumber daya alam berupa pasir silika, yang kerap disebut sebagai pasir kuarsa. Pulau Rempang, Kepulauan Riau menjadi salah satu wilayah yang kaya sumber daya itu. Pasir kuarsa ini menjadi bahan baku utama dalam industri pembuatan kaca dan panel surya. Oleh sebab itu, tak mengherankan jika perusahaan China Xinyi Group ingin menanamkan investasi mencapai Rp381 triliun untuk mendirikan pabrik kaca dan panel surya di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Pada tahap awal, Xinyi Group meneken kerja sama senilai Rp175 triliun untuk pembangunan pabrik kaca dan solar panel terbesar kedua setelah China. Penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dilakukan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dengan pimpinan perusahaan tersebut di Chengdu, China pada 28 Juli 2023 lalu.

Selain itu, dampak ekonomi yang dialami warga Rempang adalah mereka kehilangan mata pencaharian selama ini. Ketika Rempang itu dikuasai asing, seolah-olah pemerintah telah mempersilakan asing untuk menjajah dan mengekploitasi Rempang atas nama investasi dan kerjasama dengan asing.

Kedua. Dampak politik yang dialami negeri ini jika proyek Rempang Eco City tetap berjalan adalah Indonesia berada di bawah tekanan Cina dan tidak memiliki kedaulatan. Karena untuk membatalkan proyek tersebut tidak punya nyali dan tidak punya gigi. Pemerintah malah gotong royong mengusir warganya sendiri daripada menolak proyek Rempang Eco City di sana. 

Sungguh ini kezaliman yang nyata. Karena setiap tanah warga yang dirampas untuk kepentingan asing akan dituntut besok di akhirat. Di akhirat mereka tidak bisa mengembalikan tanah tersebut ke warganya, konsekuensi yang didapatkan balasan siksaan yang setimpal bagi perampas tanah rakyat. Islam tegas melarang perampasan tanah milik orang lain, apalagi ini adalah tanah milik warga yang akan diberikan kepada investor asing. 

Dikutip dari Republika.co.id (13 Mei 2023), hal tersebut sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan dari Said bin Zaid bin Amr bin Nufail RA. Dia berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: "Siapa yang merampas tanah orang lain dengan cara zalim, walaupun hanya sejengkal, maka Allah akan mengalunginya kelak di Hari Kiamat dengan tujuh lapis bumi." (HR Muslim, dikutip dari terjemah Shahih Muslim)

Dalam riwayat lain, yang juga dari Said bin Zaid bin Amr bin Nufail RA, dikisahkan dengan lebih lengkap. Dia mengatakan telah dituntut oleh Arwa (seorang wanita) terkait sebagian tanah pekarangannya.
Lalu Said berkata, "Biarlah diambilnya! Karena aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Siapa yang mengambil tanah orang lain tanpa hak walaupun sejengkal, di Hari Kiamat kelak, Allah mengalungkan kepadanya tujuh lapis bumi."

Said pun berdoa, "Wahai Allah! Jika wanita itu dusta, butakanlah matanya dan jadikanlah rumahnya menjadi kuburan baginya." Tidak berapa lama kemudian Said melihatnya berjalan meraba-raba dinding dalam keadaan buta sambil berkata, "Aku terkena kutukan Said bin Zaid." Kemudian ia berjalan dalam rumah menuju sumur, lalu ia terjatuh ke dalam, sehingga sumur itu menjadi kuburannya."

Diriwayatkan juga dari Hisyam bin Urwah RA, dari bapaknya, dikatakan, Arwa binti Uwais menuduh Said bin Zaid telah mengambil sebagian tanahnya. Lalu diadukannya kepada Marwan bin Hakam (penguasa ketika itu). Lantas Said berkata, "Mungkinkah aku mengambil tanahnya padahal aku sudah mendengar Rasulullah SAW bersabda?" Marwan bertanya, "Apa yang telah engkau dengar dari Rasulullah SAW?" Said menjawab, "Aku mendengar beliau bersabda, 'Siapa yang mengambil tanah orang lain dengan cara paksa (zalim), walaupun hanya sejengkal, kelak di Hari Kiamat dikalungkan kepadanya tujuh lapis bumi."

Marwan berkata, "Aku tidak minta keterangan darimu selain ini." Kemudian Said berdoa, "Allahumma in kaanat kaadzibatan, fa 'ammi bashoro ha waqtul ha fii ardhiha." Said dalam riwayat itu kemudian berkata, "Tidak berapa lama kemudian, wanita itu buta. Setelah itu, ketika sedang berjalan di pekarangannya, ia (Arwa) terjatuh ke dalam sebuah lubang lalu dia meninggal di situ." (HR Muslim)

Dalam riwayat lain, dari Muhammad bin Ibrahim RA, dia berkata bahwa Abu Salamah bercerita soal sengketa tanah yang terjadi dengan kelompoknya. Kemudian Abu Salamah pergi menemui Aisyah RA untuk mengadukan masalah tersebut. Lalu Aisyah RA berkata, "Wahai Abu Salamah, jauhilah perkara (sengketa) tentang tanah. Sebab Rasulullah SAW pernah bersabda, "Siapa yang merampas sejengkal tanah, maka Allah mengalungkannya dengan tujuh lapis bumi (di Hari Kiamat)." (HR Muslim)

Ancaman yang Allah dan Rasul-Nya sampaikan ini bukanlah omong kosong, jika pemerintah tetap bersikeras mengusir warga Rempang demi kepentingan korporasi asing, sungguh balasan yang akan mereka dapatkan sangat berat. Mereka yang ikut mendukung keputusan pemerintah memuluskan kepentingan asing pun juga akan kecipratan dosa jariyah atas dukungan mereka terhadap kezaliman yang kasar mata ini.

Strategi Islam dalam Membangun Proyek Strategis

Ada perbedaan antara sistem kapitalisme dan Islam dalam membangun proyek strategis. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, pertama, tumpuan dana pembangunan dari investasi asing atau dana utang, sehingga suatu hari investasi ini bisa menjadi pintu masuk penjajahan. Kedua, yang membangun dan mengelola proyek pembangunan asing, sehingga dari bahan yang digunakan dan tenaga kerja bisa dikelola asing dan dalam hegemoni asing. Ketiga, menjadi pintu masuk penjajahan ala kapitalisme. Dalam kapitalisme, proyek bukannya untuk kemaslahatan umat, tetapi untuk kapitalisasi sektor publik dan lahan. Di situlah penjajahan asing datang dan bisa menggusur warga pribumi. 

Berbeda dengan Islam, pertama, dalam Islam segala bentuk proyek pembangunan atau pengelolaan sumber daya alam haram dikuasai asing dan haram menerima dana baik itu atas nama investasi atau utang. Karena utang atau investasi kepada asing adalah awal dari penjajahan. Sekalipun negara Islam belum memiliki dana untuk membangun infrastruktur, tetapi kebutuhan infrastruktur itu sangat mendesak, maka yang dilakukan daulah adalah pinjam kepada warganya, bukan pada asing. Jadi, haramnya asing menguasai proyek adalah dari campur tangan mereka dan masalah pendanaan.

Kedua, soal perkembangan sains dan teknologi, bisa saja negara Islam menerima perkembangan sains dan teknologi dari asing. Namun, untuk proyek strategis soal sains dan teknologi tidak akan diberikan ataupun kerja sama dengan asing. Negara Islam atau daulah khilafah tidak menutup mata akan perkembangan sains dan teknologi, tetapi daulah tetap berkewajiban dalam menjaga negara dari hegemoni asing dalam berbagai hal.

Ketiga, soal impor, daulah dalam pandangan Islam akan memaksimalkan produktivitas negaranya dan jangan sampai bergantung pada produk asing atau impor. Karena kemandirian dalam menyuplai kebutuhan umat adalah tanggung jawab penuh daulah, memang boleh daulah membeli produk asing atau impor, tetapi itu adalah alternatif terakhir karena kepentingan mendesak yang daulah sendiri belum mampu menyuplai kebutuhan tersebut.

Ada beberapa catatan soal pembangunan infrastruktur di dalam Islam. Pertama, daulah membangun proyek infrastruktur secara mandiri, berdikari, dan tidak ada campur tangan sedikit pun dengan asing baik perusahaan asing maupun negara asing. Mandiri dalam perencanaan, pelaksanaan, dan perawatan proyek infrastruktur. 

Kedua, sumber dana yang digunakan untuk membangun proyek infrastruktur diperoleh dari Baitulmal atau dari sumbangan warganya sendiri. Tidak boleh utang luar negeri yang mengandung riba ataupun investasi dari asing yang sebenarnya menjebak daulah dalam cengkeraman asing. 

Ketiga, apabila proyek tersebut melibatkan peran warga, yaitu harus menggusur tempat tinggal warga, sikap daulah terhadap warga adalah meminta keridhaan mereka untuk pindah dan soal ganti rugi, daulah wajib memberikan ganti rugi yang sesuai dengan kerugian yang ditanggung oleh warganya yang digusur karena proyek infrastruktur negara. Tidak boleh negara menggusur paksa, harus ada mediasi dan edukasi dari negara ke warga, sehingga warga pun memahami pentingnya proyek infrastruktur itu dilakukan dan mendapatkan dukungan dari warga setempat.

Keempat, spirit membangun proyek adalah untuk kemaslahatan umat bukan untuk kepentingan individu atau kelompok. Oleh sebab itu, sosialisasi dan implementasi proyek mengutamakan sikap-sikap yang humanis terhadap warga yang kiranya harus direlokasi. Sehingga proyek yang dijalankan mendapatkan dukungan dari warga setempat dan secara keseluruhan.
  
Kelima, terkait pekerja yang membangun proyek adalah dari warganya sendiri, sekiranya membutuhkan tenaga ahli dari luar negeri, tetap posisi mereka adalah sebagai tenaga ahli yang menyampaikan ilmunya soal pembangunan infrastruktur yang sebaik mungkin dan tidak sebagai pengambil kebijakan atau pemegang konsensi proyek.

Dalam Daulah Islam, pembangunan infrastruktur mandiri dari pembiayaan dan pelaksanaan. Selain itu, memang sistem politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya dikelola secara mandiri berdasarkan sumber hukum Islam, tidak boleh berkiblat kepada asing atau tsaqofah asing. Sehingga, yang mampu mengintervensi negara hanya Islam, asing tidak akan mampu mengobok-obok daulah selama daulah tetap berpegang teguh pada syariat Islam.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Seolah-olah pemerintah tidak mampu menyediakan ruang luas untuk mendialogkan bagaimana cara mewujudkan janji kemakmuran tanpa pengusiran. Benar, kalau dulu rakyat diberi lahan agar mereka bisa lebih produktif contohnya melalui program transmigrasi, kalau sekarang rakyat "dipaksa diambil atau dirampas" lahannya untuk oligarki. Lantas yang jadi pertanyaannya, penguasa sebenarnya berpikir dan bertugas untuk memakmurkan rakyat atau memakmurkan oligarki? Demi apa pemerintah merampas lahan rakyatnya demi proyek-proyek bersama investor asing?

Ancaman yang Allah dan Rasul-Nya sampaikan ini bukanlah omong kosong, jika pemerintah tetap bersikeras mengusir warga Rempang demi kepentingan korporasi asing, sungguh balasan yang akan mereka dapatkan sangat berat. Mereka yang ikut mendukung keputusan pemerintah memuluskan kepentingan asing pun juga akan kecipratan dosa jariyah atas dukungan mereka terhadap kezaliman yang kasar mata ini.

Dalam Daulah Islam, pembangunan infrastruktur mandiri dari pembiayaan dan pelaksanaan. Selain itu, memang sistem politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya dikelola secara mandiri berdasarkan sumber hukum Islam, tidak boleh berkiblat kepada asing atau tsaqofah asing. Sehingga, yang mampu mengintervensi negara hanya Islam, asing tidak akan mampu mengobok-obok daulah selama daulah tetap berpegang teguh pada syariat Islam.


Oleh: Ika Mawarningtyas
Direktur Mutiara Umat Institute dan Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

Materi Kuliah Online Uniol 4.0 Diponorogo, Rabu, 27 September 2023 di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum. #Lamrad #LiveOpperessedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar