2024 Golput: Gejala Distrust Politik terhadap Demokrasi dan Pola Penguasa Negeri



TintaSiyasi.com --  Golput (golongan putih) mengancam Pemilu (pemilihan umum) 2024. Seruan 2024 Golput telah bergema sejak beberapa bulan lalu. Salah satunya dari spanduk berbunyi "2024 Golput, Pilihan Realistis atas Matinya Keadilan di +62" di sebuah kawasan di Kota Malang, Jawa Timur. Diduga seruan ini sebagai bentuk kekecewaan atas keadilan yang mati dalam tragedi Kanjuruhan (Tugumalang.id, 27/3/2023) 

Pada bulan Mei lalu, kelompok buruh juga mengancam akan melakukan golput jika pemerintah tidak mencabut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Badan Pengawas Pemilu RI pun menyatakan, golput masih menjadi ancaman yang perlu ditangani melalui sosialisasi sejak dini (kbr.id, 5/7/2023).

Terlebih di antara lebih dari 204 juta pemilih untuk Pemilu 2024, jumlah Generasi Z mendominasi. Padahal mereka dinilai sering tidak tertarik politik. Ya, golput masih menjadi salah satu momok bagi Pemilu 2024. Selain praktik politik uang, narasi politik identitas, serta berbagai dugaan kecurangan lainnya. Bila jumlah golput pada 2024 kian tinggi, semestinya ini menjadi bahan koreksi terutama bagi pemerintah terkait trust masyarakat pada ritual Pemilu sebagai proses demokrasi dan kelayakannya sebagai jalan perbaikan bangsa.

Latar belakang Tingginya Golput di Setiap Pemilu

Golput adalah tindakan seseorang yang dengan sengaja tidak memberikan suara ketika Pemilu berlangsung. Dan angka golput kian naik dari satu Pemilu ke Pemilu lainnya. Pada Pemilu 1999 (Pemilu pertama era reformasi) hanya 7,3 persen. Sementara Pemilu 2004 menjadi 15,91 persen. 

Pada Pemilu 2009 meningkat tajam menjadi 29,1 persen. Menurun menjadi 24,89 persen pada Pemilu 2014. Dan naik lagi menjadi 29,68 persen pada Pemilu 2019. Akankah angka golput melonjak pada Pemilu 2024? 

Dari data di atas tampak bahwa golput selalu mewarnai setiap Pemilu di negeri ini. Bahkan, angkanya cenderung naik. Berikut beberapa faktor penyebab golput senantiasa ada di balik prosesi demokrasi ini.  

Pertama, perpindahan dari Orde Baru ke era reformasi menaikkan angka golput. Persentase golput era reformasi jauh lebih tinggi dibanding Pemilu era Orba. Sebab partisipasi politik di zaman Orba dimobilisasi secara otoriter. Orang cenderung takut bila tidak menggunakan hak pilih. Sedangkan di era reformasi, warga lebih bebas mengekspresikan hak politiknya. Tidak hadir di bilik suara tidak dibayangi ketakutan.

Kedua, luapan kekecewaan atas tindakan penguasa yang dinilai tidak berpihak rakyat. Hal ini tampak dari seruan golput suporter Aremania dan keluarga korban Kanjuruhan. Pun elemen buruh yang merasa dizalimi dengan disahkannya UU Ciptaker. Seruan golput juga dari Koordinator BEM Seluruh Indonesia, Hilmi Ash Shidiqi agar masyarakat tidak memilih atau mencoblos dalam pesta demokrasi 2024.

Ketiga, tidak menemukan sosok pemimpin yang sesuai visi misi. Hal ini banyak terjadi di kalangan anak muda. Ada rasa bingung menentukan pilihan karena tidak sesuai dengan harapan atau pencapaian keinginan/kepentingan mereka.

Keempat, distrust publik terhadap proses demokrasi. Realitasnya, Pemilu sebagai sarana berdemokrasi hanya memanfaatkan suara rakyat demi ambisi kekuasaan suatu golongan. Ibarat mobil mogok. Rakyat disuruh mendorongnya hingga bisa berjalan lagi. Setelahnya, sang sopir (penguasa terpilih) melambaikan tangan dan meninggalkan si pendorong begitu saja. Pun Pemilu berkali-kali tampak tidak menghasilkan perubahan signifikan menuju tatanan kehidupan yang lebih baik.

Kelima, alasan ideologi dan agama. Sebagian kelompok Islam memahami, secara diametral demokrasi bertentangan dengan Islam. Demokrasi mengagungkan kedaulatan rakyat, sementara Islam meniscayakan kedaulatan hanyalah milik Allah. Demokrasi membebaskan pembuatan aturan bersumber dari olah pikir dan hawa nafsu manusia. Islam mengharuskannya bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Karena inilah, mereka memilih untuk tidak memilih alias golput.

Demikianlah beberapa penyebab golput selalu mewarnai pada setiap Pemilu. Faktanya, dalam proses Pemilu; sebelum, pelaksanaan, dan setelahnya, sering ditemukan kecurangan. Namun, hal tersebut seolah menjadi hal wajar bahkan keniscayaan yang mesti ditempuh dalam rangka meraih kursi kekuasaan. 

Inilah sebagian wajah bopeng penerapan sistem demokrasi liberalistik kapitalis. Menjalankan prosesi pemerintahan tanpa bersandar pada nilai agama, hanya menyerahkan pada akal manusia, dan bebas berbuat apa saja demi meraih kursi kuasa. Selama demokrasi masih diterapkan, maka kerusakan demi kerusakan akan terus berjalan. Justru sistem politik inilah yang mesti dievaluasi untuk diganti. Tak sekadar berganti penguasa yang menerapkannya.

Dampak Golput terhadap Legitimasi Pemimpin Terpilih

Selain karena distrust publik pada penguasa secara umum, gejala menurunnya kepercayaan masyarakat juga menimpa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan partai politik (parpol). Peneliti utama Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi membeberkan, kepercayaan publik terhadap DPR dan parpol masih rendah. 

DPR berada di urutan kedua terbawah dalam tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga. Adapun terhadap parpol, paling rendah di antara lembaga lainnya. Masyarakat yang cukup percaya pada DPR dalam survei Indikator terkini mencapai 61,4 persen, sangat percaya 7,1 persen, dan kurang percaya 26,6 persen. Sementara hanya 6,6 persen masyarakat yang sangat percaya terhadap parpol, cukup percaya 58,7 persen, dan kurang percaya 29,5 persen (kompas.com, 2/7/2023).

Golput memang tidak berpengaruh terhadap keabsahan pemilu. Anggota DPR/DPRD terpilih tetap sah dan dilantik. Pasangan presiden–wakil presiden terpilih tetap sah dan dilantik. Meski demikian, golput politik tidak bisa diremehkan karena akan berdampak terhadap legitimasi pemimpin terpilih, yaitu:

Pertama, menyebabkan rendahnya tingkat kepercayaan dan kredibilitas calon terpilih. Akibatnya, pemerintah tidak berfungsi dengan baik karena kurangnya dukungan politik. Termasuk melaksanakan amanat dan janji politiknya dengan keyakinan tinggi.

Kedua, terpilihnya calon yang tidak memiliki rekam jejak baik atau kepentingan pribadi yang tidak sesuai kepentingan umum. Golput memungkinkan kian terpilihnya calon yang memiliki dukungan terbatas. Akibatnya, calon yang tidak memiliki rekam jejak baik atau memiliki kepentingan pribadi tidak sejalan kepentingan umum yang terpilih.

Ketiga, memperlemah legitimasi pemerintahan terpilih. Sementara dalam demokrasi, legitimasi pemerintahan diperoleh dari dukungan rakyat melalui Pemilu. Legitimasi rendah dapat menyebabkan ketidakstabilan politik dan kurangnya dukungan publik terhadap pemerintah.

Keempat, proyek pembangunan pemerintah kurang terdukung. Kurangnya "minat" masyarakat menyebabkan tidak terdukungnya proyek pemerintah. Efek golput tidak hanya sesaat, tetapi bisa sampai bertahun-tahun lamanya, hingga negara tidak memilik kemajuan pesat nantinya. 

Kelima, cermin bangsa tidak berdemokrasi dalam negara demokrasi. Berbasis kedaulatan rakyat, tentu aneh bila partisipasi publik dalam Pemilu sebagai pesta demokrasi rendah. Akhirnya menjadi pertanyaan, apakah ini negara demokratis atau apatis, atau?

Demikianlah dampak golput terhadap legitimasi pemimpin terpilih. Bila proses demokrasi kian tak bisa dipercaya, jangan salahkan golput atas kegagalan tersebut. Dan kesadaran rakyat terhadap kegagalan demokrasi semestinya diikuti dengan kesadaran atas alternatif solusi sistem penggantinya. Inilah relevansi tawaran syariah Islam untuk perbaikan tatanan kehidupan negeri ini.

Strategi Mewujudkan Kepemimpinan yang Memiliki Trust Publik Tinggi hingga Meminimalkan Golput

Sebagai sebuah gejala politik, golput selayaknya dikritisi. Pasalnya, seruan golput sudah sangat sering tetapi faktanya tidak terjadi perubahan yang berarti. Maka, tak cukup merespons masalah yang ada, tetapi harus mampu mengidentifikasi akar penyebabnya dan memberikan solusi yang benar. Dengan sedikit analisis pemikiran, kita bakal menemukan jawaban bahwa permasalahan negeri ini berawal dari praktik sekularisme dan isme turunannya. Sehingga seruan golput haruslah ideologis. 

Dunia saat ini mengalami kekosongan nilai dan kehampaan moral akibat kegagalan kapitalisme global berikut sistem politik demokrasi. Islam dengan sistem politiknya yang bersumber dari wahyu Allah SWT mampu menjadi alternatif pengganti. Sebab telah terbukti ampuh diimplementasikan dan memiliki garansi keberhasilan dari Allah SWT. 

Berikut strategi Islam mewujudkan kepemimpinan yang memiliki trust publik tinggi hingga meminimalkan golput: 

Pertama, memaknai politik sebagai ri’ayatusy syu’unil ummah (mengurus urusan umat). Dengan definisi ini, penguasa berperan sebagai pelayan dan pengurus rakyatnya. Kapabilitas mengelola negara bukan sekadar kemampuan seorang politisi, melainkan juga dari keimanan yang kukuh. Rakyat pun merasakan atmosfer politik yang diliputi spirit keimanan. 

Kedua, memahami dalam Islam Pemilu adalah cara untuk memilih sosok yang akan mengurus rakyat. Bukan sarana meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.  

Ketiga, ada gerakan terstruktur yang menghadirkan wacana pentingnya sistem alternatif Islam di tengah praktik politik oportunistis. Selain itu, wajib ada parpol yang bekerja untuk membumikan ideologi Islam melalui dakwah. 

Keempat, mencari dukungan para ahlu quwwah (thalab an-nushrah) sebagaimana Rasulullah SAW contohkan. Ini adalah metode penting yang mesti dilakukan. 

Inilah jalan shahih dalam perspektif Islam yang selayaknya dilakukan saat ini. Dengannya, cita-cita umat untuk merealisasikan praktik politik yang berorientasi pada pelayanan terhadap kemaslahatan rakyat dapat terwujud. Pun mampu meraih trust tinggi dari masyarakat hingga tingkat partisipasi publik terpelihara baik.

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H, M. Hum dan Puspita Satyawati 



Posting Komentar

0 Komentar