Kiai Labib: Lima Poin Penting dalam Peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW dan Para Sahabat


TintaSiyasi.com -- Dalam momentum peringatan tahun baru Islam (Hijriah) 1 Muharam, Ulama Aswaja K.H. Rokhmat S. Labib membeberkan lima poin penting dalam peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat.

“Ada poin-poin penting yang ingin saya sampaikan berkaitan dengan peristiwa hijrah ini. Pertama, hijrah Nabi SAW berdasarkan dalil dan menunjukkan hijrah itu memerlukan sebuah daulah, sebuah negara, yang menerapkan Islam. Tidak akan terjadi hijrah secara syar’i manakala tidak ada Daulah Islam, al-Khilafah," ujarnya kepada TintaSiyasi.com dikutip Selasa, 1 Agustus 2023 dalam Momentum Peringatan Muharam: Saatnya Hijrah Kaffah. 

Di antara dalil yang sangat jelas dalam definisi hijrah yang memerlukan adanya negara adalah sabda Nabi SAW, “La hijrota hatta fathi Makkah (tidak ada hijrah setelah penaklukkan Kota Makkah) atau dalam redaksi hadis lain, la hijrota ba’da fathi Makkah. Ketika Rasulullah SAW dan para sahabat keluar dari kota Makkah menuju Madinah. Makkah saat itu adalah Darul Kufur. Begitu masuk ke Madinah, Rasulullah SAW sekaligus pemimpinnya, itulah Darul Islam,” jelas Kiai Labib. 

Kedua, ia mengatakan, sesungguhnya hijrah adalah konsekuensi dari penerapan Islam secara kaffah dalam sebuah negara. Artinya, hijrah tidak diwajibkan dalam semua kondisi melainkan pada kondisi-kondisi tertentu. 

Seperti halnya Rasulullah SAW dan kaum Muslim hijrah ke Madinah, karena saat itu Makkah menolak untuk menerapkan Islam dan hukum-hukum-Nya. Sebab itulah, Rasulullah SAW mencari daerah lain yang mau menerima Islam untuk diterapkan secara kaffah. 

“Maka mereka (Rasulullah dan kaum Muslim) hijrah. Oleh karena itu, kewajiban hijrah tidak dibebankan kepada penduduk Madinah. Kenapa? Mau hijrah ke mana, lhawong Madinah bersedia diterapkan Islam. Andai Rasulullah berhasil menerapkan daulah di Makkah, tentulah tidak perlu hijrah ke Madinah,” katanya.

Itulah sebabnya, menurut Ulama Aswaja itu, hijrah terjadi karena Islam tidak bisa diterapkan di Makkah dan sebelum peristiwa hijrah terjadi, Rasulullah sudah terlebih dahulu melakukan dakwah ke berbagai daerah termasuk Madinah karena Islam sudah tidak memungkinkan tegak di Makkah. 

Rasulullah SAW dan para sahabat melakukan kontak, perluasan daerah dan dakwah ke berbagai kabilah. Ada Bani Amir bin Su’su’ah, Bani Kindah, Bani Khalab, dsb. Namun, mereka menolak sampai kemudian ada Bani Khajraj dari Madinah yang menerima Islam. 

Akhir cerita, katanya, masyarakat Madinah menyerahkan kepemimpinan kepada Rasulullah SAW dalam bai’atul aqobah kedua, yang juga disebut bai’atul harb, baiatul perang dalam membela Nabi SAW, seperti membela anak, istri, dan keluarga mereka. 

"Karenanya, hijrah itu bukan sekadar pindah. Namun, karena memang tidak memungkinkan adanya peluang Islam diterapkan di Makkah. Bahkan, wajib hukumnya bagi kaum Muslim yang tidak bisa mengamalkan ajaran Islam wilayah itu untuk hijrah. Andai kata masih bisa mengamalkan Islam di suatu daerah, hukumnya sunah," jelasnya.

Akan tetapi, seandainya di negeri itu bisa mengamalkan Islam, bahkan, mampu untuk bergabung dengan Daulah Islamiah, maka haram bagi penduduk Muslim di daerah tersebut untuk hijrah. Oleh karena itu, esensi yang penting dalam hijrah adalah penerapan Islam secara kaffah.  

Poin penting yang ketiga, hijrah menunjukkan bahwa tidak bisa menerapkan Islam kecuali dengan negara. Penerapan ayat-ayat tentang hudud, jinayah, ayat tentang ekonomi, pemerintahan, perang, semuanya turun setelah di Madinah. Karena memang tidak memungkinkan diterapkan di Makkah.

“Allah turunkan setelah di Madinah. Itulah kemudian Islam secara kaffah bisa diterapkan di Madinah. Rasululah SAW menjadi kepala negara. Apa buktinya? Rasulullah menjatuhkan hukuman bagi mereka yang melanggar. Kitab Bulughul Maram menyebutkan satu riwayat oleh Jabir bin Abdillah, Rasulullah Saw merajam satu orang laki-laki yang Muslim, satu orang laki-laki Yahudi, dan seorang perempuan,” beber Kiai Labib sapaannya.

Ia menjelaskan, dalam Kitab Subulus Salam disebutkan, hadis yang dijelaskan dalam Bulughul Maram itu menjadi dalil. "Hukuman yang diterapkan kepada mereka adalah hukum Islam, tentu tidak mungkin jika hukuman dijatuhkan bukan oleh kepala negara," katanya.

Karena yang bisa menghukumi, dan memutuskan perkara adalah seorang hakim dan hakim itu harus ada kekuasaan dan negara. Itulah yang merupakan tabiat Islam dan tidak mungkin Islam bisa diterapkan secara kaffah tanpa ada kekuasaan, jelasnya.

Waanihkum bainakum bima anzalalllahu ( putuskanlah di antara mereka…) memutuskan perkara bagi mereka yang kalau dalam ayat sebelumnya siapa? Mereka itu dimaksud Yahudu wa Nashara. Jadi, Islam itu memutuskan perkara bagi mereka (kafir) bukan kepada kaum Muslim. Bagaimana mugkin kalau tidak ada kekuasaan sebuah negara mampu melakukan yang demikian?” tanyanya. 

Kiai Labib mencontohkan, kondisi umat dan Islam hari ini tanpa adanya negara yang menerapkan Islam. Kaum Muslim selain mengadili, juga diadili oleh orang kafir dan hukum-hukum mereka. Seperti perjuangan mengekkan khilafah diangap sebagai suatu kejahatan. Karena hakimnya menggunakan hukum yang bukan berasal dari Islam.  

Jadi keberadaan umat Islam sekarang tanpa ada negara yang menerapkan Islam menurut Kiai Labib adalah sebuah musibah.

Poin keempat, pentingnya hijrah bagi kaum Muslim adalah untuk mengubah nasib, sehingga harus punya kekuasaan. Seperti Rasulllah SAW hijrah dari Makkah ke Madinah. Jika umat Islam tanpa kekuasaan, tanpa khilafah seperti saat ini, maka nasibnya ibarat anak ayam kehilangan induknya, umat Islam di mana-mana yatim, katanya.

"Mereka berseru minta tolong, tetapi tidak ada yang menolongnya. Kita dengar saudara kita di Uihgur, Myanmar, Palestina disiksa, dizalimi, rumah juga dibakar. Pada siapa minta tolong? Tidak ada,” tambahnya lagi.  

Bahkan, katanya, kaum Muslim di negeri mayotiras pun hanya sekadar membela diri sendiri karena takut dikriminalisasi. Belum lagi, kekayaan umat dirampok. Seperti tambang emas, batu bara, dan lainnya diambil secara zalim oleh penjajah. Akibatnya, umat tidak bisa menikmati, justru hidup dalam kesulitan sekarang. 

"Tidak luput kesehatan yang seharusnya tanggung jawab negara, kini malah dibebankan kepada rakyat melalui BPJS yang secara tidak langsung menjadi sarana negara mengambil harta rakyatnya," katanya.

Oleh karena itu, ia menjelaskan, ketika kaum Muslim berada di bawah naungan Daulah Islam, nasibnya berubah. Sebelumnya disiksa, dizalimi, dianiaya dan setelah punya negara, jika ada orang kafir atau penjajah mengancam, langsung bisa ditindak.  

“Ketika keluarga Yasir disiksa, tidak ada pertolongan secara riil. Karena tidak ada kekuatan di Makkah. Bandingkan ketika Rasulullah di Madinah, seorang Muslimah dilecehkan oleh Yahudi kemudian tersingkap baju dan terlihat auratnya. Lalu seorang lelaki Muslim melihat dan membunuh pelakunya. Kemudian lelaki Muslim itu juga dibunuh Yahudi. Rasullullah SAW memerintahkan untuk mengepung kaum Yahudi Bani Qainuqa. kemudian mengusirnya dari Madinah,” sebut Kiai Labib. 

Ia mengatakan, hijrah mengajarkan kepada umat Islam, jika ingin jaya, menang, dan mendapatkan kemuliaan, tidak akan bisa diraih kecuali dengan adanya Daulah Khilafah. 

Poin penting kelima dari peristiwa hijrah adalah adanya perjuangan Nabi SAW dalam menegakkan Islam. Sebab, kemenangan Rasulullah SAW dan kaum Muslim tidaklah datang secara tiba-tiba atau simsalabim. Melainkan melalui perjuangan dan upaya luar biasa dalam dakwah. 

"Nabi SAW melakukan kontak-kontak dakwah, mencari thalabun nasrah, hingga bertemu dengan kelompok atau Masyarakat Madinah yang ridha menyerahkan kekuasaan kepada Rasul SAW dalam bai’at aqobah kedua," katanya.
 
Saat ini, katanya, tidak ada cara lain untuk menyampaikan Islam di tengah-tengah masyarakat kecuali dengan dakwah. Hingga umat punya kesadaran sendiri menginginkan dan menuntut tegaknya khilafah.

"Tidak boleh putus asa, meskipun kondisi sekarang harus menuntut terus untuk berjuang sampai Allah SWT memberikan pertolongan. Karena bisa jadi pertolongan Allah datang saat-saat puncak kesulitan," katanya.

Kiai Labib menegaskan di akhir, jika umat terus menolong agama Allah, maka akan datang pertolongan-Nya. Karena tegaknya khilafah adalah janji Allah dan diberitakan Rasulullah SAW. Sehingga tidak boleh berputus asa, terus sabar dalam dakwah kepada umat tentang Islam, khilafah, dan syariah kaffah. Iya meyakini bahwa suatu saat Allah SWT akan memberikan kemenangan. 

“Saat Rasulullah kehilangan Abu Thalib, dan Khadijah, tidak da lagi tempat bernaung yang memberikan perlindungan. Hingga mencari kabilah-kabilah lain dan semua menolak. Lalu Allah memberikan pertolongan. Itulah kadang-kadang pertolongan datang berada dalam puncak kesulitan yang kita pasrahkan kepada Allah swt,” pungkasnya. [] M. Siregar

Posting Komentar

0 Komentar