Kunci Sukses Nabi Ibrahim dalam Menjalankan Ketaatan


TintaSiyasi.com -- Pemerhati Keluarga dan Generasi, Ustazah Dedeh Wahidah Achmad memaparkan tiga kunci sukses Nabi Ibrahim dalam menjalankan ketaatan.

"Ada tiga kunci sukses yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s. dalam menjalankan ketaatan yang perlu kita teladani," tuturnya dalam kajian Tsaqafah Islam: Refleksi Taqwa Keluarga Ibrahim a.s. di YouTube Muslimah Media Center (MMC), Senin (26/06/2023). 

Pertama, ia mengungkap, keimanan yang kokoh. Iman inilah yang dijaga oleh Nabi Ibrahim a.s. dan keluarganya sebagaimana wasiat Nabi Ibrahim kepada anak-anaknya. 

"Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim. Oleh karena itu keimanan ini akan dijaga sepanjang hayat ketika sudah beriman, istiqamah dalam keimanan sampai ajal menjemput. Agar kita semua dapat melakukan itu, mendidik anak kita, keluarga kita mempunyai keimanan yang sempurna, kita harus mempunyai keyakinan yang penuh kepada Allah, kepada Islam," bebernya.

"Kedua, menjaga hubungan dengan Allah SWT. Senantiasa menyambungkan hubungan dengan Allah. Sinyal-sinyal dengan Allah terus dijaga. Hidup ini ketika banyak ujian, ketika banyak kesulitan, kalau sinyal kita dengan Allah itu lemah (hilang), maka ibarat HP yang tidak ada sinyal, walaupun dia canggih ia tidak bisa digunakan, ia tidak berfungsi," ujarnya. 

Ustazah Dedeh menjelaskan, Nabi Ibrahim dan keluarganya senantiasa menyambungkan sinyal itu secara kuat kepada Allah terbukti ketika ia menikah dengan Hajar sebelum punya anak, beliau senantiasa memanjatkan doa-doa kepada Allah di antaranya doa yang disebut dalam surah As-Saffat: 100,

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّلِحِينَ 

Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang shalih.

"Pelajaran bagi kita kalau kita melakukan sesuatu, mau mendidik anak, melayani suami, berbakti pada orang tua, berdakwah, belajar, sudahkah kita minta kebaikan pada Allah atau kita baru menyandarkan kemampuan kita sendiri. Yang kemampuan kita itu terbatas, ada lemahnya ada salahnya," ungkapnya. 

Oleh karena itu, ia mengingatkan pentingnya menyambungkan sinyal yang kuat kepada Allah dengan taqarrub Ilallah, mendekatkan diri kepada Allah. 

"Tidak mungkin sinyal kita akan kuat ketika kita melakukan banyak maksiat, sinyal akan semakin kuat ketika kita menunjukkan ketaatan, kita taat sejengkal Allah akan mendekat dengan sehasta. Kita datang dengan berjalan, Allah akan datang dengan berlari, itu pengandaian dari Rasulullah. Kalau kita pernah melakukan dosa segera kembalikan sinyal itu ke atas, segera istighfar, segera tobat," cakapnya.

Ketiga, ia menekankan untuk membiasakan komunikasi yang harmonis. Komunikasi antara suami dengan istri, antara orang tua dengan anak. Sebagaimana keluarga Nabi Ibrahim telah menunjukkan komunikasi yang harmonis, yang berjalan lancar antara Nabi ibrahim dengan Siti Hajar.

Ustazah Dedeh menceritakan, ketika Siti Hajar ditinggal di lembah Mekkah yang tidak ada orang, tidak ada manusia, tidak ada pohon tidak ada air, ditinggalkan berdua dengan Ismail yang masih bayi. Siti Hajar bukan mempermasalahkan kenapa saya ditinggal di lembah yang sunyi ini, tetapi yang dikatakan oleh Hajar adalah apakah Allah memerintahkan yg demikian? Dan Nabi Ibrahim menjawab:

"Ya itu adalah perintah Allah."

"Apa kata Hajar kalau itu perintah Allah? jawab Hajar, 'lakukanlah karena Allah tidak akan menyia-nyiakan kita.' Itu contoh bagaimana seorang suami menjalin hubungan dalam berkomunikasi dengan istri," ucapnya. 

"Demikian juga orang tua dengan anak, ketika Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putranya Ismail, beliau tidak langsung melakukan itu, tapi beliau berkomunikasi dengan putranya. Komunikasi untuk mengkondisikan menyiapkan si anak supaya yang taat itu bukan ayahnya saja, bukan orang tuanya saja," jelasnya. 

Dia melanjutkan, Nabi Ibrahim mengkomunikasikan perintah yang berat itu kepada putranya yang disebutkan dalam surah As-Saffat: 102,

فَلَا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يُبُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ انِي اذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَابَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّبِرِينَ 

"Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, 'Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!' Dia (Ismail) menjawab, 'Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar'."

"Kalau anak sefrekuensi dengan orang tua, keimanannya sama, ketaatannya sama, akan terbangun komunikasi. Orang tua mampu mengkomunikasikan kenapa harus menutup aurat, kenapa harus shalat, tidak boleh pacaran, enggak boleh ini itu. Kenapa harus menjadi pengemban dakwah, kenapa harus ngaji itu harus dikomunikasikan dengan baik kepada anak. Clear bahwa melakukan itu karena Allah menyuruh kita. Karena kita tidak ingin masuk surga sendirian. Kita ingin masuk surga bersama keluarga. Kenapa ada perintah dan larangan, dan kenapa kita harus taat? karena kita ingin masuk surga bersama-sama. Kesuksesan itu ketika kita sukses berkomunikasi secara harmonis," terangnya. 

Keempat, senantiasa terjadi pengajaran dan nasihat. Di dalam keluarga Nabi Ibrahim terjadi pengajaran, pendidikan. Jadi yang namanya nasihat itu bukan sesuatu yang tabu, anak-anak tidak alergi dengan nasihat, orang tua juga tak malas untuk memberikan nasihat. Firman Allah dalam surah Al-Baqarah: 132, 

وَوَفِّى بِهَا إبْرَاهِمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوبُ يُبَنِيَّ إِنَّ اللهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَا نْتُم مُّسْلِمُونَ 

"Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. "Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim."

"Inilah nasihat yang harus dilakukan orangtua kepada anaknya dan bagaimana orang tua senantiasa mempunyai waktu, kesempatan, dan perhatian untuk memperhatikan pendidikan, pengajaran kepada anak. Pengajaran bisa diperoleh dari sekolah, dari pesantren tapi akan beda kalau pengajaran itu disampaikan oleh orang tua. Orangtua yang mempunyai tanggung jawab pengajaran, orang tua itu yang mempunyai kasih sayang, orang tua yang mempunyai harapan untuk masuk surga bersama-sama," imbuhnya. 

Ia menambahkan, Allah yang menitipkan anak kepada kita. Kalau ajaran dakwah, ajaran menjadi pejuang itu bukan sekadar dari guru anak-anak kita tapi keluar dari kata-kata kita. Mari kita menjadi keluarga pejuang, menjadi pengemban dakwah Islam, Insya Allah itu akan lebih baik. Kita bisa berkolaborasi, kita bisa bekerjasama dengan pihak lain apakah itu sekolah, pesantren untuk mendidik anak-anak kita, tapi penanggung jawab utama adalah kita. 

"Semoga momen Idul Adha bukan hanya mengingatkan kita untuk berkurban tapi ada sisi lain bagaimana kita mempelajari ketaatan sempurna dari Nabi Ibrahim dan keluarga. Bukan hanya ketaatan individu tetapi kita siap secara total untuk melaksanakan ketaatan kepada semua perintah Allah, sehingga dengan ketaatan sempurna itu Islam akan menjadi aturan yang ditetapkan di seluruh alam. Islam akan menjadi ideologi lewat tegaknya khilafah islamiyah dan kita, anak-anak kita keluarga kita jadi salah satu yang berkontribusi untuk tegaknya syariat Islam. Meraih sakinah dengan penerapan syariat secara kaffah," pungkasnya.[] Rina

Posting Komentar

0 Komentar