Kontroversi RUU Kesehatan: Benarkah Pesanan Asing dan Kapitalis?


TintaSiyasi.com -- "Setop RUU Kesehatan: Titipan Asing dan Kapitalis" adalah tulisan spanduk dalam Aksi Damai PDGI Cabang Subang bulan lalu (detik.com, 8-5-2023) untuk menolak RUU Kesehatan Omnibus Law. Senin lalu (5-6-2023), Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersama sejumlah elemen tenaga kesehatan lainnya menggelar demonstrasi di depan gedung DPR, Jakarta. Dokter dan tenaga kesehatan itu menyuarakan penolakan terhadap Omnibus Law RUU Kesehatan yang tengah dibahas pemerintah dan DPR. Mereka menilai RUU tersebut tidak memberikan perlindungan tenaga medis dan ditemukan standar ganda, sehingga tenaga medis mudah dikriminalisasi.

Dalam aksi tersebut ditemukan spanduk yang bertuliskan "RUU Kesehatan (Omnibus Law) Liberalisasi dan Kapitalisasi Kesehatan Korbankan Hak Sehat Rakyat, Tolak!". Lumrah, jika RUU ini dianggap sebagai ajang liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan. Karena hak sehat rakyat dikembalikan kepada individu rakyat, tidak menjadi beban pengayoman negara lagi. Wacana masuknya dokter asing dan pemberian izin mereka buka praktik di sini makin menguatkan aroma liberalisasi kesehatan. Dokter asing tersebut bisa datang dengan mudah atas rekomendasi rumah sakit internasional tanpa ada evaluasi dan ujian persamaan. 

Padahal, dokter lulusan asing tidak menjamin kemampuan pemerintah memberikan hak sehat terhadap rakyatnya. Dalam RUU tersebut juga membahas rumah sakit bisa mencetak dokter-dokter spesialis dengan mengajak kerja sama universitas. Padahal dulu, universitas yang bekerja sama dengan rumah sakit. Sekarang rumah sakit memeliki wewenang khusus itu. Potensi kesehatan dijadikan lahan bisnis terbuka lebar karena RUU Kesehatan itu. Apabila hal ini dibiarkan lengkap sudah kekecewaan rakyat, sudah pendidikan diliberalisasi, sekarang kesehatan akan diliberalisasi besar-besaran. Jika RUU tersebut disahkan tanpa revisi menyeluruh, seolah-olah mengonfirmasi, RUU tersebut adalah pesanan asing dan kapitalis.

Di Balik Penolakan RUU Kesehatan

Tidak ada asap apabila tidak ada api. RUU Kesehatan menuai penolakan masif, pasti karena berisi pasal-pasal kontroversi yang berpotensi menihilkan hak sehat untuk rakyat dan merugikan tenaga medis. Sebagaimana ada beberapa poin yang dirangkum sebagai berikut. Pertama, pemerintah terkesan lepas tanggung jawab dalam menjamin hak sehat rakyat. Hal itu terlihat dari RUU Kesehatan yang berpotensi mengkriminalisasi tenaga medis. Mudahnya pasien atau keluarga pasien mengkriminalisasi tenaga medis sejatinya berpotensi menimbulkan kekisruhan baru. Seharusnya pemerintah mengupayakan bagaimana melengkapi fasilitas kesehatan dan mengembangkan teknologi kesehatan, sehingga kemungkinan terjadi kecelakaan kerja dapat diminimalisir. 

Kedua, berpotensi meliberalisasi sektor kesehatan dalam mencetak dokter spesialis. Kurangnya dokter spesialis dalam menangani kasus kesehatan adalah akibat mahalnya pendidikan kedokteran spesialis hari ini. Tetapi, solusinya bukan dengan pihak rumah sakit mencetak sendiri dokter spesialis dengan mengajak kerjasama universitas, tetapi dengan memberikan keringanan biaya pendidikan kesehatan kepada generasi yang mampu hari ini. Jika benar, rumah sakit diberi wewenang itu, betapa rumah sakit telah berubah menjadi industri kesehatan.

Ketiga, kapitalisasi kesehatan. Kesehatan tidak lagi menjadi tanggung jawab negara, tetapi diserahkan ke pasar. Dokter asing bisa masuk berdasarkan pesanan rumah sakit internasional. Asing bisa membangun rumah sakit dengan standar internasional dan mencari dokter dari luar juga, hal itu makin mudah karena dokter asing tidak ikut ujian persamaan lagi. Siapa yang bisa bayar kesehatan, merekalah yang akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan baik.

Keempat, diskriminasi pelayanan kesehatan nyata ketika UU ini disahkan. Seharusnya pemerintah menyelenggarakan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau untuk seluruh umat. Bukan kesehatan yang berkelas berdasarkan kemampuan pembayaran pasien. Karena menjaga nyawa adalah kewajiban negara. Jika kesehatan dijadikan lahan bisnis, maka akan berpotensi terjadi diskriminasi pelayanan kesehatan.

Kelima, melemahkan keberadaan dokter dalam negeri. Persaingan dokter dalam negeri dan dokter asing dalam mencari kerja berpotensi melemahkan kedaulatan negara. Seharusnya pemerintah meningkatkan kualitas dokter yang ada di dalam negeri. Bukan memberikan ruang dokter asing masuk untuk bersaing dengan dokter dalam negeri. Seandainya, jika dokter asing banyak yang masuk ke negeri ini, hal itu justru menunjukkan lemahnya negara yang tidak mampu menciptakan dokter andalan dan adanya ketergantungan kesehatan terhadap pihak asing. Ini sejatinya hal yang patut disesali. 

Wajar jika ada anggapan RUU Kesehatan hadir sebagai pesanan asing dan kapitalis karena RUU tersebut adalah konsekuensi dari GATS dari WTO. GATS memaksa negara yang tergabung dalam WTO untuk meliberalisasi dan melakukan kapitalisasi sektor jasa, contohnya kesehatan. Sehingga, tanggung jawab negara menjamin kesehatan diserahkan ke pasar. Betapa jahat jika ini terjadi, karena negara hanya ada sebagai regulator pemulus kepentingan asing dalam mencengkram sebuah negara. Liberalisasi kesehatan maupun pendidikan adalah bukti nyata Barat (asing) ingin sumber daya manusia yang ada di negeri ini makin liberal mengikuti kemauan global. Ketika sumber daya alam diliberalisasi dan sumber daya manusia juga, maka akan mudah bangsa itu dieksploitasi asing demi memenuhi keserakahan kapitalis global.

Dampak RUU Kesehatan Disahkan terhadap Hukum, Ekonomi, dan Sosial

Dalam setiap kebijakan yang diciptakan manusia tentu memiliki dampak. Karena kebijakan manusia lahir dari kepentingan mereka yang membuat aturan, hal itulah yang menjadi alasan kebijakan buatan manusia bisa disetir asing dan merugikan pihak lain. Apabila kebijakan dibuat demi memuluskan kepentingan para kapitalis, pasti yang dirugikan adalah rakyat secara keseluruhan. RUU Kesehatan ini adalah salah satu contohnya. 

Apabila melihat dampak dari RUU Kesehatan Omnibus Law tersebut ada beberapa catatan sebagai berikut. Pertama, dalam aspek hukum, RUU Kesehatan tidak selaras dengan naskah akademik. Dikutip dari Media Indonesia (4-4-2023), Pakar Hukum dr. Oce Madril mengatakan, persoalannya, muatan materi RUU Kesehatan tidak konsisten dengan Naskah Akademik. Dalam Naskah Akademik dijelaskan hasil kajian dan analisis mengenai kondisi dan masalah sektor kesehatan. Tidak ada pembahasan mengenai BPJS Ketenagakerjaan atau Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

Ya, konsekuensi dari GATS adalah menghilangkan subsidi dan jaminan sosial dalam dunia kesehatan maupun pendidikan. Wajar saja jika RUU Kesehatan ini menjadi karpet merah para kapitalis untuk mengendalikan kesehatan dan bisa menjadikan kesehatan sebagai ladang bisnis internasional. Risiko tergabung dalam WTO ya seperti ini, tidak ada subsidi dalam bentuk apa pun terhadap rakyat. Pastinya, liberalisasi kesehatan ini akan beriring-iringan dengan industrialisasi bidang farmasi yang makin masif. 

Kedua, dalam aspek ekonomi, kesehatan sulit diakses kecuali bagi mereka yang memiliki uang. Hidup makin sulit, beban hidup makin mahal, dan terjadinya kemunduran peradaban, karena mau sehat susah, mau pintar juga mahal. Ketika ekonomi sulit, angka kriminalitas akan meningkat tajam. Kriminalitas akan marak di berbagai lini karena hidup makin sulit dan cara-cara haram seperti mencuri, menipu, judi, dan sebagainya akan marak terjadi.  

Ketiga, dampak sosial adalah rusaknya tatanan sosial karena jurang si kaya dan si miskin akan makin menganga. Rusaknya mental, banyaknya stres, depresi, hingga bunuh diri akan banyak ditemukan dalam kehidupan sosial hari ini. Manusia-manusia yang ada dijadikan robot-robot yang tercipta sesuai keinginan para kapitalis. Yang bertahan akan tetap hidup, yang tidak mampu bertahan harus siap digilas kejamnya industri pasar kapitalisme liberal. 

Begitulah dampak buruk penerapan sistem kesehatan yang bernafaskan sekulerisme, kapitalisme, dan liberalisme. Fungsi negara sebagai penjaga jiwa dan pencetak insan yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional akan pupus akibat kapitalisasi kesehatan dan pendidikan. Komersialisasi kesehatan dan pendidikan akan tampak nyata dan dilegitimasi negara.

Strategi Islam dalam Mengatur Kesehatan yang Berkualitas dan Terjangkau

Tidak dimungkiri kesehatan berkualitas itu butuh dukungan ekonomi yang kuat. Tetapi, bagaimana bisa menciptakan ketahanan ekonomi yang kuat jika menerapkan sistem ekonomi kapitalisme? Tentu akan sulit dan tidak mungkin. Oleh karena itu, wajar jika dalam ekonomi kapitalisme, sektor publik akan diliberalisasi besar-besaran demi melepas tanggung jawab negara dalam pengelolaan hal itu. 

Hal tersebut terlihat dari kapitalisasi dan liberalisasi sumber daya alam, pendidikan, dan kesehatan. Hal itulah yang menjadi perbedaan dengan sistem Islam. Dalam Islam negara wajib mengurus rakyatnya sebaik mungkin. Kepengurusan terhadap rakyat, tidak dibiarkan umat Islam berjalan sendiri tanpa pedoman. Tetapi, Islam menciptakan sistem kehidupan yang komprehensif yang dapat mencetak generasi unggul dan didukung oleh sistem ekonomi tahan krisis.

Dalam menyelenggarakan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau untuk seluruh rakyatnya, sistem Islam memiliki catatan sebagai berikut. Pertama, kesehatan harus ditopang oleh sistem ekonomi Islam. Dalam Islam tidak boleh meliberalisasi sumber daya alam. Adanya kekayaan alam yang melimpah dikelola dan digunakan untuk membangun infrastruktur kesehatan dan melengkapi fasilitas kesehatan. Negara Islam yang memiliki baitulmal dan penataan yang mustanir dalam mengelola ekonomi diharapkan mampu menopang kesehatan untuk warganya tanpa adanya diskriminasi pelayanan. 

Kedua, mencetak dokter ataupun tenaga medis yang unggul. Mereka sekolah keluar negeri tidak mengapa, tetapi yang menjadi tenaga medis di negara Islam (Khilafah) adalah warga negara itu sendiri. Sekalipun ada tenaga medis asing, itu dalam kondisi terpaksa karena tidak ada satu pun warga negara yang mampu mengimbangi kemampuan tenaga medis asing tersebut. Sekalipun demikian, negara Islam bisa mengundang tenaga medis asing untuk melatih tenaga medis dalam negeri. Tetapi, hal itu terjadi jika tidak ada jalan lain selain itu. Jika tenaga medis dalam negeri sudah piawai tidak perlu bergantung pada tenaga asing dan prioritas negara adalah mencetak tenaga medis yang cerdas dan terampil.

Ketiga, ditegakkan hukum Islam secara menyeluruh. Sanksi dan hukuman dalam Islam harus ditegakkan untuk meminimalisir kejahatan atau kriminalitas yang berpotensi terjadi di dunia kesehatan maupun aspek kehidupan lain. Seperti ekonomi, pendidikan, sosial, dan sebagainya. Kesinambungan Islam dalam mengatur kehidupan ini akan mencetak generasi unggul yang bisa menelurkan perkembangan kesehatan yang makin masif.

Pendidikan, kesehatan, yang ditopang ekonomi akan memasifkan banyak penelitian, sehingga perkembangan teknologi dan sains maju pesat. Hal itulah yang sejatinya pernah terjadi, ketika Khilafah Islamiah zaman dahulu menjadi pusat peradaban dan rujukan kemajuan teknologi. Justru kaum Barat yang belajar ke negara Khilafah Islamiah. Bahkan, ada dari mereka berkunjung ke negara Khilafah Islamiah hanya sekadar ingin mencicipi fasilitas kesehatan dan pendidikan yang ada di negara khilafah. Itulah keagungan ketika Islam ditegakkan secara totalitas, umat Islam disegani dan ditakuti lawan. Tidak ada yang berani berbuat zalim, kecuali mereka yang ingin menikmati indahnya penegakan hukum Islam.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama. RUU Kesehatan hadir adalah konsekuensi dari GATS dari WTO. Wajar jika dianggap pesanan asing dan kapitalis. GATS memaksa negara yang tergabung dalam WTO untuk meliberalisasi dan melakukan kapitalisasi sektor jasa, contohnya kesehatan. Sehingga, tanggung jawab negara menjamin kesehatan diserahkan ke pasar. Betapa jahat jika ini terjadi, karena negara hanya ada sebagai regulator pemulus kepentingan asing dalam mencengkram sebuah negara. Liberalisasi kesehatan maupun pendidikan adalah bukti nyata Barat (asing) ingin sumber daya manusia yang ada di negeri ini makin liberal mengikuti kemauan global. Ketika sumber daya alam diliberalisasi dan sumber daya manusia juga, maka akan mudah bangsa itu dieksploitasi asing demi memenuhi keserakahan kapitalis global.

Kedua. Begitulah dampak buruk penerapan sistem kesehatan yang bernafaskan sekulerisme, kapitalisme, dan liberalisme. Fungsi negara sebagai penjaga jiwa dan pencetak insan yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional akan pupus akibat kapitalisasi kesehatan dan pendidikan. Komersialisasi kesehatan dan pendidikan akan tampak nyata dan dilegitimasi negara.

Ketiga. Pendidikan, kesehatan, yang ditopang ekonomi akan memasifkan banyak penelitian, sehingga perkembangan teknologi dan sains maju pesat. Hal itulah yang sejatinya pernah terjadi, ketika Khilafah Islamiah zaman dahulu menjadi pusat peradaban dan rujukan kemajuan teknologi. Justru kaum Barat yang belajar ke negara Khilafah Islamiah. Bahkan, ada dari mereka berkunjung ke negara Khilafah Islamiah hanya sekadar ingin mencicipi fasilitas kesehatan dan pendidikan yang ada di negara khilafah. Itulah keagungan ketika Islam ditegakkan secara totalitas, umat Islam disegani dan ditakuti lawan. Tidak ada yang berani berbuat zalim, kecuali mereka yang ingin menikmati indahnya penegakan hukum Islam.[]

Oleh: Ika Mawarningtyas
Direktur Mutiara Umat Institute 
Nb: Materi Kuliah Online Uniol 4.0 Diponorogo, Rabu, 14 Juni 2023, di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum. #Lamrad #LiveOpperessedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar