Ustazah Iffah: Saudi Sedang Menuju ke Peradaban yang Lebih Sekuler dengan Label Moderat

TintaSiyasi.com -- Menanggapi pemberitaan terkait konfirmasi resmi pemerintahan Saudi yang kian longgar terhadap para turis LGBT dan unmarried status,  Aktivis Muslimah Ustazah Iffah Ainur Rochmah buka suara. 

"Bermacam-macam kebijakan yang ada di Saudi, over all, kita melihat memang Saudi terihat bahwa Saudi sekarang sedang menuju ke pada sebuah pola peradaban baru yang lebih sekuler dengan label moderat dan terbuka sebagai satu di antara masyarakat dengan level mendunia, padahal jauh dari Islam," ujarnya kepada TintaSiyasi.com, Senin (15/05/2030).

Ia mengatakan, hal tersebut sejalan dengan visi Saudi 2030 yang ingin membangun wajah baru pemerintahan, yaitu lebih moderat dan terbuka. “Apa yang dilakukan apa yang dirancang oleh Saudi 2030 tidak lain adalah Saudi ingin membangun wajah baru, yaitu sebuah pemerintahan yang lebih moderat, lebih open (terbuka) dan memiliki gaya hidup bebas,” imbuhnya.

Ia mengatakan, di bawah naungan sekularisme, lembaga-lembaga pemerintahan diarahkan agar lebih modern. Dengan kata lain, negara-negara yang mengadopsi nilai-nilai politik sekuler demokrasi, akan mengeluarkan kebijakannya dengan terbuka. 

“Kalau bicara lebih terbuka, lebih terbuka terhadap investasi asing, terbuka menerima pemikiran-pemikiran, maupun arus yang secara global diciptakan atau berasal dari dunia Barat,” terangnya.
 
Kemudian, terkait maksud dari Saudi ingin menampilkan sebuah gaya hidup yang lebih mendunia, menurutnya, itu berarti Saudi harus meninggalkan banyak gaya hidup yang selama ini yang masih tradisional dan dianggap sebagai bagian dari nilai-nilai Islam. 

“Sekalipun kita tahu itu hanya sedikit dari ajaran Islam yang dipraktikkan. Dan dipraktikkan pun tidak secara utuh. Karena itu tadi, apa yang dikatakan sebagai visi 2030 memang kemudian negara ini mengeluarkan beberapa kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan-kebijakan yang sebelumnya diperlakukan,” bebernya. 

Ia menjelaskan, kebijakan yang dimaksud tentunya akan berimbas dalam negeri, seperti perlakuan terhadap perempuan di tempat-tempat umum atau aktivitas campur-baur dengan laki-laki di area Stadion olahraga, menjadi berbarengan, bahkan di tempat hiburan. Padahal, sebelumnya semua ini tidak dibolehkan di Saudi. 

Demikian juga dengan makna keterbukaan akibat visi 2030 tersbeut, ia menyatakan bahwa Arab Saudi kian membuka diri untuk investasi-investasi asing baik dari Barat maupun dari Timur. 

“Bandara mereka dikomersialisasi, diswastanisasi. Pelabuhan-pelabuhan baru, pembangunan infrastruktur, dan seterusnya juga dilakukan dengan model menggandeng pihak asing dan tentu saja kita juga menjadi khawatir bahwa apa yang dilakukannya ini iringan dengan masuknya apa pemikiran dan ideologi asing yang lebih mencengkram,” imbuhnya. 

Ustazah Iffah juga katakan, Saudi memang sudah membuat beberapa kebijakan yang kontroversial di tahun 2018. Itulah yang kemudian disebut dengan ru’yah su’udiyah (visi Saudi 2030). Tujuannya adalah untuk mencari sumber-sumber pendapatan baru mengurangi ketergantungan negara Saudi terhadap ekspor minyak.

Seperti diketahui, negara Arab Saudi bergantung pada ekspor minyak dan juga sumber-sumber pendapatan lain. Tetapi, yang diakui atau diklaim paling banyak menghidupi pemerintah Saudi atau masyarakat adalah ekspor minyak, sebab Saudi merupakan salah satu penghasil atau pengekspor minyak terbesar di Timur Tengah. 

"Saya sendiri belum bisa mengatakan bahwa ini adalah hal yang resmi diakui oleh pemerintah ataukah ini merupakan bentuk kelonggaran yang di apa namanya ya diberikan kaitanya dengan beberapa kebijakan yang lain ya. Saya belum tahu persis atau kayak ini sebenarnya baru ada pihak-pihak yang kemudian mengopinikan bahwa Saudi seperti ini, sehingga memunculkan pro dan kontra sehingga persoalan ini juga akan disikapi sebagaimana yang lain ya tidak boleh homofobia tidak boleh fobia terhadap kaum LGBT dan seterusnya," bebernya.

Jurang Kehinaan

Keberadaan negeri-negeri Islam hari ini, menurut Ustazah Iffah, sebagian masih mengambil atau memberlakukan hukum syariat dengan jumlah yang bervariasi. Ada yang sedikit ada yang lebih banyak. Tetapi, menurut Uszatah Iffah, tanpa mengadopsi sistem politik dan pemerintahan Islam, ancaman yang tidak terelakkan dan konsekuensinya adalah pengabaian ataupun meninggalkan hukum syariat yang dilakukan pada skala negara dan akan menjatuhkan kaum Muslim pada jurang kehinaan dan persoalan-persoalan yang tidak kunjung habis.

“Tanpa menjalankan keduanya, maka makin jauh dan runtuh pelaksanaan hukum-hukum syariat, ataupun penyimpangan pelaksanaannya dari waktu ke waktu. Itu menjadi ancaman yang tidak terelakkan dan kita tahu konsekuensinya, yaitu pengabaian ataupun meninggalkan hukum syariat yang dilakukan pada skala negara. Tentu akan menjatuhkan kaum muslimin pada jurang kehinaan dan persoalan-persoalan yang tidak kunjung habis,” sebut Ustazah Iffah. 

Bahkan, menurutnya, negeri-negeri yang dulunya mungkin dianggap minim persoalan, misalnya dianilai sudah sejahtera rakyatnya, kondisi sosial politik yang stabil dan lain-lain, justru malah makin banyak menoleh kepada dunia barat yang sekuler dan liberal. Oleh karenanya, makin hilanglah, menurutnya, kondisi- kondisi baik berupa kesejahteraan, kestabilan ekonomi, maupun stabilitas sosial politik dan lainnya. 

“Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bahwa yang terjadi di Saudi ataupun di negeri-negeri Muslim lain yang makin liberal, harusnya mengingatkan kita semua, umat Islam butuh kepemimpinan Islam, atau sistem politik Islam yang mempraktekkan syariat secara kaffah,” pungkasnya.[] M. Siregar

Posting Komentar

0 Komentar