Penerapan Islam secara Kaffah: Inikah Konsekuensi Logis Keimanan Kaum Muslimin?


TintaSiyasi.com -- Islam adalah agama yang syamil (meliputi segala sesuatu) dan kamil (sempurna). Sebagai agama yang syamil, Islam menjelaskan semua hal dan mengatur segala perkara: akidah, ibadah, akhlak, makanan, pakaian, mumamalah, uqubat (sanksi hukum), dan lain-lain. Tak ada satu perkara pun yang luput dari pengaturan Islam. Hal ini Allah SWT tegaskan di dalam al-Qur’an:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ

Kami telah menurunkan kepada kamu al-Qur’an sebagai penjelas segala sesuatu (TQS an-Nahl [16]: 89).

Islam sekaligus merupakan agama yang kamil (sempurna), yang tidak sedikit pun memiliki kekurangan. Hal ini Allah SWT tegaskan dalam firman-Nya:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian (Islam), telah melengkapi atas kalian nikmat-Ku dan telah meridhai Islam sebagai agama bagi kalian (TQS al-Maidah [5]: 3).

Sayangnya, kaum Muslimin hari ini, khususnya oleh negara (penguasa) justru mempraktikkan dengan sempurna  aturan-aturan sekular yang bersumber dari Barat, baik sistem politik demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme, sistem hukum atau peradilan warisan penjajah Belanda, dan lain-lain. Bukan hanya sebagian aturan Islam yang diterapkan, bahkan sebagian besar hukum Islam dicampakkan.

Padahal dalam pandangan Islam, haram bagi kaum Muslimin untuk mengingkari atau mencampakkan sebagian syariah Islam dari realitas kehidupan dengan mengikuti prinsip sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan) sebagaimana yang dipraktikkan oleh negara saat ini. Karena ini adalah kemungkaran yang amat besar. Siapapun yang mengaku Mukmin tak layak berdiam diri menyaksikan kemungkaran ini.

Keharusan Kaun Muslimin Menerapkan Islam Secara Kaffah

Totalitas dan kesempurnaan Islam tentu tidak akan tampak kecuali jika kaum Muslimin mengamalkan Islam secara kaffah (total) dalam seluruh segi kehidupan. Inilah yang Allah SWT perintahkan secara tegas dalam al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).

Sabab an-nuzûl ayat ini menurut Imam al-Baghawi berkaitan dengan masuk Islamnya seorang Ahlul Kitab Yahudi Bani Nadhir bernama Abdulah bin Salam dan teman-temannya. Namun, setelah memeluk Islam ia tetap menganggap mulia hari Sabtu dan tidak mau memakan daging unta. Mereka pun menyatakan, “Wahai Rasulullah, bukankah Taurat itu adalah Kitabullah? Karena itu izinkanlah kami tetap membaca Taurat itu dalam shalat-shalat malam kami.” Lalu turunlah ayat ini sebagai jawaban (Tafsir al-Baghawi, I/240).

Terkait kata kaffah dalam ayat di atas ada dua pendapat. Pertama, menurut Imam an-Nasafi, kata kaffah adalah hal (penjelasan keadaan) dari dhamir (kata ganti) pada frasa udkhulu (masuklah kalian) yang bermakna jami’an (menyeluruh atau semua kaum Muslimin). Artinya, ayat ini ditujukan untuk semua kaum Muslimin (Lihat: An-Nasafi, Madarik at-Tanzil, I/112).

Kedua, menurut Imam Qurthubi, kata kâffah  berfungsi sebagai hal (penjelasan keadaan) dari kata al-silmi (Islam) (Tafsir al-Qurthubi, III/18). Artinya, melalui ayat ini Allah SWT menuntut orang-orang yang masuk Islam untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan (total). Mereka tidak boleh memilih-milih maupun memilah-milah sebagian hukum Islam untuk tidak diamalkan. Pemahaman ini diperkuat dengan sabab an-nuzul ayat ini, sebagaimana diterangkan di atas, yang  menolak dispensasi beberapa orang Yahudi ketika hendak masuk Islam untuk mengamalkan sebagian isi Taurat.

Menurut Imam ath-Thabari, dalam ayat ini kaum Muslimin diseru untuk menolak semua hal yang bukan dari hukum Islam, melaksanakan seluruh syariah Islam, dan menjauhkan diri dari upaya-upaya untuk melenyapkan sesuatu yang merupakan bagian dari hukum-hukum Islam (Tafsir ath-Thabari, II/337).

Saat menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan, “Allah SWT menyeru para hamba-Nya yang mengimani-Nya serta membenarkan Rasul-Nya untuk mengambil seluruh ajaran dan syariah Islam, melaksanakan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai dengan kemampuan mereka.” (Ibn Katsir,  1/335).

Karena itulah, menurut Syaikh Mahmud Syaltut, Islam menuntut menyatunya syariah dengan akidah, masing-masing tidak bisa dipisahkan. Akidah adalah dasar yang memancarkan syariah, sementara  syariah merupakan wujud nyata yang lahir dari akidah. Dengan kata lain  akidah adalah fondasi, sedangkan syariah adalah bangunan yang berdiri di atasnya. Karena itu akidah tanpa syariah bagaikan fondasi tanpa wujud bangunan sehingga abstrak dan sulit diukur. Sebaliknya, bangunan tanpa fondasi juga tidak mungkin karena ia akan runtuh. Karena itu pula para ulama menyatakan, bahwa keimanan adalah aspek batiniah, sedangkan syariah adalah aspek lahiriah (Al-Kirmani, Jawahir al-Bukhari, hlm. 39).

Dengan demikian Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna, yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada satu pun persoalan yang tidak dipecahkan oleh Islam sehingga masih kabur atau tidak jelas status hukumnya. Demikian sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw.:

قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلاَّ هَالِكٌ

Aku telah meninggalkan kalian dalam keadaan yang terang-benderang, malamnya bagaikan siang harinya. Setelahku tidak akan ada yang tersesat kecuali orang yang celaka (HR Ahmad).

Oleh karena itu, kaum Muslimin diperintahkan untuk hanya melaksanakan seluruh syariah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Tak sepatutnya kaum Muslimin mempraktikkan aturan-aturan lain yang bersumber dari Barat yang diajarkan oleh Motesquie, Thomas Hobbes, John Locke, dll yang melahirkan sistem politik demokrasi, atau yang diajarkan John Maynard Keynes, David Ricardo, dll yang melahirkan sistem ekonomi kapitalisme.

Dengan demikian haram bagi kaum Muslimin untuk mengingkari atau mencampakkan sebagian syariah Islam dari realitas kehidupan dengan mengikuti prinsip sekularime (memisahkan agama dari kehidupan) sebagaimana yang dipraktikkan oleh negara saat ini. Allah SWT dengan tegas mengecam sikap semacam ini:

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab serta mengingkari sebagian yang lain? Tiada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada Hari Kiamat nanti mereka akan dilemparkan ke dalam siksa yang amat keras. Allah tidaklah lalai atas apa saja yang kalian kerjakan (TQS al-Baqarah [2]: 85).

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:

اِنَّ  الَّذِيْنَ  يَكْفُرُوْنَ  بِا للّٰهِ  وَرُسُلِهٖ  وَيُرِ يْدُوْنَ  اَنْ  يُّفَرِّقُوْا  بَيْنَ  اللّٰهِ  وَرُسُلِهٖ  وَيَقُوْلُوْنَ  نُؤْمِنُ  بِبَعْضٍ  وَّنَكْفُرُ  بِبَعْضٍ   ۙ وَّيُرِ يْدُوْنَ  اَنْ  يَّتَّخِذُوْا  بَيْنَ  ذٰلِكَ  سَبِيْلًا  

اُولٰٓئِكَ  هُمُ  الْـكٰفِرُوْنَ  حَقًّا   ۚ وَ  اَعْتَدْنَا  لِلْكٰفِرِ يْنَ  عَذَا بًا  مُّهِيْنًا

"Sesungguhnya orang-orang yang ingkar kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, Kami beriman kepada sebagian dan kami mengingkari sebagian (yang lain), serta bermaksud mengambil jalan tengah (iman atau kafir). Merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya. Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 150-151)

Jadi, tak ada jalan lain bagi seorang muslim selain harus menerapkan syariah Islam secara kaffah sebagai konsekwensi dari keimanannya. Karena jika hanya mengambil sebagian, maka itu terkategori kafir yang sebenarnya. Sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya di atas.

Dampak Buruk Tidak Diterapkannya Islam Kaffah bagi Kaum Muslimin

Sayangnya, apa yang dikecam oleh Allah SWT dalam QS. al-Baqarah ayat 85 di atas justru dipraktikkan dengan sempurna oleh kaum Muslimin hari ini, khususnya oleh negara atau penguasa. Bukan hanya sebagian, bahkan sebagian besar hukum Islam dicampakkan. Sebaliknya, yang diterapkan pada sebagian besar aspek kehidupan kita adalah aturan-aturan sekular yang bersumber dari Barat, baik sistem politik demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme, sistem hukum atau peradilan warisan penjajah Belanda. Jelas, ini adalah kemungkaran yang amat besar. Akibatnya, akan menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat secara umum, khususnya bagi kaum muslimin. 

Sekularisme adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan negara harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu.

Sekularisme juga beranggapan bahwa aktivitas dan penentuan manusia didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan. Dalam istilah politik, sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama dan pemerintahan. Seperti mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.

Sekularisme memiliki akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat. Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan. (Idris, 1991:74). Menurut Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan." (Matius, 22:21).

Sekularisme merupakan akar dari liberalisme yang sejatinya masuk secara paksa ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekuler telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama. (Suminto, 1986:27).

Prinsip sekuler dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial untuk melakukan Islam Politik, yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik. Inti Islam Politik adalah pertama, dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya memberi kebebasan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan Pemerintah Belanda; kedua, dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat mendekati Belanda; ketiga, dalam bidang politik atau kenegaraan, pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam. (Suminto, 1986:12).

Uniknya sebagian kaum Muslimin secara sadar atau tidak justru mengagung-agungkan paham yang satu ini, padahal jika ditelisik lebih dalam ini adalah jelas merupakan produk pemikiran impor dari Barat. Pemikiran sekularisme inilah yang menjadi jalan bagi penjajah untuk tetap menjajah Indonesia meski bukan lagi dalam bentuk penjajahan fisik. Baik penjajahan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan keamanan. Semua ini dibalut dengan ideologi negara yang sudah disepakati bersama. Sayangnya sekularisme ini terus menerus dikampanyekan oleh para pengagumnya.

Sekularisme semakin menggejala sampai detik ini. Ia adalah virus jahat yang kian menyebar ke tubuh kaum muslimin. Korbannya tidak pandang bulu dan tak pandang usia. Mulai dari kalangan atas sampai kalangan bawah. Para cendikiawan muslim, intelektual, pendakwah, pendidik, sampai anak-anak kecil. Berikut merupakan dampak sekulerisme terhadap kehidupan masyarakat.

Pertama: Bidang Pendidikan.

Sistem pendidikan di negeri ini mengarahkan siswa didiknya kearah sekularisme yakni memberi kebebasan beragama, berbicara dan bertingkah laku. Siswa siswi digiring untuk jauh dari aturan agamanya. Dipaksa untuk mengikuti perayaan agama lain atas dalih toleransi. Mereka juga disodorkan oleh tayangan-tayangan yang sama sekali tak mendidik, bukan tontonan yang membentuk generasi yang salih dan bertakwa. Anak-anak didik diarahkan untuk menikmati kehidupan sebatas materi dan kebebasan dalam segala hal.

Bahkan baru-baru ini, artis Yuni Shara menonton film dewasa dengan anak-anaknya dengan dalih sex education. Tentu hal ini menimbulkan kehebohan karena aksi Yuni Shara ini dinilai tak pantas dilakukan  seorang ibu kepada anaknya.

Kedua: Bidang Sosial

Dalam bidang sosial pun dampak buruk penerapan sistem sekuler ini banyak terjadi. Seorang yang ingin taat pada syariat, namun dipandang sebelah mata, aneh dan dinyiyirin bahkan dibilang radikal. Sebagaimana yang diungkap Wali Kota Bandung Oded M Danial yang menyebut ada sekitar 600 pelajar termasuk level SD dan SMP di Kota Bandung, Jawa Barat yang diduga terpapar paham radikalisme. Dia mengklaim jumlah itu diperoleh dari data milik kepolisian. Oded tak merinci data tersebut. Dia hanya mengatakan ada pelajar level SD yang juga sudah terpapar paham radikal. "Ada 600 anak. Ada SMP, bahkan katanya SD juga, di Kota Bandung," kata Oded di Pendopo Kota Bandung, mengutip Antara, Selasa (29/10/2019).

Hal ini juga diungkap oleh Menko Polhukam Mahfud MD di acara ILC tvOne, Selasa (29/10/2019), ketika bicara tentang radikalisme. "Sekarang anak sekolah itu ada loh yang pulang sekolah putri kelas 5 ada temennya laki-laki gak mau keluar, katanya bukan muhrim, padahal masih kecil, sudah bicara muhrim, dilarang oleh agama ketemu laki-laki yang bukan muhrim. Anak kecil diajari seperti itu, masih kelas 5 SD," kata Mahfud.

Menurut Mahfud hal itu adalah virus-virus jahat yang harus diperangi. "Walaupun sedikit tetapi itu harus diperangi, karena mereka kalau tidak dilawan, itu akan mengajarkan virus-virus jahat kepada anak-anak sekolah," tegas Mahfud. Pernyataan Mahfud ini tentu makin membuat bergejolak terutama di kalangan kaum muslimin.

Dalam Peradilan pun demikian, kaum muslimin tak bisa melaksanakan sistem sanksi dalam Islam. Hukum buatan manusia lebih tajam ke bawah dan ke lawan politik. Banyak kriminalisasi terjadi pada ulama dan aktivis dakwah dan tokoh oposisi yang menentang rezim. Dengan dalih ujaran kebencian atau melanggar UU ITE, mereka dicari-cari kesalahannya untuk dijebloskan ke dalam penjara.

Ketiga: Bidang Politik

Dalam bidang politik dan pemerintahan, agama tak boleh mencampuri kehidupan bernegara. Makna politik disalahartikan dengan slogan jangan bawa-bawa agama dalam politik karena politik itu kotor. Padahal politik adalah hal yang tak bisa dipisahkan dari agama. Begitu pun sebaliknya. Politik dalam Islam artinya adalah mengurusi urusan rakyat.

Dalam sistem sekular, kebijakan politik yang diambil senantiasa berpihak kepada para kapitalis. Terkurasnya kekayaan alam Indonesia yang begitu melimpah ruah berupa tambang emas, minyak, dan lainnya adalah bukti keberpihakan tersebut. SDA yang seharusnya dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat, justru diserahkan kepada swasta dan asing. Padahal sistem Islam menolak tegas terjadinya liberalisme ekonomi.

Penerapan sistem sekuler pun menyebabkan wilayah negeri ini menjadi terpecah belah. Lepasnya Timtim adalah sebagai bukti bahwa ideologi sekuler yang dipakai negara selama ini telah gagal menjaga keutuhan negara. Padahal Islam jelas tidak bisa membenarkan hal itu. 

Mengguritanya kasus korupsi pun juga akibat diterapkannya sistem sekularisme yang menjauhkan agama dari kehidupan. Alhasil banyak masyarakat Muslim sendiri yang doyan melakukan korupsi. Dalam hal ini, Islam telah mempunyai solusi jitu untuk pemberantasan korupsi untuk Indonesia yang lebih bersih dari korupsi. Namun sayangnya, negeri ini tampaknya masih ogah untuk menerapkannya.

Itulah dampak buruk akibat penerapan sistem sekularisme di negeri ini. Sistem yang tidak bersandar pada aturan Islam kaffah. Sistem yang hanya mengambil sebagian kecil aturan Islam karena memiliki keuntungan materi seperti dana zakat dan dana haji, namun mengabaikan sebagian besar hukum Islam bahkan mencampakkannya dan melarangnya untuk didakwahkan di negeri ini.

Strategi Kaum Muslimin dalam Menerapkan Islam Kaffah

Saat ini kita dapat menyaksikan kondisi kaum muslimin di dunia ini yang semakin lama semakin memprihatinkan akibat Islam tidak diterapkan secara kaffah. Kehidupan kaum muslimin semakin terpuruk, terjajah, hancur dan tertindas. Kita dapat menyaksikan bagaimana nasib saudara-saudara kita yang ada Palestina, Syiria, Iraq, Afghanistan, Uighur, Chechnya, Rohingya, Thailand Selatan, Filipina Selatan dan sebagainya, mereka dijajah, disiksa, dibantai dan banyak yang diusir dari negerinya, tanpa ada yang melindungi dan membelanya.

Sedangkan di Indonesia, kita juga dapat menyaksikan bagaimana nasib penduduknya yang semakin miskin, harga-harga kebutuhan pokok yang terus membumbung tinggi, kualitas pendidikan yang masih rendah, sumber daya alamnya telah dikuras habis oleh korporasi-korporasi asing, fasilitas kesehatan yang belum memadai, pergaulan pemuda dan pemudinya yang semakin rusak, korupsi yang semakin merajalela, meluasnya praktik ekonomi ribawi, kerusakan lingkungan yang semakin parah, kemaksiatan yang semakin marak dan kini semakin diperparah dengan pandemi Corona yang belum juga berakhir.

Mengapa kondisi kaum muslimin dapat menjadi seperti ini? Jika pertanyaan ini kita kembalikan pada Al-Qur’an, maka kita dapat menjumpai penjelasan dari Allah SWT melalui QS. Thaha: 124. Allah SWT berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى ﴿١٢٤﴾

“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta…”.

Menurut Imam Ibnu Katsir makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah: menyalahi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya (Tafsir al-Quran al-‘Azhim, V/323). Sedangkan penghidupan yang sempit, tidak lain adalah kehidupan yang semakin miskin, sengsara, menderita, terjajah, teraniaya dan sebagainya. Dengan kata lain, keterpurukan nasib umat Islam saat ini penyebabnya tidak lain adalah karena umat Islam telah banyak menyimpang dari aturan Allah SWT atau berpaling dari Al-Qur’an.

Oleh karena itu, saat ini diperlukan sebuah perjuangan besar untuk merubah keadaan dunia yang saat ini masih jauh dari aturan Islam, menuju keadaan yang tunduk dan patuh pada aturan yang berasal dari Allah SWT. Umat Islam memerlukan perubahan besar dunia menuju diterapkannya Syari’at Islam yang kaffah (keseluruhan), sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT. Perintah Allah SWT tersebut telah disampaikan melalui firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah 208:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿٢٠٨﴾

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana caranya agar syari’at Islam itu dapat diamalkan secara kaffah? Syari’at Islam tidak akan dapat diamalkan secara kaffah, kecuali harus ada suatu institusi yang mewadahinya. Institusi tersebut tidak lain adalah Daulah Khilafah Islamiyah. Dengan adanya Daulah Khilafah Islamiyah inilah, Syari’at Islam dapat diamalkan secara menyeluruh, baik dalam akidah, ‘ibadah, makanan, pakaian, akhlaq, maupun dalam pengamalan mu’amalah, seperti sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, peradilan, pendidikan dan politik luar negeri dan sebagainya.

Keinginan kaum muslimin untuk mengembalikan kejayaan Islam, sesungguhnya sudah muncul dimana-mana. Di berbagai belahan dunia kita dapat menyaksikan munculnya kesadaran umum kaum muslimin untuk kembali Syari’at Islam, agar dapat menjadi aturan bagi kehidupannya. Umat Islam juga sudah mulai menyadari, bahwa syari’at Islam tidak mungkin dapat diterapkan, kecuali ada institusi yang mewadahinya, yaitu Daulah Khilafah Islamiyah.

Rasulullah SAW telah mencontohkan kepada umatnya sebuah metode sahih dalam upayanya menegakkan syari’ah Islamiyah. Umat Islam akan mendapati bahwa metode yang ditempuh Rasulullah SAW sesungguhnya melalui beberapa tahapan dakwah yang khas. Secara ringkas, tahapan dakwah yang telah ditempuh Rasulullah SAW tersebut adalah sebagai berikut: 

Pertama: Tahap Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah Tatsqif wa Takwin)

Tahapan ini telah dilakukan Rasulullah SAW ketika memulai dakwahnya di Makkah. Langkah-langkah dakwah yang dilakukan Rasulullah SAW dalam tahapan ini adalah dengan jalan mendidik dan membina masyarakat dengan ‘akidah dan syariah Islam. Pembinaan ini ditujukan agar umat Islam menyadari tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang Muslim. 

Dengan pendidikan dan pembinaan ini, seorang Muslim diharapkan memiliki kesadaran bahwa menegakkan syariah Islam dan Khilafah Islamiyah yang merupakan kewajiban asasi bagi dirinya dan berdiam diri terhadap ‘akidah dan sistem kufur adalah kemaksiatan. Kesadaran seperti ini akan mendorong seorang Muslim untuk menjadikan ‘aqidah Islam sebagai pandangan hidupnya dan syariah Islam sebagai tolok ukur perbuatannya. 

Kesadaran ini akan mendorong dirinya untuk berjuang menegakkan syariah dan Khilafah Islamiyah. Tanpa kesadaran ini, Khilafah Islamiyah tidak pernah akan bisa diwujudkan di tengah-tengah masyarakat. Hanya saja, kesadaran seperti ini tidak akan mendorong terjadinya perubahan, jika hanya dimiliki oleh individu atau sekelompok individu belaka. Kesadaran ini harus dijadikan sebagai “kesadaran umum” melalui propaganda yang bersifat terus-menerus. Dari sinilah dapat dipahami bahwa perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah harus berwujud amal jama’i. Dengan kata lain, harus ada gerakan Islam yang ikhlas yang ditujukan untuk membina dan memimpin umat dalam perjuangan agung ini. Oleh karenanya, dalam aktivitas penyadaran ini, mutlak membutuhkan kehadiran sebuah kelompok politik atau partai politik.

Kedua: Tahap Interaksi dan Perjuangan di Tengah Ummat (Marhalah Tafa’ul ma’a al Ummah)

Setelah lahir individu-individu Islam yang telah tergabung dalam sebuah kelompok dakwah atau partai politik Islam, maka akan dilanjutkan pada tahapan yang kedua, yaitu tahap interaksi dan perjuangan di tengah ummat. Individu-individu Islam yang telah terhimpun dalam partai politik Islam yang ikhlas ini harus diterjunkan di tengah-tengah masyarakat untuk meraih kekuasaan dari tangan umat. 

Hal itu sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah SAW bersama shahabat. Setelah dianggap cukup dalam menjalankan proses dakwah tahap pembinaan dan pengkaderan, kelompok dakwah Rasul SAW selanjutnya diperintahkan Allah SWT untuk berdakwah secara terang-terangan. Allah SWT berfirman:

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ ﴿٩٤﴾

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik” (QS. Al-Hijr: 94).

Dalam menjalankan perintah Allah tersebut, Rasulullah SAW dan para shahabat terjun di tengah masyarakat, berinteraksi dengan masyarakat untuk melakukan proses penyadaran umum tentang pentingnya kehidupan yang harus diatur dengan Syari’ah Islam.

Proses akhir dakwah dari marhalah kedua ini adalah ditandai dengan dilaksanakannya thalabun nushrah (mencari dukungan politik dari ahlun nushrah) kepada para pemimpin qabilah untuk menyerahkan kekuasaannya kepada Rasulullah SAW. Puncak dari marhalah ini adalah ketika Rasulullah SAW berhasil mendapatkan kekuasaan dari para pemimpin qabilah dari Yastrib (Madinah) melalui Bai’atul Aqobah II. 

Dengan demikian, kekuasaan itu hakikatnya hanya bisa diraih jika umat telah rela menyerahkan kekuasaannya kepada kelompok Islam tersebut. Adapun cara untuk meraih kekuasaan dari tangan umat adalah terlebih dulu melakukan proses penyadaran, yaitu menanamkan mafahim (pemahaman), maqayis (standar perbuatan) dan qana’at (keyakinan/kepercayaan) Islam di tengah-tengah mereka; sekaligus memutus hubungan masyarakat dengan mafahim, maqayis dan qana’at kufur dan pelaksananya. 

Dengan cara ini, umat akan mencabut dukungannya terhadap sistem kufur dan pelaksananya, lalu menyerahkan kekuasaannya kepada kelompok Islam yang memperjuangkan syariah dan Khilafah tersebut dengan sukarela. Hanya saja, prosesi seperti ini harus melibatkan ahlun-nushrah, yakni orang-orang yang menjadi representasi kekuasaan dan kekuatan umat, agar transformasi menuju Khilafah Islamiyah berjalan dengan mudah. 

Atas dasar itu, kelompok Islam tidak boleh mencukupkan diri pada aktivitas membina umat dan membentuk opini umum tentang Islam belaka, tetapi harus menuju kekuasaan secara langsung dengan menggunakan metode yang telah digariskan Nabi SAW di atas, yakni thalabun-nushrah. Pasalnya, hanya dengan metode thalabun-nushrahinilah jalan syar’i untuk menegakkan Khilafah Islamiyah, bukan dengan metode yang lain.

Ketiga: Tahap Penerapan Hukum Islam (Marhalah Tathbiq Ahkamul Islam)

Setelah proses thalabun-nushrah berhasil, maka akan masuk tahapan selanjutnya, yaitu penerapan syari’at Islam sebagai hukum dan perundang-undangan bagi masyarakat dan negara secara kaffah. Sebagaimana yang pernah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat, setelah Beliau mendapatkan Bai’atul Aqabah II, beliau melanjutkan dengan hijrah ke Madinah. Di Madinah inilah, Rasulullah SAW dapat memulai penerapan Syari’at Islam secara kaffah. Penerapan Syari’ah Islamiyah ini ditandai dengan diberlakukannya Piagam Madinah yang wajib dita’ati oleh seluruh warga negaranya, baik bagi yang muslim maupun non muslim. Selain penerapan syari’at Islam untuk pengaturan kehidupan masyarakat di dalam negeri, Rasulullah SAW juga menerapkan syari’at Islam untuk politik luar negerinya.

Inilah tahap terakhir dari metode penegakan Syari’ah Islam yang dapat diteladani dari perjalanan dakwah Rasulullah SAW. Setelah perjuangan kelompok Islam memperoleh kekuasaan dari ahlun-nushrah, maka pemimpin dari kelompok Islam tersebut akan dibai’at untuk menjadi Khalifah, dengan tugas menerapkan Islam secara kaffah, baik untuk pengaturan kehidupan di dalam negeri, maupun luar negerinya.

Dengan diterapkannya Islam secara kaffah inilah, insya Allah keagungan Islam akan nampak dalam penerapannya di dalam negeri dan juga akan nampak dari tersebarnya Islam ke seluruh penjuru dunia, untuk menebar rahmat-Nya. Hal itu sebagaimana yang telah dijanjikan Allah SWT dalam Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’: 107. Allah SWT berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi)rahmat bagi semesta alam” (QS al-Anbiya’ [21]: 107).

Dari uraian di atas dapat kami tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Keharusan kaum Muslimin untuk menerapkan Islam kaffah karena diperintahkan oleh Allah untuk hanya melaksanakan seluruh syariah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Tak sepatutnya kaum Muslimin mempraktikkan aturan-aturan lain seperti sistem politik demokrasi maupun sistem ekonomi kapitalisme. Dengan demikian haram bagi kaum Muslimin untuk mengingkari atau mencampakkan sebagian syariah Islam dari realitas kehidupan dengan mengikuti prinsip sekularime sebagaimana yang dipraktikkan oleh negara saat ini. 

2. Dampak buruk yang akan dialami kaum muslimin akibat tidak menerapkan Islam kaffah

Pertama: Dalam bidang pendidikan, siswa didik diberi kebebasan beragama, berbicara dan bertingkah laku. Siswa siswi digiring untuk jauh dari aturan agamanya. Mereka diarahkan untuk menikmati kehidupan sebatas materi dan kebebasan dalam segala hal.

Kedua: Dalam bidang sosial, dampak buruk penerapan sistem sekuler ini banyak terjadi. Seorang yang ingin taat pada syariat, dipandang sebelah mata, aneh dan dinyiyirin bahkan dibilang radikal. Dalam Peradilan pun demikian, umat tak bisa melaksanakan sistem sanksi dalam Islam. Hukum buatan manusia lebih tajam ke bawah dan ke lawan politik. Banyak kriminalisasi terjadi pada ulama dan aktivis dakwah dan tokoh oposisi yang menentang rezim.

Ketiga: Dalam bidang politik dan pemerintahan, agama tak boleh mencampuri kehidupan bernegara. Terkurasnya kekayaan alam Indonesia yang begitu melimpah ruah berupa tambang emas, minyak, dan lainnya karena diambil swasta dan asing, lepasnya Timtim dan banyaknya kasus korupsi adalah akibat diterapkannya sistem sekularisme yang menjauhkan agama dari kehidupan. 

3. Adapun strategi kaum muslimin dalam menerapkan Islam kaffah yakni kaum muslimin harus menyadari, bahwa syari’at Islam tidak mungkin dapat diterapkan, kecuali ada institusi yang mewadahinya, yaitu Daulah Khilafah Islamiyah. Kaum muslimin sepatutnya mencontoh metode dakwah yang telah ditempuh Rasulullah SAW dalam mewujudkan institusi Daulah Islamiyah yakni: Tahap Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah Tatsqif wa Takwin), Tahap Interaksi dan Perjuangan di Tengah Ummat (Marhalah Tafa’ul ma’a al Ummah) dan Tahap Penerapan Hukum Islam (Marhalah Tathbiq Ahkamul Islam).

Oleh: Achmad Mu’it
Analis Politik Islam dan Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

Nb MATERI KULIAH UNIOL 4.0 DIPONOROGO (Ahad, 11 Juli 2021)
Di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum
Hum #Lamrad #LiveOppressedOrRiseUpAgainst

1. Buletin Kaffah No. 001, 11 Agustus 2017/18 Dzulqa’dah 1438 H.

2. Puput Purwanti, “3 Dampak Sekularisme Terhadap Kehidupan Masyarakat”, 2019.

3. Dwi Condro Triono, PhD, “Metode Penegakan Khilafah”, 2013.

Posting Komentar

0 Komentar