Inilah Penyebab Keruntuhan Khilafah Utsmani


TintaSiyasi.com -- Filolog dan Sejarawan Salman Iskandar menjelaskan, penyebab keruntuhan Khilafah Utsmani adalah ketika mereka meninggalkan syariat Islam. “Peradaban itu mengalami kemunduran, ketika umat Islam meninggalkan syariat-Nya,” disampaikan di YouTube Ngaji Subuh episode 976 bertajuk Keruntuhan Khilafah Utsmani: Jangan Salahkan Mustofa Kemal, Sabtu, 14 Januari 2023.

Ia menjelaskan, khilafah adalah perisai (junnah) kaum Muslimin. Junnah itu penting, puncak perjuangan kemegahan peradaban. Keruntuhan Utsmani diawali dengan kemunduran pemerintahan, yaitu ketika modernisasi yang menyelisihi syariat. Dikatakan menyelisihi syariat itu ketika mengadopsi berbagai peraturan perundang-undangan dan hukum-hukum yang kemudian justru bertentangan dengan Islam. 

"Karena menjadikan Prancis dan juga Inggris sebagai kiblat kemajuan peradaban. Nah ini jadi masalah. Kita bisa menyaksikan pada masa reformasi dan moderasi ini. Pemerintah Utsmani itu berlangsung selama 68 tahun yang kemudian dilalui oleh empat orang Sultan," katanya. 

Ia menjelaskan, Sultan Mahmud kedua dilanjutkan oleh putranya Sultan Abdul Majid ke satu. Kemudian dilanjutkan oleh putra keduanya Sultan Abdul Aziz, kemudian dilanjutkan oleh cucunya Sultan Murad kelima. "Empat orang Sultan ini berupaya untuk memodernisasi dan mereformasi keberadaan Utsmaniyah yang sudah mulai mundur. Di berbagai sisi kehidupannya. Mundur di semua bidang pemerintah kekuasaan ketatanegaraan. Maka empat orang sultan ini mereformasi keberadaan Utsmaniyah dengan menjadikan Barat kiblat kemajuan tadi, yaitu, negara-negara Eropa khususnya Prancis dan juga Inggris," katanya.

Ia melanjutkan, satu di antara kuasa dari Sultan Mahmud yang kedua ini ditandai dengan pembubaran pasukan khusus Janisari pada tahun 1826 sekaligus juga pada masa kekuasaan dari putranya yaitu Sultan Abdul Hamid ke-1. Yang kemudian melakukan upaya reformasi di tubuh pemerintah Utsmaniyah itu. Dengan tanzimat reform pada tahun 1839 yang menandai awal mula modernisasi sekaligus juga liberalisasi dan sekularisasi Utsmaniyah pada masa Sultan Hamid ke-1, katanya.

"Gejolak internal kekuasaan pada kesultanan empat Utsmani pemerintah Utsmaniyah berusaha mengembalikan Islam ke jalurnya yang benar dengan Islam. Jadi, pemerintah Utsmani itu mengatasnamakan Islam dan umat Islam sebagai pemimpin umat seluruh dunia. Maka pada kekuasaan pemerintahan Utsmani kedua pemerintah berusaha mengembalikan kemuliaannya berdasarkan Islam. Setelah mengalami gejolak selama kurang lebih 60 tahunan semenjak kepemimpinan Sultan Mahmud kedua sampai ke Sultan Murad ke-5," jabarnya.

Bicara soal kepemimpinan dari Sultan Abdul Majid yang pertama, ia menjelaskan, Sultan Abdul Majid yang pertama adalah yang menandatangani piagam yang berkenaan dengan tanzimat reform pada sekitar tahun 1839 maka berbagai penyelewengan terhadap syariat itu dimulai. 

"Apalagi pada waktu itu yang menjalankan Kekuasaan pemerintah ketatanegaraan itu, sebetulnya bukan Sultan atau Khalifah. Tetapi perdana menteri yang kemudian memiliki kuasa penuh atas roda kekuasaan ketatanegaraan yang di situ perdana menterinya adalah sosok yang diketahui sebagai perdana menterinya Mustofa Rasyid Pasha. Mustofa ini adalah negarawan Utsmani yang terdidik pola pikirnya berdasarkan cara pandang Barat," jelasnya. 

Ia menjelaskan, sosok perdana menteri itu merupakan lulusan dari Prancis dan dia terkagum-kagum dengan perbendaharaan peradaban Prancis yang demikian modern. Pasca-terjadinya revolusi Perancis. Semangat egalite, libreto, dan veternaite, itu dibawa ke Istanbul. Makanya pada Kekuasaan Sultan Abdul Majid ke-1, begitu ayahanda dari Sultan Hamid kedua menandatangani dan menyepakati Piagam Burhani pada tahun 1839, maka di situ ditandai masuknya berkenaan pemikiran egalite, libreto, dan veternaite di tubuh pemerintahan kekuasaan Utsmaniyah yang ada di Istanbul.

Ia menyebut, sekitar tahun 1839 berkenaan dengan Piagam Tanzimat Reform (Piagam Utsmani), maka berbagai penyelewengan syariat itu dimulai. Selain itu, adanya paham kebebasan juga memperburuk pemerintahan secara internal.

“Pada tahun 1856 dalam catatan sejarah adanya Piagam Humayun diketahui bahwa Sultan memperkenankan hukum-hukum sipil, hukum-hukum yang tidak berbasiskan syariat Islam itu berlaku, alias mengadopsi hukum-hukum yang bertentangan dengan syariat," jelasnya.

Ia menjelaskan, pada tahun 1845 demokratisasi itu mulai mengemuka di tubuh kekuasaan pemerintahan Utsmaniyah dengan membentuk seperti layaknya parlemen dalam sistem demokrasi. "Adanya dewan perwakilan rakyat itu, mereka bebas untuk menyuarakan pendapatnya, usulannya, aspirasinya kepada pemerintahan pusat yang ada di Istanbul," katanya.

"Sekaligus juga perwakilan dari anggota parlemen itu tidak lagi memperhatikan berkenaan apa yang dianut, apa yang kemudian dipeluk, yaitu berkenaan dengan ide ideologi atau bahkan berkenaan unsur keagamaan. Tidak lagi memerintahkan konsepsi tauhid," imbuhnya.

Ia memaparkan, orang-orang Nasrani orang-orang Yahudi pun, ataupun orang-orang yang atheis sekalipun, dipersilakan bergabung dengan majelis wakil rakyat ini.
Kemudian pada tahun 1856 pada masa kekuasaan Sultan Abdul Majid pertama dikeluarkan Piagam Humayun. Dalam piagam itu diketahui dalam catatan sejarah itu bahwa Sultan memperkenankan hukum-hukum sipil, hukum-hukum umum yang tidak berbasiskan pada syariat Islam untuk diberlakukan.

Bahkan, katanya, aspirasi di antara umat manusia yang berbeda keyakinan dengan umat Islam secara keseluruhan pun dipersilakan untuk kemudian diamalkan. "Maka kalau kita mengenal LGBT sekarang di era Utsmaniyah jika ada perilaku yang menyimpang seperti itu. Itu pun legal formal berdasarkan Piagam Humayun tadi. Kalau mereka mau ekspresikan aspirasinya, kepentingannya, tindak tanduk perilakunya, dengan adanya piagam tersebut aktivitas menyimpang sekalipun legal formal," katanya.

Ia mengatakan, hal itu terjadi karena pemerintah Utsmaniyah sudah mengadopsi pemahaman liberte tadi. Pemahaman kebebasan tadi inilah yang memperburuk pemerintahan Utsmani secara internal.

Ia memperjelas, "Syariat Islam hanya sebagai opsi saja hanya sebagai pilihan saja. Bahkan parahnya lagi, aspirasi di antara umat manusia yang berbeda keyakinan dengan umat Islam, secara keseluruhan pun dipersilakan untuk kemudian diamalkan."

Menurut dia, peradaban itu mengalami kemunduran secara internal, kekuasaan pemerintahan demikian mengalami kekeroposan, karena umat meninggalkan syariat, maka keropos itu makin mengemuka. "Padahal, dari Umar bin Khattab r.a. mengatakan, tidak ada kemuliaan selain Islam dan tidak mungkin ada penerapan Islam terkecuali dengan penegakan syariat Islam,” pungkasnya. [] Titin Hanggasari



Posting Komentar

0 Komentar