Transaksi Immoral "Wanita Emas" dalam Bisnis Industri Hukum Tata Negara: Penanda NKRI Bubar 2030?


TintaSiyasi.com -- Miris! Di negara yang konon mengaku sebagai negara hukum yang religius, namun hingga penghujung tahun 2022 ini, kita bangsa Indonesia disuguhi tontonan praktik industri hukum secara telanjang. Belum berakhir praktik industri hukum di bidang penegakan hukum pidana terkait dengan tragedi Joshua yang terbunuh secara keji dalam tugas dengan dalang FS yang waktu itu masih menjabat sebagai Kadiv Propam, tragedi penegakan hukum di Kanjuruhan, disusul penerbitan kebijakan formulasi di bidang hukum pidana dengan disahkannya RKUHP yang masih kontroversial, kini di bidang hukum tata negara kita disuguhi tontonan dugaan adanya tragedi dalam penyelenggaraan Pemilu terkait dengan adanya dugaan hubungan transaksional immoral antara Ketua KPU HA dan "Wanita Emas" HM. 

Perihal kasus terakhir dapat dikatakan sebagai praktik bisnis industri hukum oleh karena diduga pertimbangan untung rugi (profit) atau vested interest lebih diutamakan dari pada pertimbangan kebenaran dan keadilan oleh para pelaku terkait dengan dugaan adanya gratifikasi seksual (melalui pengakuan HM) dan dugaan rekayasa hasil pemilu tahun 2024 (melalui pengakuan HM). Meski pada akhirnya ada pernyataan klarifikasi HM terkait dengan pengakuannya tersebut, bagi saya hal itu tidak mampu menghilangkan jejak dan bau amis busuk dalam  kedua dugaan perbuatan tercela oleh oknum penyelenggara Pemilu. 

Di dalam penegakan hukum di Indonesia, istilah industri hukum mulai dikenal dalam penegakan hukum pidana. Sistem peradilan pidana di Indonesia ditengarai telah lama menjadi industri hukum sebagaimana disinyalir oleh Menkopolhukam Mahfud MD dalam forum ILC pada 11 Februari 2020. Ia menemukan praktik hukum di mana orang yang benar dibuat salah dan orang salah dibuat benar. Juga praktik pengalihan perkara dari pidana ke perdata dan sebaliknya. Bahkan katanya, ada polisi yang membuat surat kaleng untuk dirinya sendiri agar dapat menceraikan istrinya. Ini merupakan sindiran tajam terhadap praktik yang diselenggarakan, baik oleh polisi, jaksa, hakim, maupun advokat. Maka, tak heran jika saat ini penegakan hukum lebih berorientasi pada untung-rugi  (dagang) dengan mengabaikan persoalan kebenaran dan keadilan. Keadaan ini persis dengan pernyataan William T. Pizzi tentang trials without truth.  

Bilamana praktik-praktik industri hukum oleh oknum-oknum penegak hukum di negeri ini benar adanya dan terus dibiarkan, maka akan memunculkan adanya berbagai corporation atau perusahaan dan perbisnisan di dunia hukum, di antaranya:

1. Police Corporation
2. Prosecutor Corporation
3. Court Corporation
4. Prison Corporation dan
5. Advocate Corporation

Bukankah begitu logika sederhananya?

Yang terakhir akan terjadi: Indonesia corporation. Bila demikian, maka sesungguhnya negara ini telah menjelma menjadi perusahaan raksasa yang berwajah dingin tetapi bengis terhadap rakyatnya sendiri. Hilang karakter diri sebagai negara benevolen. Yang tersisa boleh jadi tinggal hubungan bisnis antara produsen dan konsumen. Produsennya Negara dan Swasta sedang konsumennya adalah rakyatnya sendiri. Akhirnya kepengurusan negara ini hanya sebatas profit bukan benefit. Itukah yang diinginkan, ketika Negara Hukum Kesejahteraan Sosial kita akan bermetamorfosis menjadi negara industri hukum?

Kembali pada dua dugaan peristiwa tercela yang diakui oleh HM, yakni adanya transaksi gratifikasi seksual serta perencanaan rekayasa hasil pemilu 2024, keduanya dapat disebut sebagai praktik industri hukum, yakni penegakan hukum, khususnya di bidang hukum tata negara, yang berorientasi pada pertimbangan untung rugi melalui tindakan desktruktif dan immoral yakni yang salah bisa dibenarkan dan yang benar bisa disalahkan.

Sebelum video klarifikasi HM tertanggal 11 Desember 2022, publik disuguhi video viral tentang seorang perempuan yang dijuluki "wanita emas" yang mengaku mendapatkan pelecehan sexual hingga muncul frase "barangnya masuk" oleh Ketua KPU. Video pengakuan itu bukan dibuat oleh HM tetapi oleh orang lain dengan disaksikan langsung melalui cara interview oleh Pengacara Farhat Abas dan beberapa Ketua Partai yang tidak lolos verifikasi sebagai peserta pemilu 2024, misalnya Ketua Partai Masyumi Mas Ahmad Yani. Dalam video tersebut HM menyatakan bahwa perilaku asusila yang dilakukan oleh HA terhadapnya didukung dengan bukti-bukti yang kuat. Menurut pengakuannya, HM dijanjikan oleh Ketua KPU HA bahwa partainya akan diloloskan verifikasi menjadi peserta pemilu 2024, namun ternyata janji tersebut tidak diloloskan. Ketua umum Partai Republik Satu HM alias 'Wanita Emas' tanggal 22 Desember 2022 melaporkan Ketua Umum Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI HA ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait dugaan pelecehan seksual.

Pada kasus ini, yang cukup aneh adalah munculnya video klarifikasi dari HM yang menganulir pernyataan pengakuan atas terjadinya perilaku asusila Ketua KPU HA yang ternyata dibuat tanggal 11 Desember 2022 sementara dirinya melalui Pengacara Farhat Abas melaporkan Ketua KPU HA ke DKPP tanggal 22 Desember 2022. Lalu buat apa ada laporan ke DKPP jika ternyata HM sendiri telah membantah pengakuannya melalui video tertanggal 11 Desember 2022? Apakah laporan ke DKPP itu juga sebagai bentuk bantahan bahwa video klarifikasi tertanggal 11 Desember 2022 itu dibuat dalam keadaan tertekan, terpaksa dan disertai adanya ancaman atau hadiah tertentu? Dalam perspektif hukum, saya kira video 11 Desember 2022 tersebut harus diabaikan dan berarti DKPP mempunyai kewajiban memeriksa atas laporan HM melalui Pengacaranya, Farhat Abas dkk.

Terlepas dari proses hukum formal, dugaan peristiwa pelecehan seksual kepada rakyat yang sedang memperjuangkan nasibnya oleh pejabat negara merupakan perbuatan amoral atau asusila bahkan bisa dikategorikan sebagai "gratifikasi seksual".  Hal ini juga menunjukkan minimnya akhlaq penyelenggara negara sekaligus menggambarkan betapa rusaknya sebuah lembaga dalam perspektif moralitas, sementara negeri ini mendeklarasikan diri sebagai religious nation state melalui sila pertama Pancasila dan Pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Penyelenggara negara dan rakyat yang dilayani telah bersekongkol untuk menabrak "pager ayu", norma tatanan tingkah laku yang seharusnya membingkai perilakunya. Terlepas dari alasan tindakan amoral itu dilakukan atas dasar suka sama suka ataukah adanya rudapaksa atau tebusan atau syarat untuk mendapatkan sesuatu, perilaku tersebut menjadi penanda adanya kerusakan moral pejabat negara dan  juga rakyat. Demi profit industri hukum yang tengah berjalan, agama dikesampingkan, norma moral dihilangkan bahkan rasa malu di kubur dalam-dalam. Lalu di mana prinsip yang diagungkan dalam negara Pancasila ini bahwa: "No law without morality, no morality without religion". Semuanya ambyar, bukan? Bahaya bagi NKRI, bukan?

Transaksi "Wanita Emas", kali ini mungkin merupakan fenomena puncak gunung es, dan jika benar, boleh jadi Ketua KPU HA sedang mengalami naas atau apes. Kerusakan moral itu sebenarnya sudah menjangkiti semua lini kehidupan bangsa dan negara ini. Untuk membuktikan kebenaran transaksi "wanita emas" dengan Ketua KPU terkait adanya dugaan gratifikasi seksual, maka proses hukum formal di DKPP harus tetap berlanjut karena pengakuan bukanlah satu-satunya alat bukti. Agar proses di DKPP bisa berjalan secara fair trial, maka sebaiknya Ketua KPU HA diberhentikan sementara dari jabatannya. Jika dugaan adanya bisnis industri hukum dalam lapangan hukum tata negara tidak segera diberantas, maka ramalan yang disampaikan oleh Prabowo Subiyanto (2018) yang mengutip novel fiksi ilmiah 'Ghost Fleet: A Novel of the Next World War' karya PW Singer and August Cole, 2015 bahwa Indonesia akan bubar pada tahun 2030 bisa terjadi. Bahaya, bukan?

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H. M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat?
Tabik..!
Semarang, Selasa: 27 Desember 2022

Posting Komentar

0 Komentar