OTT Shock Therapy Pemberantasan Tipikor: Why Not?


TintaSiyasi.com -- Absurd! Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyebut kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya membuat nama Indonesia menjadi jelek. Menurutnya, lebih baik di surga saja apabila hendak hidup secara bersih. Ia menyarankan ketimbang OTT, upaya digitalisasi dan efisiensi menjadi jalan mencegah korupsi. Demikian pidato Luhut dalam Launching Stranas PK Tahun 2023-2024, di Jakarta, Selasa (20/12/2022) (suara.com, 21/12/2022).

Juru Bicara KPK, Ali Fikri menilai pernyataan Luhut keliru. Menurut Ali, cara kerja KPK tidak hanya fokus pada penindakan. Selain pendekatan lewat pendidikan antikorupsi, saat KPK OTT terhadap kepala daerah atas kasus suap, juga intens mendampingi seluruh instansi di Pemda, baik eksekutif maupun legislatif yang menghasilkan temuan berguna bagi KPK untuk memonitor upaya pencegahan sehingga korupsi tak terulang (pikiran-rakyat.com, 21/12/2022).

OTT dan KPK bak dua sisi mata uang yang tak terpisahkan dalam praktik pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor) di Indonesia. Meski tak dikenal dalam KUHAP, OTT bisa menjadi shock therapy dan alat ampuh untuk membuktikan adanya sense of crisis kita terhadap pemberantasan tipikor yang disepakati sebagai extraordinary crime. Dua sarana penyadapan dan penjebakan merupakan instrumen canggih untuk segera mengungkap tipikor.

Kalau tak mau sedikit-sedikit OTT, maka jangan korupsi. Terlebih sebagai pejabat, harus amanah dan bersih dari perilaku bejat ini. Bila bersih, mengapa risih (dengan OTT)?

Upaya Pemberantasan Korupsi bak Jauh Panggang dari Api

Tipikor masih menjadi permasalahan pelik di Indonesia. Transparency International Indonesia mengeluarkan indeks persepsi korupsi yang menunjukkan Indonesia di peringkat 96 dari 180 negara pada awal tahun 2022. Perilaku korupsi ini terkait erat dengan dimensi penyuapan, pengadaan barang dan jasa, serta penyalahgunaan anggaran yang umumnya dilakukan pihak swasta dan pegawai pemerintahan.

Tak dipungkiri, pemberantasan korupsi telah dilakukan di setiap era kepresidenan Indonesia. Dari masa Soekarno hingga era Jokowi. Di rezim Jokowi, kebijakan pemberantasan korupsi tertuang dalam Nawacita prioritas kedua dan keempat, berisi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan pemulihan kepercayaan publik pada institusi demokratis negara melalui reformasi birokrasi dan reformasi lembaga, serta upaya penegakan hukum.

Namun secara mendasar, penegakan hukum terhadap tipikor di Indonesia masih tergolong lemah di tengah besarnya jumlah korupsi. Pemerintah seolah kehilangan kekuatan melawan koruptor. Buktinya, beberapa kasus tidak selesai dan hukuman yang belum memberi efek jera sehingga korupsi terus terjadi.

Dalam Siaran Pers (15/12/2022), Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis, pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada 6 Desember 2022 lalu, dinilai mengganjal harapan masyarakat agar koruptor dihukum seberat-beratnya. 

Hal ini menunjukkan arah politik hukum pemberantasan korupsi kian tidak jelas dan mundur. Sebagian besar rumusan pasal tipikor dalam RKUHP justru memberangus kerja pemberantasan korupsi.

Jika ditarik mundur, pangkal persoalan utamanya pada ketidakjelasan orientasi pemerintah dan DPR dalam merumuskan strategi pemberantasan korupsi. Meski dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tahun 2022 lalu, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pangkal dari tantangan pembangunan di Indonesia adalah korupsi, namun justru dijawab melalui pengesahan RKUHP yang mengakomodir penurunan hukuman bagi koruptor. Ironis bukan?

Secara substansi, ICW memberikan empat catatan kritis terkait pasal tipikor dalam KUHP baru. Pertama, hilangnya sifat kekhususan tipikor. Meleburkan pasal tipikor ke dalam KUHP justru akan menghilangkan sifat kekhususannya menjadi tindak pidana umum. Sehingga korupsi tak lagi disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). 

Terlebih, Indonesia sebagai negara peserta Konvensi PBB menentang korupsi (UNCAC) masih belum mengkriminalisasi sejumlah delik rekomendasi di dalamnya. Sehingga seharusnya lebih memprioritaskan revisi UU Tipikor daripada memasukkan pasal tipikor bermasalah dalam KUHP.

Kedua, duplikasi pasal pada tindak pidana utama (core crimes) yang diatur dalam KUHP dengan UU asal. Misalnya, dalam pasal 603 KUHP yang merupakan bentuk serupa dari Pasal 2 UU Tipikor. Permasalahannya, pasal dalam KUHP tersebut justru menurunkan ancaman minimal pidana badan yang sebelumnya 4 tahun (dalam UU Tipikor) menjadi 2 tahun dan denda sebelumnya minimal Rp 200 juta menjadi Rp 10 juta.

Jika dalam satu kasus terdapat penggunaan dua UU dengan duplikasi dan delik yang sama namun ancaman pidananya berbeda, hal ini justru membuka peluang bagi aparat penegak hukum menggunakan diskresinya untuk ‘jual-beli’ pasal yang paling menguntungkan bagi tersangka korupsi. 

Rendahnya ancaman pemidanaan bagi pelaku tipikor dalam KUHP baru membuat agenda pemberantasan korupsi kian mengenaskan. Pasalnya, berdasarkan catatan Tren Vonis ICW tahun 2021, dari 1.282 perkara korupsi, rerata hukuman penjaranya hanya 3 tahun 5 bulan. 

Pertanyaannya, bagaimana bisa pemerintah dan DPR berpikir bahwa di tengah meningkatnya kasus korupsi dan rendahnya hukuman bagi koruptor, justru dijawab dengan menurunkan ancaman hukum penjara bagi pelaku? Persoalan ini diperparah dengan disahkannya UU Pemasyarakatan yang memudahkan terpidana kasus korupsi mendapat remisi dan pembebasan bersyarat tanpa harus melunasi pidana tambahan denda dan uang pengganti, serta tidak harus menjadi justice collaborator.

Ketiga, tidak memasukkan ketentuan mengenai pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Hal ini tentu kian meruntuhkan semangat pengembalian aset hasil kejahatan.

Catatan ICW dalam tren vonis 2021, dari total kerugian negara sebesar Rp 62,9 triliun, uang pengganti hanya mencapai Rp 1,4 triliun. Pada saat yang sama, sejumlah regulasi penting seperti Rancangan UU Perampasan Aset justru tidak dimasukkan dalam program legislasi
nasional prioritas.

Keempat, berpotensi menghambat proses penyidikan perkara korupsi. Sebab, dalam penjelasan Pasal 603 KUHP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan merugikan keuangan negara adalah berdasarkan hasil pemeriksaan lembaga audit keuangan negara. 

Definisi tersebut mengarahkan bahwa pihak berwenang yang dimaksud hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sementara hasil perhitungan kerugian negara oleh BPK kerap memakan waktu lama sehingga menghambat proses penetapan tersangka oleh penegak hukum.

Pengaturan dalam KUHP tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa penegak hukum tidak hanya dapat berkoordinasi dengan BPK saat menghitung kerugian negara. Tetapi juga dengan instansi lain, bahkan memungkinkan penegak hukum untuk membuktikan sendiri di luar temuan lembaga negara tersebut.

Jadi formulasi pasal tipikor dalam KUHP menjadi ‘kado manis’ dan 'karpet merah' bagi koruptor untuk kesekian kalinya. Hal ini menambah daftar panjang rentetan upaya pelemahan pemberantasan korupsi di era Presiden Jokowi. Dengan melihat permasalahan di atas, pemberantasan korupsi seolah hanya utopi. Bak jauh panggang dari api.

Pemberantasan Tipikor Melalui OTT Berdampak Baik terhadap Citra Indonesia

Terdapat pro dan kontra terkait tindakan OTT oleh KPK. Pihak yang pro menyatakan bahwa OTT merupakan cara tepat untuk menangkap para koruptor karena tidak memerlukan alur birokrasi panjang dan menghasilkan barang bukti yang konkret. Di sisi lain, pihak yang kontra menganggap pelaksanaan OTT menyalahi aturan dalam KUHAP. Disebut menyalahi karena terminologi dalam KUHAP adalah “tertangkap tangan” dan bukan “operasi tangkap tangan” seperti yang selama ini dilakukan oleh KPK.

Dan benarkah OTT membuat citra negara jelek sebagaimana pernyataan Pak Luhut? Kami tak sepakat dengan pandangan tersebut. Pasalnya, bila melihat realitas OTT sebagai senjata utama KPK dalam pemberantasan korupsi selama ini, maka ini akan berdampak positif terhadap citra Indonesia. Alasannya sebagai berikut:

Pertama, OTT adalah cermin konsistensi negara memberantas korupsi. Bukankah di rezim sekarang, kebijakan pemberantasan korupsi telah menjadi prioritas yang terkandung dalam Nawacita? OTT mestinya merupakan salah satu wujud keseriusan menjalankan program politik Jokowi tersebut.

Kedua, OTT merupakan bentuk sense of crisis atas maraknya korupsi di negeri ini. OTT bisa dinilai sebagai salah satu bentuk kepekaan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan dalam menghadapi krisis korupsi yang idealnya dilakukan secara tangkas, tepat sasaran, dan tidak bertele-tele, sehingga mampu menjadi solusi. 

Ketiga, OTT setidaknya menjadi shock teraphy tersendiri bagi orang khususnya pejabat yang akan melakukan tipikor. Di tengah masih bercokolnya sistem hidup atau aturan yang membuka peluang terjadinya korupsi, OTT paling tidak membuat orang malu bila tetap bandel melakukan korupsi.

Keempat, OTT merupakan salah satu cara ampuh dalam penindakan kasus korupsi. Banyak kasus yang pengembangannya dimulai dari OTT. Melalui mekanisme OTT, banyak orang yang terseret korupsi dari pejabat, swasta, aparat, yang dibawa ke proses pengadilan. 

Kelima, OTT KPK dinilai penting untuk menutup celah korupsi seiring proses pencegahan, misalnya usai digitalisasi sistem. Upaya pemberantasan korupsi harus berjalan secara terpadu dan tidak bisa dipisahkan antara pencegahan dan penindakan hukum seperti OTT. OTT tidak bisa dihindari jika masih terjadi pelanggaran.

Keenam, OTT merupakan bentuk inovasi penegakan hukum. Diharapkan akan berefek dua hal yaitu rasa takut pejabat untuk melakukan korupsi dan membuka penyidikan kasus korupsi. Untuk melakukan OTT pun tidak bisa sembarangan. Melalui proses panjang dari pengawasan hingga mendapatkan setidaknya dua barang bukti.

Dengan demikian, OTT justru akan meningkatkan citra positif Indonesia sebagai negara yang berkomitmen memberantas korupsi. Pernyataan Luhut bahwa OTT akan merusak citra Indonesia dinilai absurd, tidak masuk akal, serta terkesan permisif terhadap korupsi. Hal ini tentu berbahaya bagi pemberantasan korupsi. Bukankah pelemahan terhadap pemberantasan korupsi sebagaimana yang diduga terus dilakukan terhadap KPK, yang justru membuat citra buruk Indonesia?

Strategi Pemberantasan Tipikor dengan OTT yang Mampu Mempertahankan Citra Indonesia

Di satu sisi, OTT dinilai oleh para pegiat antikorupsi masih sebagai cara mujarab memberantas korupsi. Namun di sisi lain, ditemukan upaya pelemahan pemberantasannya. Seperti dugaan KPK yang saat ini dilumpuhkan secara halus, pelan-pelan dikerdilkan dengan hanya menangani kasus-kasus kecil dan dilokalisir pada aktor di level daerah tingkat dua saja. 

Mantan Penyidik Senior KPK, Novel Baswedan menyebut, pemberantasan korupsi yang dilemahkan justru membuat pandangan negara-negara lain terhadap Indonesia menjadi kurang positif. Ia mengetahui informasi ini ketika Ketua IM 57+ Institute Praswad Nugraha diundang dalam acara peringatan Hari Antikorupsi di Malaysia yang dihadiri lebih dari 14 negara. Menurut Novel, mereka menyayangkan kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia yang melemah.

Maka, layak untuk digagas strategi pemberantasan tipikor dengan OTT hingga mampu memberantas korupsi sekaligus menguatkan citra Indonesia. Strategi tersebut adalah:

Pertama, pemberantasan korupsi dilakukan secara terpadu yakni dalam aspek pendidikan, pencegahan, dan penindakan. Tanpa edukasi dan pencegahan, korupsi akan meluas. Pun ketika penindakan tidak dilakukan maka pencegahan dan pendidikan tidak akan efektif.

Kedua, terkait fakta tipikor dan respons pejabat menanganinya, semestinya akhlak pejabat publik hingga ke tingkat akar rumput harus segera dibenahi. Kalau kita mengikuti alur pikir ala Luhut sementara pelemahan KPK terus terjadi, maka korupsi tak akan surut bahkan meninggi.

Narasi Luhut "Kalau mau bersih di surga saja" seolah menjustifikasi tipikor. Seakan menganggap wajar jika pejabat nakal dikit, GB korupsi dikit-dikit, berdalih orang hidup tidak ada yang sempurna, dan seterusnya. Padahal agama apa pun tidak membolehkan umatnya korupsi. Bahkan Islam mengajarkan untuk tidak mencampuradukkan kepentingan pribadi dan negara, sebagaimana Umar bin Khattab r.a. mematikan lampu rumah dinasnya saat tidak sedang menjalankan kepentingan kenegaraan.

Ketiga, pemberantasan korupsi bukan hanya menggunakan jalur OTT namun sekaligus case building. Adanya sorotan terhadap OTT dan lebih memilih case building karena membuat KPK lebih leluasa mengeksplorasi kasus, jika memang bertujuan untuk pengembangan tipikor, mestinya dari sisi hukum acara, waktu penangkapan bisa diperpanjang menjadi empat belas hari bahkan bisa ditambah tujuh hari seperti tindak pidana extraordinary crime terorisme.

Keempat, OTT KPK tak hanya fokus mengungkap kasus kelas teri, tapi juga menuntaskan penyidikan kasus kelas kakap yang skala kerugian negaranya besar. Salah satunya korupsi bantuan sosial (bansos).

Kelima, posisi KPK harusnya independen dan terbebas dari intervensi politik. Sayangnya, pasca-pengesahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, KPK dinilai tak lagi independen dalam pengelolaan SDM karena ada kewenangan lembaga-lembaga lain. 

Berdasarkan UU KPK hasil revisi, status pegawai lembaga antirasuah itu berubah menjadi aparatur sipil negara (ASN). Dalam proses alih status, terdapat beberapa lembaga negara terlibat yakni Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Lembaga Administrasi Negara (LAN), serta Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Demikian strategi pemberantasan tipikor dengan OTT yang mampu mempertahankan citra Indonesia. Dan patut diingat bahwa maraknya korupsi di semua lini tak hanya karena faktor pelaku, juga sistem yang mendukungnya. Dalam sistem demokrasi oligarki, semua hal termasuk UU yang mengarah pada pelemahan pemberantasan korupsi bisa dikondisikan sesuai kehendak penguasa. Tak ada patokan kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Teladan sulit dicari karena tolok ukurnya juga nisbi. 

Mau solusi tuntas berantas korupsi? Pikirkan juga untuk mengganti sistem pendukungnya ke sistem alternatif yang menjaga manusia bersih dari tindakan tercela yaitu sistem Islam yang bersumber dari firman Allah SWT dan Rasul-Nya.[]

Oleh: Prof. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik Media)


Posting Komentar

0 Komentar