Dampak Utang Luar Negeri


TintaSiyasi.com -- Utang luar negeri (ULN) Indonesia diklaim turun. Dikonfirmasi dari bi.go.id (15/11/2022), Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada triwulan III 2022 kembali menurun. Posisi ULN Indonesia pada akhir triwulan III ​2022 tercatat sebesar 394,6 miliar dolar AS, turun dibandingkan dengan posisi ULN pada triwulan II 2022 sebesar 403,6 miliar dolar AS. Perkembangan tersebut disebabkan oleh penurunan ULN sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) maupun sektor swasta. Secara tahunan, posisi ULN triwulan III 2022 mengalami kontraksi sebesar 7,0% (yoy), lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi pada triwulan sebelumnya yang sebesar 2,9% (yoy).

ULN Indonesia sebesar 394,6 miliar dolar AS sekitar Rp6.116 triliun (asumsi kurs Rp15.500). Sebagai warga negara yang baik, ada beberapa catatan menanggapi ULN tersebut. Pertama, sungguh ironis, negara Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, memiliki kekayaan bahari, hayati, dan wilayah tropis strategis justru memiliki utang triliunan rupiah. Apalagi utang ini tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki beban bunga atau riba yang tidak main jumlahnya.

Kedua, sejatinya besaran utang luar negeri ini bukan hal yang lumrah, tetapi berpotensi mengancam kedaulatan negara. Karena negara atau lembaga pemberi utang bisa leluasa menancapkan hegemoninya di negeri ini. Walhasil negara tidak berdikari, banyak kebijakan-kebijakan yang bisa disetir asing. Ketiga, utang kepada asing adalah ciri khas negara pengekor kapitalisme. Seolah-olah memang utang ini diwajibkan oleh mereka dengan alasan agar Indonesia makin berkembang dan sebagainya. Padahal, ini utang adalah penjajahan secara sistematis yang dilakukan Barat kapitalisme. 

Keempat, tingginya utang bukti lemahnya penguasa di hadapan dunia. Utang negara sebesar 6 ribu triliun, walau diklaim berkurang, lalu kapan utang tersebut akan lunas? Masih ingat, bagaimana Srilanka bangkrut karena utang yang menumpuk dan tidak punya aset lagi untuk dijual? Sehingga membuat Srilanka bertekuk lutut pada titah asing ketika jatuh tempo tidak bisa membayar. 

Kelima, utang negara adalah warisan kezaliman. Dari periode ke periode utang selalu bertambah, inilah warisan kezaliman penguasa negeri ini pada anak cucu generasinya. Bukannya mewariskan keberhasilan, tetapi utang riba yang makin hari makin menggunung. Apalagi kondisi kekayaan negeri ini banyak yang telah dikeruk dan dikuasai kapitalis asing dan aseng. 

Keenam, seharusnya penguasa negeri ini berpikir produktif dan berdikari. Yakni, bagaimana mengelola sumber daya alam (SDA) sendiri tanpa campur tangan asing dan mendistribusikan kepada rakyatnya. Karena adanya SDA yang dikapitalisasi ke asing adalah pertanda Indonesia telah melegalkan penjajahan asing terhadap negeri ini. SDA milik rakyat malah dikeruk asing. Rakyat bagaikan anak ayam yang kelaparan di tengah lumbung padi, karena lumbung padinya diberikan ke asing.

Ketujuh, menambah utang demi membangun infrastruktur, sejatinya telah merencanakan penjajahan yang terlegitimasi. Dengan alasan pertumbuhan ekonomi dan berkembang banyak infrastruktur dibangun. Tetapi, sumber pendanaan diambil dari investasi asing. Padahal, investasi asing tersebut memiliki berbagai perjanjian yang merugikan negeri ini dan menguntungkan asing. Ya, ini sama saja bohong, sama saja dengan penjajahan. Sebagaimana contohnya, pembangunan ibu kota negara (IKN), demi memanjakan para investor yang awalnya hak guna usaha (HGU) 90 tahun diperpanjang 180 tahun. Bayangkan, lalu nasib rakyat jelata saat itu posisinya di mana? Pembangunan IKN untuk siapa?

Kedelapan, sesungguhnya utang sebagai sumber utama pemasukan negara adalah satu paradigma yang salah. Sebab dari sisi hubungan luar negeri utang dapat menjadi alat pengendali negara pemberi utang. Posisi utang luar negeri bukan sekedar urusan pinjam meminjam biasa antar negara.

Abdurrahman Al Maliki menyebut utang luar negeri adalah cara paling berbahaya untuk merusak eksistensi suatu negara. Utang berjangka pendek akan dapat memukul mata uang domestik negara pengutang dan akhirnya memicu kekacauan ekonomi dan kerusuhan sosial dalam negeri. Sebab bila utang jangka pendek ini jatuh tempo pembayaran tidak menggunakan mata uang domestik melainkan harus dengan dolar Amerika Serikat. Padahal dolar Amerika Serikat termasuk hard currency, maka dari itu negara pengutang tidak akan mampu melunasi hutangnya dengan dolar Amerika Serikat karena langka ataupun kalau dipaksakan membeli dolar, maka dolar akan dibeli dengan harga yang sangat tinggi terhadap mata uang lokal. Sehingga akhirnya akan membawa kemerosotan nilai mata uang lokal.

Kesembilan, utang jangka panjang juga berbahaya. Karena makin lama jumlahnya semakin menggila yang akhirnya akan dapat melemahkan anggaran belanja negara penghutang dan membuatnya tidak mampu lagi melunasi utang-utangnya. Pada saat itulah negara pemberi utang akan menyeret aset-aset strategis negara pengutang sebagai alat pelunasan. Hingga dapat mengintervensi kebijakan publik negara pengutang.

Kesepuluh, dari sisi dalam negeri, utang sebagai sumber pemasukan negara menunjukkan adanya salah kelola sumber daya alam yang sangat melimpah. Pengelolaan sumber daya alam yang tepat sesungguhnya bisa menjadi sumber pemasukan negara dalam jumlah besar, namun sistem ekonomi kapitalis telah menjebak negara berkembang sehingga menjadi negara tidak berdaya.

Akibat sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan, maka negara tidak mengatur kepemilikan dengan benar. Potensi-potensi alam yang sejatinya adalah milik umum atau rakyat justri dikuasai individu atau korporasi dan membiarkan masyarakat ikut menderita dalam tumpukan utang luar negeri.

Sistem kapitalisme telah menjebak Indonesia dalam lingkaran setan utang riba yang tidak tahu kapan habisnya. Apalagi, untuk membayar ribanya saja Indonesia akan menambah utang lagi. Hal itu adalah tanda bahaya, kedaulatan hilang, yang ada adalah asing jadi mandor untuk mendikte banyak kebijakan yang makin menguntungkan kapitalis dan menginjak-injak hak rakyat.  

Sistem Politik Ekonomi Islam

Sistem politik ekonomi Islam akan menjadikan negara Islam kuat, berdaulat dan tidak tunduk kepada Asing. Hal tersebut didukung dengan sistem keuangan negara yang tidak bertumpu pada utang maupun pajak, sistem itu disebut baitul mal.

Baitul mal adalah sistem keuangan negara yang memiliki beragam penerimaan yang memicu produktivitas. Terdapat tiga pos penerimaan besar dalam baitul mal. Masing-masing memiliki pemerincian pos yang beragam pula, yakni pos penerimaan dari dari zakat mal, aset kepemilikan umum dan aset kepemilikan negara.

Pemasukan baitul mal akan selalu mengalir dari berbagai sumber dan dengan sistem antibawi negara tidak akan terbebani jeratan utang bunga. Kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan kebutuhan anggaran dari utang luar negeri dapat dihindari.

Negara khilafah juga akan menyelesaikan berbagai problem ekonomi yang memicu terjadinya defisit anggaran. Diantaranya khilafah akan menekan segala bentuk kebocoran anggaran seperti korupsi maupun anggaran yang memperkaya pribadi pejabat. 

Khilafah juga akan mencegah segala bentuk pemborosan dana. Proyek-proyek pembangunan ekonomi yang tidak strategis dalam jangka panjang dan tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat tidak akan dijalankan.

Khilafah akan melakukan pengembangan dan pembangunan kemandirian dan ketahanan pangan sehingga terhindar dari ketergantungan impor. Sistem ini sudah dijalankan lebih dari 1300 tahun. Keberhasilan sistem ekonomi di masa khilafah nampak pada masa Umar bin Abdul Aziz di mana negara bahkan kesulitan mendistribusikan zakat mal karena kesejahteraan rakyatnya sudah merata.

Demikian pula dalam berbagai kisah lainnya dalam sejarah peradaban Khilafah Islam. Tidak ada sistem negara manapun yang bisa menandinginya hingga hari ini. Berdasarkan semua itu jeratan utang pada keuangan negara hanya bisa diselesaikan dengan menerapkan sistem keuangan Islam yang dijalankan oleh institusi khilafah.[]

Oleh: Nabila Zidane (Analis Mutiara Umat Institute) dan Ika Mawarningtyas (Direktur Mutiara Umat Institute)


Posting Komentar

0 Komentar