Kritik terhadap Konsep Moderasi Beragama



TintaSiyasi.com -- Moderasi beragama adalah istilah baru. Tak memiliki akar teologis maupun historisnya dalam Islam. Namun demikian, istilah ini terus dijajakan di tengah-tengah umat Islam. Seolah-olah merupakan sebuah keniscayaan bagi umt Islam saat ini untuk mempraktikan moderasi agama. Apalagi saat bahaya radikalisme agama terus diopinikan. Moderasi beragama dianggap penting dan mendesak.

Benarkah demikian? Apa sesungguhnya yang disebut moderasi beragama? Apakah indikator-indikator moderasi beragama itu? Poin-poin apa yang perlu dikritik dalam konsep beragama ini? Di mana letak bahaya dari konsep moderasi beragama ini? Apa tujuan akhir dari konsep moderasi beragama saat ini? Itulah di antara sejumlah pertanyaan yang hendak dijawab dalam tulisan singkat ini.

Indikator Moderasi Beragama

Moderasi beragama adalah suatu model pemahaman dan praktik menjalankan agama Islam secara moderat, yang ditandai dengan empat indikator sebagai berikut; 

Pertama, adanya komitmen kebangsaan, maksudnya menerima prinsip-prinsip kebangsaan dalam UUD 1945 dan berbagai regulasi di bawahnya.

Kedua, adanya toleransi yang diwujudkan dengan menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapatnya.

Ketiga, bersikap anti kekerasan, yakni menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, dalam mengusung perubahan yang diinginkannya.

Keempat, penerimaan terhadap tradisi. Maksudnya ramah terhadap tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran Islam.

Sering kali para penggagas moderasi beragama menggunakan ayat Ummatan Wasathan (Umat Pertengahan) untuk melegitimasi konsep moderasi beragama, yaitu firman Allah SWT :

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” (Ummatan Wasathan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS Al-Baqarah : 143).

 

Mengkritisi Penyalahgunaan Ayat Ummatan Wasathan

Para penggagas moderasi beragama seringkali menyitir ayat tentang Ummatan Wasathan dalam Al-Baqarah 143 sebagai landasan moderasi beragama. Firman Allah SWT :

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” (Ummatan Wasathan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS Al-Baqarah : 143).

Ummatan Wasathan tersebut adalah istilah al-Quran yang secara kontekstual sebenarnya tidak ada hubungannya dengan istilah moderasi beragama saat ini, yang sering dikontraskan dengan istilah radikalisme atau ekstremisme.

Untuk membuktikan tidak relevannya ayat tersebut dengan istilah moderasi agama saat ini, kita perlu melihat latar belakang sejarah munculnya istilah moderasi agama itu sendiri. Istilah ini sebenarnya bukan berasal dari sejarah kontemporer lokal Indonesia, seperti pembubaran HTI tahun 2017 dan FPI tahun 2020. Bukan juga berasal dari peristiwa peledakan WTC 9/11 tahun 2001 di New York (AS) yang melariskan istilah “terorisme”. Bahkan sejarah istilah moderasi agama itu berakar jauh sebelumnya. Istilah moderasi agama dapat dilacak bahkan sejak Revolusi Iran tahun 1979, sebagaimana penjelasan Fereydoon Hoveyda, seorang pemikir dan diplomat Iran. Fereydoon Hoveyda menegaskan hal itu dalam artikelnya yang terbit tahun 2001 dengan judul, “Moderate Islamist? American Policy Interest,” sebuah artikel ilmiah dalam The Journal of National Committee on American Policy.

Menurut Fereydoon Hoveyda, istilah islamic moderation, moderate Muslim, atau moderate Islam mulai banyak digunakan setelah 1979 oleh jurnalis dan akademisi, untuk mendeskripsikan konteks hubungan antara dua hal, yaitu di sisi adalah Muslim, Islam, atau Islamist (aktivis Islam); sedangkan di sisi lain adalah Barat (The West).

Nah, dalam konteks inilah, muncul istilah moderate Islamist (aktivis Islam moderat), yang dianggap pro Barat (the West), khususnya yang pro Amerika Serikat. Sebagai lawan dari moderate Islamist itu akhirnya diberi label hard-line Islamist (aktivis Islam garis keras), yaitu mereka yang menginginkan Islam secara pure (murni) dan menolak ideologi Barat.

Jadi, kemunculan istilah moderasi agama sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan istilah Ummathan Wasathan dalam al-Quran tersebut, walau banyak intelektual Muslim yang memaksakan diri untuk mencari-cari relevansinya.

Adapun makna Ummathan Wasathan dalam QS al-Baqarah ayat 143 adalah umat yang adil (ummat[an] ‘adl[an]). Demikian menurut Imam asy-Syaukani dalam kitabnya, Fath al-Qadir, juga menurut Imam al-Qurthubi dalam kitabnya, Tafsir al-Qurthubi.

Imam asy-Syaukani dan Imam al-Qurthubi menafsirkan demikian atas dasar hadis shahih dari Abu Said al-Khudri RA, bahwa ketika Rasulullah SAW membaca ayat yang berbunyi “wa kadzalika ja’alnakum ummat[an] wasath[an]” (Demikianlah Kami menjadikan kalian umat pertengahan), beliau bersabda, “Maksudnya umat yang adil (‘adl[an]).” (HR at-Tirmidzi).

Umat yang adil ini maksudnya bukanlah umat pertengahan antara umat Yahudi dan umat Nashrani, seperti penafsiran sebagian orang. Bukan pula pertengahan dalam arti posisi tengah antara ifrath (berlebihan) dan tafrith (longgar), melainkan umat yang memiliki sifat adil dalam memberikan kesaksian (syahadah). Pasalnya, umat Islam akan menjadi saksi kelak pada Hari Kiamat, bahwa para nabi sebelum Rasulullah SAW telah menyampaikan wahyu kepada umatnya masing-masing.

Sebagaimana dimaklumi dalam fikih, bahwa orang yang menjadi saksi, misal saksi dalam jual-beli, atau saksi dalam akad nikah, wajib bersifat adil. Nah, makna adil seperti itulah yang dimaksudkan sebagai sifat umat Islam sebagai tafsiran ummatan wasathan dalam QS al-Baqarah ayat 143.

Mengkritisi Indikator Komitmen Kebangsaan dalam Moderasi Beragama

Indikator pertama dalam moderasi beragama adalah komitmen kebangsaan, yang diartikan menerima prinsip-prinsip kebangsaan dalam UUD 1945 dan berbagai regulasi di bawahnya. Persoalannya, indikator ini seringkali hanya diterapkan untuk mengukur komitmen kebangsaan dari rakyat, tapi tidak pernah digunakan untuk mengukur komitmen kebangsaan dari negara itu sendiri. Padahal justru negaralah yang seringkali patut dipertanyakan komitmen kebangsaannya.

Contohnya, negara seringkali tidak jelas komitmen kebangsaannya dalam berbagai regulasi di bawah UUD 1945, misalnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016. Dalam regulasi ini, Pemerintah menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila

Pertanyaannya, Pancasila yang mana yang lahir pada tanggal 1 Juni 1945 itu? Dalam buku Piagam Jakarta karya Endang Saifuddin Anshari, Pancasila yang lahir 1 Juni 1945 rumusannya tidak seperti lima sila yang kita kenal saat ini, melainkan adalah:

Sila pertama, kebangsaan Indonesia.

Sila kedua, internasionalisme atau perikemanusiaan.

Sila ketiga, mufakat atau demokrasi.

Sila keempat, kesejahteraan sosial, dan

Sila kelima, ketuhanan.

Jika faktanya demikian, maka rumusan Pancasila 1 Juni 1945 tersebut justru akhirnya bertentangan dengan rumusan Pancasila yang kita kenal saat ini, yakni rumusan 18 Agustus 1945 dalam Pembukaan UUD 1945, yang rincinya :

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia.

Sila keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Jadi, kalau indikator moderasi agama itu salah satunya adalah komitmen kebangsaan, maka justru negaralah yang patut diduga sudah melanggar komitmen kebangsaannya sendiri, atau minimal komitmen kebangsaannya simpang-siur alias tidak jelas, karena jelas bahwa Keppres nomor 24 tahun 2016 itu sendiri sudah kontradiktif dengan UUD 1945 yang memuat Pancasila yang versinya adalah versi 18 Agustus 1945, bukan versi 1 Juni 1945.

Mengkritisi Indikator Toleransi dalam Moderasi Beragama

Indikator kedua moderasi beragama adalah bersikap toleran terhadap perbedaan di masyarakat. Masalahnya, ide toleransi yang berkembang saat ini bukanlah ide toleransi menurut prespektif Islam, melainkan menurut paham liberal yang sekularistik. Profesor Muhammad Ahmad Mufti, seorang guru besar ilmu fiqih siyasah di Arab Saudi, telah mengkritik keras ide tolerasi ala liberal itu dalam kitabnya, Naqdu at-Tasamuh al- Libirali (Kritik Terhadap Toleransi Liberal) yang terbit 1431 H atau tahun 2010 M).

Dalam kitabnya itu, beliau menjelaskan bahwa ide toleransi liberal itu didasarkan pada 3 (tiga) gagasan pokok dari Barat:

Pertama, paham sekularisme (al-‘alamaniyyah, al-laadiniyyah).

Kedua, paham relativisme (an-nisbiyyah).

Ketiga, paham pluralisme dan demokrasi (at-ta’addudiyyah wa ad dimuqrathiyyah). (Muhammad Ahmad Mufti, Naqdu at-Tasamuh al- Libirali, hlm. 8)

Jadi, ukuran toleran dan intoleran dalam ide toleransi liberal yang berkembang sekarang rujukannya adalah tiga gagasan dasar tersebut, yaitu gagasan Barat, bukan gagasan Islam. Jika demikian, alangkah malangnya nasib umat Islam, karena ide toleransi liberal itu hakikatnya adalah penjajahan (imperalisme) dalam bidang pemikiran bagi umat Islam. Umat Islam akan dipaksa untuk berpikir dengan standar liberal yang bobrok dan menyesatkan.

Sebagai contoh, LGBT, jika ditinjau menurut paham toleransi liberal, tentu wajib ditoleransi. Sebaliknya, bagi umat Islam, LGBT tidak boleh ditoleransi, karena semuanya dosa dalam agama Islam. Namun, akhirnya umat Islam akan dicap intoleran jika menolak LGBT. Padahal dalam Islam LGBT memang sesuatu yang dosa, bukan sesuatu yang halal apalagi wajib. Jika umat Islam lalu dipaksa berkeyakinan LGBT itu halal, atau baik, dan wajib ditoleransi, bukankah itu namanya penjajahan pemikiran?

Dalam Islam, standar toleransi itu al-Quran dan as-Sunnah. Bukan paham sekularisme, relativisme, pluralisme dan demokrasi, sebagaimana standar toleransi Barat. Apa saja yang ditoleransi oleh al-Quran dan as-Sunnah akan ditoleransi oleh umat Islam. Sebaliknya, apa saja yang tidak ditoleransi oleh al-Quran dan as-Sunnah tidak akan ditoleransi oleh umat Islam.

Berdasarkan standar yang benar ini, LGBT tidak boleh ditoleransi oleh umat Islam. Semua itu diharamkan atas umat Islam berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, misalnya dalam QS asy-Syu’ara ayat 165-166 dan QS al-Isra‘ ayat 32, dsb. Murtad atau keluar dari agama Islam tidak boleh ditoleransi karena memang dilarang oleh al-Quran dalam QS al-Baqarah ayat 217. Muslimah nikah dengan laki-laki non-Muslim juga tidak boleh ditoleransi dilarang oleh al-Quran dalam QS al-Mumtahanah ayat 10.

Mengkritisi Indikator Anti-Kekerasan dalam Moderasi Beragama

Indikator ketiga dalam moderasi beragama adalah sikap anti kekerasan. Nah, ini juga perlu untuk dikritisi, karena sikap anti kekerasan ini ternyata digeneralisir untuk semua kekerasan secara absolut tanpa ada perkecualian. Akhirnya jihad fi sabilillah sebagai ajaran Islam juga termasuk kekerasan.

Memang bahwa pada dasarnya, kekerasan, seperti pembunuhan, misalnya, dalam Islam itu pada dasarnya diharamkan. Namun, ada perkecualiannya, yaitu pembunuhan “dengan alasan yang benar”, yaitu yang dibenarkan berdasarkan dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Demikian menurut QS al-Isra` ayat 33, sesuai firman Allah SWT :

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ

“Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS Al-Isra` : 33).

Jadi, pada dasarnya memang membunuh itu haram, tapi ada yang dibolehkan dalam agama Islam, berdasarkan dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Misalnya, membunuh dalam rangka membela diri, atau membunuh dalam rangka menjatuhkan qishash (hukuman mati), sebagaimana menurut QS al-Baqarah ayat 178; atau membunuh dalam rangka berjihad atau berperang, sebagaimana menurut QS al-Baqarah ayat 216.

Ringkasnya, tidak semua kekerasan diharamkan atau dilarang dalam Islam. Ada perkecualiannya dalam Al-Qur'an atau as-Sunnah.

Jika ditinjau secara lebih mendalam, orang Muslim yang membenci jihad fi sabilillah itu sebenarnya hanya mengikuti kebencian kaum Kristiani Eropa terhadap jihad dari periode Abad Pertengahan Akhir hingga tahun 1529. Dalam periode ini, sebagaimana uraian Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Mafahim Siyasiyah, Khilafah Utsmaniyah banyak melakukan futuhat (penaklukan) dengan menaklukkan negeri-negeri Kristen di Eropa seperti Yunani, Romania, Albania, Yugoslavia dan Hungaria.

Futuhat itu akhirnya berhenti tahun 1529 M ketika pasukan jihad dari Khilafah Utsmaniyah tertahan di pintu gerbang Kota Wina dan akhirnya gagal menaklukkan Austria. Nah, karena posisi kaum Kristen menjadi sasaran jihad, sangat wajar kalau kaum Kristen saat itu akhirnya membenci jihad dan membenci Khilafah.

Sayangnya, di suatu saat kelak, di suatu negeri Islam, ada orang-orang Islam yang belajar kepada kaum orientalis Kristen atau Yahudi, lalu bertaklid buta kepada mereka dan mewarisi sikap mental kaum kafir itu yang penuh dengan dendam dan kebencian kepada jihad dan khilafah, lalu merekapun menghapuskan mata pelajaran jihad dan khilafah dari kurikulum pendidikan mereka, yaitu memindahkan pembahasan jihad dan khilafah itu dari mata pelajaran fiqih menjadi mata pelajaran sejarah belaka. Astaghfirullahal ‘azhiem.

Mengkritisi Indikator Penerimaan Terhadap Tradisi Masyarakat

Indikator keempat dalam moderasi beragama adalah menerima tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Indikator ini juga perlu dikritisi, karena tradisi itu sesungguhnya tidak boleh dianggap mutlak benar secara absolut, lalu orang Islam dipaksa dan diwajibkan menerima bulat-bulat tanpa boleh menolak atau mengkritik.

Tradisi apapun yang berkembang di masyarakat, wajib dikembalikan pada standar al-Quran dan as-Sunnah. Jika ada tradisi di masyarakat Muslim yang tidak bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah, boleh-boleh saja umat Islam mengikutinya. Misalnya, penutup kepala khas Jawa yang bernama blangkon. Namun, jika tradisi di masyarakat Muslim bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah, misalnya tradisi minum arak atau ciu (khamr), maka tradisi itu haram diikuti oleh kaum Muslim. Islam telah tegas mengharamkan setiap minuman yang beralkohol (khamr), sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Maidah ayat 90.

Tujuan Konsep Moderasi Beragama

Setelah disampaikan kritik-kritik di atas terhadap indikator-indikator moderasi beragama, pertanyaan yang muncul adalah, apa tujuan dari konsep moderasi beragama itu sendiri?

Untuk menjawabnya, tidak cukup kita hanya menganalisis politik dalam negeri di Indonesia, melainkan juga harus kita lihat lihat fenomena ini dari perspektif global.

Moderasi agama sesungguhnya adalah bagian dari strategi politik luar negeri dari negeri-negeri Barat, khususnya Amerika Serikat, yang mempunyai dua tujuan utama;

Pertama, untuk menghalang-halangi kembalinya umat Islam ke dalam agamanya secara murni, dengan mengamalkan syariah Islam kaffah dalam institusi Negara Khilafah.

Kedua, untuk mempertahankan sistem demokrasi-sekular yang ada saat ini di negeri-negeri Islam, dengan cara mempertahankan penguasa yang menjadi proxy mereka, agar Amerika Serikat dan negara-negara penjajah lainnya dapat terus mengeksploitasi dan menghisap kekayaan alam negeri-negeri Islam yang sangat kaya.

Jika tujuan tersebut tercapai, maka umat Islam jelas akan buntung, namun memang ada pihak yang akan diuntungkan dengan kebijakan moderasi beragama ini, utamanya ada dua pihak;

Pertama, Amerika Serikat dan negara-negara imperialis lainnya.

Kedua, para penguasa negeri-negeri Islam yang menjadi proxy Amerika Serikat, dkk.

Selain dua pihak tersebut, tentu ada pihak-pihak yang lain yang mendapat untung, karena hegemoni Amerika Serikat ini tidak akan dapat berjalan, kecuali ada instrumen-instrumen pendukungnya, yaitu: (1) berbagai lembaga keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia; (2) berbagai MNCs (multi national corporations), seperti Freeport McMoran, dsb.

Kekuasaan penguasa yang menjadi proxy AS juga tidak akan dapat berjalan, kecuali ada instrumen-instrumen pendukungnya pula, yaitu: (1) para intelektual (birokrat) didikan Barat yang menjadi penentu kebijakan politik dan ekonomi dan (2) militer.

Jalinan struktur kekuatan hegemonik global dan lokal ini diterangkan dalam beberapa buku yang berkelas, seperti buku Economists with Guns, karya Bradley R. Simpson atau bukunya Prof. Amien Rais berjudul Selamatkan Indonesia!  Buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca, karena akan dapat membuka mata dan hidung kita lebih lebar untuk mencium betapa busuknya, betapa rakusnya, dan betapa kejamnya hegemoni kapitalis-sekuler yang ada saat ini.

Penutup

Sebagai penutup, barangkali perlu dijelaskan bagaimana sikap yang seharusnya diambil oleh umat Islam terhadap konsep moderasi beragama ini. Ringkasnya ada 4 (empat) poin yang perlu menjadi sikap umat Islam; yaitu :

Pertama, kita umat Islam harus memberikan kritik yang tajam dan destruktif terhadap konsep moderasi beragama ini.

Kedua, kita harus terus menyadarkan masyarakat, bahwa konsep moderasi beragama ini bukanlah asli kebijakan pemerintah saat ini, melainkan sekadar meneruskan kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

Ketiga, kita harus terus menyadarkan masyarakat bahwa kebijakan moderasi beragama ini mempunyai tujuan tersembunyi yang sangat membahayakan Islam dan umat Islam.

Keempat, kita wajib terus berjuang untuk mengembalikan Islam kaffah dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan menegakkan Negara Khilafah. Wallahu a’lam. []

Oleh: K.H. M. Shiddiq Al-Jawi

Ahli Fiqih Islam


Catatan: Tulisan ini adalah adaptasi dari artikel wawancara penulis dengan majalah Al-Waie yang terbit 14 Oktober 2021 dan sudah dimuat di link berikut ini.

https://al-waie.id/hiwar/kh-shiddiq-al-jawi-moderasi-agama-berbahaya/




Posting Komentar

0 Komentar