Penangkapan Bambang Tri Mulyono Penggugat PMH Dugaan Penggunaan Ijazah Palsu Diduga Bukan Langkah Progresif, Melainkan Represif

TintaSiyasi.com -- Sebagaimana diketahui Bambang Tri Mulyono penggugat PMH Dugaan Pengggunaan Ijazah Palsu oleh Joko Widodo pada saat mendaftar sebagai calon presiden dalam Pilpres 2019, ditangkap oleh penyidik Bareskrim Polri pada Kamis 13 Oktober 2022. 

Sesuai dengan keterangan pers kuasa hukumnya,  penangkapan Bambang Tri Mulyono yang dilakukan oleh penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri sehubungan dengan adanya dugaan dilakukannya beberapa tindak pidana: 

(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras Antar Golongan (SARA),  

(2) dan/atau sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dan/atau barang siapa dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, 

(3) dan/atau barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut menyangka bahwa berita atau pemberitaan itu adalah bohong, dan/atau barang siapa yang menyebarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau kabar yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti atau setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat. 

Dugaan tindak pidana tersebut di atas sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan/atau pasal 156a huruf a KUHP, dan/atau pasal 14 ayat (10 dan ayat (2) UU Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum  pidana, dan/atau pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. 

Jika dilihat jenis delik baik di UU ITE, KUHP dan UU No. 1 Tahun 1946 maka dapat dikatakan bahwa tindak pidana tersebut bukan termasuk delik aduan, melainkan delik biasa. Artinya, untuk memproses hukum kasus tersebut, Aparat Penegak Hukum (APH) tidak memerlukan adanya laporan masyarakat. Polisi dapat melakukan inisiatif untuk memproses hukum atau tidak. Menangkap, menahan atau tidak, itu semua merupakan diskresi polisi. 

Oleh karena polisi memiliki diskresi, sebenarnya polisi tidak harus menangkap, dan selanjutnya menetapkan pelaku sebagai tersangka selanjutnya menahannya tetapi lebih baik ditempuh melalui restorative justice, apalagi menyangkut UU ITE, kendatipun terkait dengan persoalan SARA dan lainnya. Prinsipnya RJ seharusnya diutamakan dibandingkan dengan Criminal Justice System dalam menyelesaikan perkara pidana. Hal ini juga sesuai dengan Resolusi PBB tahun 2000 tentang Basic Principles of The Use of Restorative Justice in Criminal Matters. 

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan surat edaran terkait penerapan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Ada 11 poin dalam surat tersebut, salah satunya mengatur bahwa penyidik tidak perlu melakukan penahanan terhadap tersangka yang telah meminta maaf. Surat Edaran Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif itu diteken Kapolri pada 19 Februari 2021. Dalam SE itu juga diperintahkan kepada jajaran kepolisian agar delik bisa diselesaikan dengan cara mediasi (Restorative Justice). Pertanyaannya, apakah Pak Kapolri mau konsisten nggak dengan SE-nya? 

Lebih lanjut kita patut mempertanyakan, apakah penangkapan Bambang Tri Mulyono ini merupakan  momentum serangan balasan dari perkara gugatan PMH dengan materi muatan Ijazah palsu Jokowi yang saat ini sedang dalam proses untuk diadili secara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara: 592/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst, tanggal 03 Oktober 2022. Kalau jawabannya benar begitu, maka sebenarnya tindakan APH ini tidak progresif bahkan dapat dikatakan sebagai langkah hukum yang represif. Semestinya, penyidik Bareskrim menangguhkan perkara ini secara pidana, sampai perkara perdata yang berkaitan dengan sengketa hak keperdataan (hak atas kepemilikan ijazah) diputus oleh Majelis Hakim  Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini telah diatur dan diperintahkan oleh Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 1956. 

Meskipun  Perma no. 1 tahun 1956 tidak terkait langsung dengan tugas kepolisian melainkan aturan internal hakim, tetapi itu dapat dipahami sebagai konvensi yang dapat diterapkan oleh kepolisian yang sedang memeriksa perkara pidana yang atas objeknya juga sedang disidangkan secara perdata. Pada Pasal 1 Perma 1/1956 tersebut dinyatakan: “Apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.” 

Jika kita letterlijk, zakelijk menggunakan hukum, saya yakin penjara akan 3 kali lipat penghuninya dari kapasitas ideal. Sementara kita menganut asas pidana itu sebagai ultimum remedium, sebagai langkah terakhir ketika upaya damai tidak berhasil. 

Gugatan Bambang Tri Mulyono, sebagaimana gugatan perdata lain, merupakan suatu perkara yang mengandung sengketa atau konflik antara pihak-pihak yang menuntut pemutusan dan penyelesaian pengadilan. Menurut Sudikno Mertokusumo gugatan adalah tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting). Jadi, langkah Bambang Tri Mulyono dan Kuasa Hukumnya menggugat PMH dalam dugaan penggunaan ijazah palsu di PN Jakarta Pusat sudah tepat untuk menghindari perbuatan main hakim sendiri. 

Publik dapat saja menduga bahwa atas kasus penangkapan penggugat dalam perkara PMH dugaan penggunaan ijazah palsu ini memang terkesan seperti sebagai bargaining position antara penggugat dengan pihak tergugat. Namun, saya berharap tidak demikian dan penangkapan atas Bambang Tri Mulyono bukan sebagai ajang serangan pembalasan dari pihak tergugat. 

Kembali ke persolan utama, sebenarnya dalam kasus ini, Bambang Tri M sedang mengkritik kemudian menggugat adanya PMH atas dugaan praktik penggunaan ijazah palsu dalam pendaftaran calon presiden dalam Pilpres 2019. Sebagai negara dengan sistem demokrasi dan berkedaulatan rakyat, dan disebut sebagai the open society, sangat wajar jika kebijakan publik dikritik, digugat oleh rakyat. Rakyat tidak boleh dibungkam untuk bicara. Namun, juga harus disadari bahwa kebebasan berpendapat itu juga dibatasi oleh hukum. Ketika sarana yang disediakan oleh hukum ditempuh, mestinya semua organ negara termasuk APH, dan pihak lain terkait harus memberikan ruang untuk pembuktian, baik secara perdata maupun pidana bukan malah mempersekusi, merepresi penggugat dengan tindakan balasan yang bersifat represif. 

Di rezim sekarang ini ada fakta terkesan tidak banyak oposisi yang berani lantang, namun sekalinya ada yang berani, mudah sekali masuk bui. Lalu bagaimana seharusnya perilaku yang "wajib" diperhatikan oleh para pengkritik kebijakan penguasa? Mengkritik penguasa itu bagi rakyat muslim hukumnya wajib, terkait dengan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar. 

Memang harus diakui, nasib pengkritik di masa rezim yang represif saya rasakan sangat memprihatinkan meskipun yang disampaikan benar adanya, apalagi tidak benar, atau mengandung unsur pencemaran nama baik, ujaran kebencian dll sangat besar kemungkinan masuk BUI. Nah, dalam hal ini kita tidak konsisten dalam menerapkan asas Ultimum remedium dan restorative justice (RJ). Kita tampaknya masih menderita legal addiction, kecanduan hukum. Pokoknya harus diproses hukum dan masuk penjara. 

Kunci agar peristiwa hukum, khususnya menyangkut nasib kritikus sebenarnya ada pada penegak hukum,  khususnya mulai kepolisian. Polisi berada di bawah Kapolri dan Kapolri adalah bawahan presiden. Jadi, kuncinya pada presidennya. Mau tidak menekankan pada RJ? Hal ini jangan dihalangi dengan mengatakan Presiden campur tangan dalam penegakan hukum karena secara hirarkial memang Polri berada di bawah Presiden, jadi boleh saja melakukan "campur tangan" dalam penegakan hukum oleh kepolisian. 

Saya berpesan kepada para segenap warga bangsa Indonesia yang mengkritik Pejabat Publik supaya tetap memperhatikan aspek etis dan disertai dengan data atau penalaran yang dapat dipertanggungjawabkan agar tidak berpotensi menyinggung atau merendahkan pihak lain. kritik tetap dengan etik supaya tidak dihantam dengan tindakan represif. Namun, jika pengkritik telah melakukannya tuntutan, gugatannya sesuai dengan koridor hukum yang disediakan oleh negara, tetapi mendapatkan ancaman, tekanan bahkan tindakan hukum represif misalnya dangan pola penangkapan atas delik tertentu, maka sebenarnya kita tidak sedang berada di negara dengan sistem pemerintahan demokratis, melainkan rezim pemerintahan yang otoritarian. Alih-alih menegakan hukum progresif yang berorientasi pada keadilan, justru yang sedang dipraktikan adalah penegakan hukum represif dalam bingkai kokoh bangunan industri hukum di negeri ini. 

Tabik...!!!
Semarang, Jumat: 14 Oktober 2022


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar