Menyoal Wacana Restorasi Kepemimpinan Nasional Jelang Kontestasi 2024

TintaSiyasi.com -- Seruan restorasi (pemulihan) kepemimpinan nasional menggema dari berbagai sudut negeri. Jelang Pilpres 2024, perbincangan terkait kepemimpinan memang mengalami eskalasi. Di tengah ancaman tiga krisis; krisis pangan, energi, dan keamanan, isu kepemimpinan bangsa merupakan hal krusial yang harus didiskusikan secara cermat dan hati-hati.

Pentingnya restorasi kepemimpinan diserukan oleh belasan guru besar dan puluhan akademisi dari beragam kampus di Daerah Istimewa Yogyakarta di University Club Cafe Universitas Gadjah Mada, Sabtu (27/8/2022). Mereka prihatin atas berbagai persoalan dalam negeri yang mengarah pada indikasi krisis kepemimpinan bangsa, dan mengingatkan pentingnya kepemimpinan yang amanah, kompeten, dan menjunjung tinggi integritas (republika.co.id, 28/8/2022). 

Topik restorasi kepemimpinan Indonesia juga mengemuka dalam pertemuan 19 guru besar dan akademisi dari berbagai kampus di Yogyakarta dengan elit tiga parpol yang ditengarai bakal berkoalisi dalam Pemilu 2024, yaitu Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Demokrat (PD), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS),di Hotel Hyatt Yogyakarta, Sabtu (11/9/2022). Forum ini dimaksudkan untuk membahas bentuk-bentuk kolaborasi yang lebih konkret antara komunitas akademik dan masyarakat politik (gatra.com, 11/9/2022). 

Restorasi kepemimpinan dinilai mendesak untuk dilakukan di tengah kekecewaan rakyat yang terus berulang karena sosok pemimpin idola ternyata tak sesuai harapan. Bak jauh panggang dari api. Disangka merakyat ternyata kebijakannya mengkhianati masyarakat. Pun hanya berpihak pada kepentingan konglomerat.

Selain itu, penting juga untuk mencermati penyebab suksesi kepemimpinan telah berlangsung beberapa kali namun kondisi negeri belum beranjak ke arah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Maka persoalan restorasi kepemimpinan semestinya tak bisa dilepaskan dari peran sistem (aturan) pemerintahan yang melingkupi. Sejauh mana timbal-balik pengaruhnya bagi situasi bangsa saat ini.

Kepemimpinan Khianat dan Ingkar Janji Wajib Direstorasi

Seruan restorasi kepemimpinan nasional tentu bukan tanpa alasan. Banyak kalangan prihatin atas krisis kepemimpinan akhir-akhir ini, merujuk pada berbagai kasus hukum para pejabat publik, pelanggaran moral dan etika, serta praktik koruptif para pemimpin di berbagai tingkatan. 

Direktur Eksekutif LBH Jakarta, Arif Maulana mencatat sedikitnya ada 13 catatan buruk Jokowi-Ma’ruf selama memimpin pemerintahan. Pertama, kebijakan penanganan pandemi Covid-19 yang simpang siur. Kedua, masifnya penggunaan pasal-pasal karet untuk membungkam kebebasan berekspresi. Ketiga, institusi Polri digunakan sebagai pelindung kekuasaan yang akhirnya mengucilkan perlindungan terhadap rakyat.

Keempat, tidak serius melaksanakan agenda pemberantasan korupsi hingga melemahkan KPK. Kelima, pengesahan UU Cipta Kerja melalui mekanisme omnibus law merupakan tren buruk dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Keenam, dinyatakan bersalah atas buruknya kualitas udara, tapi presiden justru mengajukan banding. Ketujuh, minimnya perlindungan hukum dan HAM dalam praktik buruk pinjaman online (pinjol). 

Kedelapan, persoalan Papua: dari Otonomi Khusus Jilid II, diskriminasi hingga kriminalisasi terhadap aktivis Papua semakin masif. Kesembilan, mandeknya pembahasan RUU PKS dan RUU PPRT menunjukkan pemerintah tidak tegas memberikan perlindungan terhadap warga negara. Kesepuluh, watak buruk pembangunanisme negara yang tertuang dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Kesebelas, minimnya perlindungan negara terhadap pekerja migran di luar negeri. Kedua belas, pepesan kosong janji untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. Ketiga belas, gagap dalam melakukan penanggulangan bencana banjir (hukumonline.com, 25/10/2021). 

Sebagian pun menyoroti sikap ingkar janjinya sang pemimpin atas janji-janji yang tidak tertunaikan. Bahkan Pengamat politik Rocky Gerung menyebut Presiden Jokowi sebagai pembohong terbaik. Pasalnya, janji-janji Jokowi saat kampanye dahulu tidak ada yang ditepati. Hal itu disampaikannya merespons pernyataan Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla terkait tantangan yang dihadapi calon presiden periode 2024 yakni harus bisa membayar utang pemerintahan Presiden Jokowi yang bernilai triliunan rupiah (wartaekonomi.co.id, 20/4/2022).

Tudingan ingkar janji yang terbaru ialah saat   pemerintah menaikkan harga BBM, Sabtu (3/9/2022). Kenaikan BBM akan menambah sulit kehidupan masyarakat kecil. Hal ini memicu demo-demo penolakan marak di berbagai kota. Padahal pada Juni 2022, Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa hingga Desember 2022 BBM tidak akan naik. Tetapi fakta berkata lain. Mengingat banyaknya janji yang tidak ditepati, wajar bila masyarakat mempertanyakan adakah kompetensi Jokowi dan para pembantunya dalam memimpin negeri ini. 

Akibat selanjutnya bisa ditebak, trust sebagian rakyat terhadap kepemimpinan Jokowi meluntur. Banyak kalangan kecewa karena janji Jokowi untuk memperjuangkan nasib rakyat tidak terealisasi. Lain di lisan, beda dalam tindakan. Politik bermuka dua terus-menerus dijalankan. Jadilah sebutan pengkhianat rakyat disematkan. 

Jika kita telisik, fenomena pemimpin pengkhianat dan ingkar janji ini sejatinya bukan anomali dalam penerapan sekularisme liberalistik. Selama kehendak melayani rakyat bukanlah ruh penguasa, maka rakyat mesti siap kecewa. Karena kepercayaan dan ekspetasi rakyat untuk dipenuhi hak-haknya tak akan mampu diurus sempurna. 

Apalagi wajah penguasa hari ini cenderung bercorak oligarki dan terbiasa menjalankan pemerintahan ala korporatokrasi, bahkan kleptokrasi. Dalam sistem kapitalisme liberal, pertimbangan untung rugi menjadi prioritas utama kebijakan. Tak lagi atas nama kepentingan rakyat, namun demi konglomerat (korporat). Bila begini, restorasi kepemimpinan wajib dilakukan.

Model Ideal Kepemimpinan Nasional yang Mampu Mewujudkan Visi Indonesia

Siapa yang tak kenal sosok Umar bin Khattab r.a., salah seorang sahabat utama Rasulullah SAW dan seorang khalifah nan mulia berjuluk Amirul Mukminin? Beliau memiliki karakter kepemimpinan luar biasa. Dan dengan dukungan penerapan sistem Islam, mampu menoreh tinta emas di sepanjang sejarah kepemimpinannya. Umar adalah salah satu role model pemimpin yang bisa kita teladani.

Adapun secara umum model kepemimpinan nasional yang mampu mewujudkan visi Indonesia adalah sebagai berikut: 

1. Timbul tenggelam bersama rakyat, bukan timbul tenggelam bersama oligark. 

Pada tahun 17 H terjadi Aam Ramadah (Tahun Abu) di wilayah Hijaz, termasuk Mekah dan Madinah, mengalami kemarau panjang. Perkebunan dan peternakan nyaris hancur total. Kelaparan di mana-mana. Umar pun segera berkirim surat kepada Amr bin Ash Gubernur Mesir, Muawiyah bin Abu Sufyan Gubernur Syam, Saad bin Abi Waqas Gubernur Irak, dan gubernur lainnya agar segera mengirim bantuan makanan dan pakaian. 

Ia bersumpah selama penduduk kelaparan ini belum bisa dientaskan maka dirinya hanya akan makan remahan roti dan minyak curah. Pun mengharamkan daging, susu, dan minyak samin. Warna kulit Umar yang putih kemerahan berubah menjadi hitam akibat kemarau panjang dan sering mengalami kelaparan. 

Hingga penduduk Madinah berkata: "Jika Allah tidak menolong kami dari Tahun Abu ini, kami kira Umar akan mati dalam kesedihan memikirkan nasib Muslimin." Hal ini karena Umar menepati janjinya untuk timbul dan tenggelam bersama rakyat. Janjinya bukan lip service. 

2. Menjaga marwah negara dengan membangun kekuatan strategis 

Umar menjadi khalifah selama 13 tahun. Di bawah kepemimpinannya, Islam menaklukkan Mesir, Syam, dan Persia (Irak dan Iran). Umar melakukan reformasi militer, ekonomi, dan administrasi negara. Kalender Hijriyah pun ditetapkan di zamannya. 

3. Tegas, tidak plin-plan

Khalifah Umar sangat memperhatikan masyarakat miskin. Beliau tak segan memikul gandum sambil menenteng minyak untuk mereka. Meskipun dia bisa menyuruh stafnya atau melemparkan bantuan dari atas untanya.

Pun tampangnya bukan culun seperti orang kampung. Postur tubuhnya tinggi besar, perangainya keras, dan tegas. Tidak plin-plan.
Tetapi bukan berarti tidak bisa dinasihati. Setelah dipilih menjadi khalifah, dia mengadu kepada Allah, "Ya Allah, sesungguhnya perangaiku keras dan kata-kataku kasar, maka lembutkanlah." Sejak menjadi khalifah, perangainya halus dan kata-katanya lebih lembut. 

4. Mendengar nasihat (aspirasi) rakyat dalam ketakwaan 

Imam Al Qurthubi menceritakan, pada suatu hari Khalifah Umar bin Khattab diiringi banyak penunggang kuda berjumpa seorang perempuan di jalan. Perempuan itu meminta Umat berhenti dan menasihatinya. 

Ia berkata, "Hai Umar, dulu kau dipanggil Umair (Umar kecil), kemudian dipanggil Umar, lalu Amirul Mukminin, maka bertakwalah engkau, hai Umar. Karena barangsiapa yang meyakini kematian, ia akan takut kehilangan kesempatan. Dan barangsiapa yang meyakini perhitungan (amal), maka ia pasti takut kepada siksa." Umar menyimak nasihatnya sambil berdiri. 

5. Tidak nepotis, kolutif, dan koruptif 

Saat Umar bin Khattab sakit menjelang meninggal, sahabat Mughirah bertanya kepadanya, "Apakah engkau ingin anakmu Abdullah diangkat menggantikanmu sebagai khalifah? Umar menjawab tegas: "Tidak, saya haramkan dari keluargaku untuk menduduki jabatan itu. Cukuplah Umar seorang yang menanggung beban berat ini." 

Umar yang terkenal memimpin sangat adil dan peduli rakyat pun masih sering mengadu, "Ya Allah, aku ridha bila masa kepemimpinanku tidak berpahala, asalkan tidak dinilai dosa."

6. Taat pada Hukum dan Hakim 

Banyak kasus yang ia tangani berakhir dengan menakjubkan tanpa perpecahan di antara banyak pihak. Pengalaman perselisihan juga dialami Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dalam kasus perebutan baju besi dengan orang Yahudi. Karena Ali rela menerima putusan hakim yang memenangkan orang Yahudi dalam perkara tersebut, justru membuatnya simpati dan masuk Islam.

7. Kepemimpinan karismatik 

Karismatik memiliki kata dasar karisma, artinya pesona atau daya tarik seseorang pada orang lain. Bentuk kepemimpinan ini menekankan pada kemampuan seorang pemimpin dalam menarik hati para pengikut atau bawahannya. 

Secara umum, pemimpin karismatik ini memiliki ciri-ciri:  

(1) Visioner. Pemimpin merencanakan semua keputusan dengan bijaksana demi masa depan lebih baik. 

(2) Kreatif dan mampu memikirkan segala sesuatu di luar kotak. 

(3) Mampu melihat serta menerima masalah sebagai tantangan menarik untuk diselesaikan. 

(4) Kepribadian kuat dan penuh percaya diri. Sehingga para pengikutnya setia mengikuti dan menerima seluruh arahannya. 

(5) Rendah hati dan peka terhadap sekitarnya. Mereka berupaya tidak melukai perasaan orang lain. 

(6) Berani mengambil risiko dalam mewujudkan visi dan misi secara optimal. 

(7) Komunikator handal. Dapat mengkomunikasikan maksud dan tujuan dengan baik melalui pidato dan kata-kata menghanyutkan. 

(8) Menjadi agen perubahan yang membawa pengikutnya pada masa depan yang lebih baik. 

(9) Pantang menyerah dan tidak putus asa dalam menjalankan visi dan misinya. Meskipun membutuhkan perjuangan sulit, namun mereka tidak mudah takut akan kegagalan. 

(10) Mudah merasa bangga terhadap diri sendiri yang membuat mereka puas dan bahagia dengan pencapaiannya. 

8. Berani mundur jika sudah tidak dipercaya 

Melalui Tap MPR No. VI Tahun 2001, MPR menyarankan pejabat yang merasa melanggar aturan mengundurkan diri. Dalam norma MPR tersebut ada konsensus yang menyatakan pejabat yang melanggar aturan sebaiknya mengundurkan diri. 

Proses pengunduran diri ini juga dilindungi secara konstitusional, berdasarkan Tap MPR RI No.VI/MPR-RI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam Tap MPR ini, diatur pokok-pokok etika kehidupan berbangsa. Dalam bagian etika politik dan pemerintahan, disebutkan bahwa: 

"Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat." 

"Etika ini diwujudkan dalam sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif, dan tindakan tidak terpuji lainnya."

Demikianlah karakter ideal seorang pemimpin berkaca dari sosok Khalifah Umar bin Khattab r.a. untuk mewujudkan visi negeri ini. Dari kisah-kisah kepemimpinannya, nampak beliau begitu memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat yang tugas utamanya melayani dan mengurusi kepentingan mereka. 

Berbanding terbalik dengan pemimpin di era kapitalisme sekularistik saat ini. Justru pemimpinlah sosok yang minta dilayani berdalih slogannya John F. Kennedy, "Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negara." Pada dasarnya negara (pemimpin) hadir memang untuk memberi; melayani, melindungi, menyejahterakan, dan membahagiakan rakyat. Jika tugas tersebut tak berjalan, buat apa ada negara (pemimpin)?

*Strategi Membangun Kepemimpinan Indonesia Sebagai Religious Nation State untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat*

Kepemimpinan nasional bukan sesuatu yang jatuh dari langit,  melainkan ia tumbuh berkembang bersama dan di tengah rakyat dengan segala amanat penderitaannya. Sosoknya juga bukan satrio piningit, tetapi ia telah timbul tenggelam bersama rakyat. Dan sosok ini biasanya berjumlah sedikit yang bisa dihasilkan dalam sebuah wadah bersifat minoritas kreatif (creative minority). 

Maka strategi membangun kepemimpinan Indonesia sebagai religious nation state demi mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah: 

1. Membentuk kelompok yang berpotensi menjadi creative minority berfungsi melakukan perubahan. Bukan hanya sebagai the agent of change tetapi menjadi the leader of change. 

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tanganmu, dan jika kamu tidak cukup kuat melakukannya, maka gunakanlah lisan, namun jika kamu masih tidak cukup kuat, maka ingkarilah dengan hatimu karena itu adalah selemah-lemahnya iman." (HR Muslim). 

2. Memahami syarat agar creative minority mampu menjadi the leader of change yaitu: kokoh akidahnya, kuat ibadahnya, pecinta ilmu, dan zuhud.  

Berkaca pada upaya Rasulullah SAW menggembleng para sahabat di tahapan pertama dakwah yaitu tahap pembinaan (tasqif), beliau membina mereka hingga lahir sosok-sosok berkepribadian Islam tangguh. Rasulullah SAW mendidik sahabat berlandaskan wahyu Allah SWT untuk menguatkan akidah, mengajari ibadah, membentuk akhlak mulia, serta mengajak berjuang menyebarkan risalah Islam.

3. Memahami bahwa sebaik-baik perubahan masyarakat adalah perpindahan dari kondisi jahiliyah menuju pada keadaan islami sebagaimana Sang Pencipta (Allah SWT) kehendaki. 

Inilah perubahan masyarakat hakiki yang pernah dilakukan oleh uswatun hasanah Rasulullah SAW. Dengan penanaman pemahaman Islam, beliau berhasil mengubah keadaan masyarakat Arab yang terbelakang menjadi bangsa mulia dan disegani. 

4. Upaya mewujudkan kepemimpinan berkualitas ini dilakukan seiring dengan membentuk sistem pemerintahan yang mendukung.

Sebagaimana role model kepemimpinan Umar bin Khattab r.a. Sosok beliau lahir dari tempaan Rasulullah SAW yang sarat dengan nilai-nilai Islam. Sistem pemerintahan yang ia jalankan berlandaskan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai sumber hukumnya. Dan sosok islami yang menginternalisasi pada dirinya hanya mampu dipelihara dengan penerapan sistem Islam itu sendiri. 

Demikian beberapa strategi membangun kepemimpinan Indonesia sebagai religious nation state untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, membangun kepemimpinan tak hanya melahirkan sosok pemimpin itu sendiri, namun juga mewujudkan sistem kepemimpinan (pemerintahan) yang mendukung dan memelihara karakter kebaikan sang pemimpin. Tak sekadar restorasi, tapi revolusi (perubahan mengakar) kepemimpinan. 

Fragmen keterpaduan antara kebaikan sosok pemimpin dan sistem kepemimpinan terbaik pernah terwujud pada masa kepemimpinan Rasulullah SAW, yang dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah selanjutnya hingga berakhir sistem kekhilafahan pada tahun 1924 M. Tak inginkah kita merasakan masa kegemilangan itu hadir lagi?

oleh: Prof. Dr. Suteki, SH., M.Hum (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar