Legal Frame Sesat Radikal-Terorisme pada Kegiatan Islam: Layakkah Hijrahfest dan Hijabfest Dilarang?

TintaSiyasi.com -- Jakarta, CNN Indonesia 29/10/2022 mewartakan bahwa Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU) mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah membuat regulasi yang melarang penyebaran paham Wahabi melalui majelis taklim, media online maupun media sosial di Indonesia hingga tak mengeluarkan izin festival HijrahFest atau HijabFest. 

LD PBNU berpandangan kelompok yang mengikuti paham wahabi kerap menuding bid'ah hingga mengafirkan tradisi keagamaan yang dilakukan mayoritas umat Islam di Indonesia. Sehingga, pihaknya melihat masyarakat Islam di akar rumput kerap kali terjadi perdebatan. Tak hanya itu, LD PBNU juga menilai paham wahabi ditengarai sebagai embrio munculnya paham radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Pertanyaannya, apakah betul hijrahfest dan hijabfest itu juga dianggap sebagai embrio radikalisme, ektremisme dan terorisme? Jika jawabnya iya, maka saya kira asumsi itu terlalu prematur dan terkesan terpapar Islamophobia. 

Sempat ramai dibicarakan soal daftar penceramah radikal 2022, versi illegal. Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwahid, menyebut ada lima ciri penceramah radikal. Apakah Radikalisme itu dan apakah berbahaya? 

Radikalisme sebenarnya merupakan istilah yang netral, bahkan menjadi karakter semua Ilmu Pengetahuan, Ideologi, agama dan pergerakan. Pancasila, Islam, Marhenisme, Komunisme pasti bercirikan radikalisme. Ini radikalisme amelioratif. Jika dimaknai sesuai dengan kemauan politik, radikalisme dimaknai sbg isme yang mengancam eksistensi ideologi bahkan negara, khususnya disematkan kepada pihak yang bersebarangan dengan Penguasa. Maknanya pun jadi peyoratif, obscure dan lentur. 

Apakah radikalisme berbahaya? Untuk menjawab hal ini, kita perlu flashback ke belakang. Tahun 2020 pernah santer isu penyusunan HIP--yang sekarang sudah dihapus RUU-nya. Untuk apa sebenarnya RUU HIP ini dibuat? Kecurigaan saya ternyata terbukti ketika fraksi-fraksi pengusungnya sengaja menolak dimasukkannya Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan larangan menganut ideologi komunisme dan marxisme-leninisme. Protes umat Islam menggema menolak RUU HIP karena penolakan Tap MPRS tersebut sebagai politik hukumnya. Perkembangan terakhir inisiator RUU HIP setuju memasukan Tap MPRS tersebut dengan syarat agar paham lain yang mengancam dan bertentangan dengan Pancasila dicantumkan juga sebagai ideologi terlarang. Seperti saya sebutkan di muka, Sekjen PDIP menyebut ada dua ideologi yang dimaksud, yaitu Khilafahisme dan radikalisme. 

Dari kasus ini dapat dipahami bahwa radikalisme menjadi isme yang dianggap bahaya disejajarkan dengan khilafahisme, komunisme,  dan marxisme-leninisme. 

Tingkat bahaya radikalisme ini makin meninggi ketika AS menggeser war on terrorism ke war on radicalism yang dinilai lebih soft namun lebih ampuh menjerat orang-orang yang dicurigai melawan AS yang kemudian diikuti oleh negara pengekornya, termasuk Indonesia. Indonesia membuat jerat antara (intervening trapp) berupa ekstremisme dengan sebutan RAN PE 2020. Dengan demikian orang-orang berseberangan dengan pemerintah berpotensi di sematkan 3 nomenklatur, yaitu: 

(1) Radikalisme (paling soft)
(2) Ekstremisme (intervening)
(3) Terorisme (hard

Ada istilah: radikal terorisme dan ekstrem terorisme. Semua terkesan akan terhubung dengan terorisme. Jika dinalar berarti 180 daftar Penceramah Radikal akan menjadi cikal bakal terorisme. Ini tuduhan yg teramat jahat dan dapat dikatakan character assasination! 

Pemerintah seharusnya lebih hati-hati menyematkan narasi radikalisme, ekstremisme apalagi dikait-kaitkan dengan terorisme. Tidak dapat dipastikan adanya korelasi yang signifikan bahwa radikalisme adalah pangkal terorisme, apalagi indikatornya sangat obscure dan lentur tergantung kemauan pemerintah. 

Untuk mencegah kesewenang-wenangan pemerintah, polisi, Densus 88 maka upaya hukum terhadap pelanggaran ham atas penangangan Radikalisme, Ekstremisme dan terorisme harus diusut tuntas. Mestinya waktu itu segera bentuk TGPF atau tim advokasi untuk menuntut baik pidana maupun perbuatan melawan hukum sehingga muncul tindakan berupa rehabilitasi dan jika perlu ada proses ganti rugi yang setimpal dari pemerintah yang bertanggung jawab. 

Namun,  yang terjadi justru sebaliknya, di awal tahun 2022 (tanggal 18 Maret 2022) kita saksikan pembunuh anggota laskar FPI secara unlawfull killings (berdasarkan temuan KOMNAS HAM) justru divonis lepas dari segala tuntutan oleh PN Jakarta Selatan dengan dalih pembelaan diri. Sementara tersiar kabar mereka juga disebut-sebut sebagai teroris atau terduga teroris-radikalis dan atas dasar stigma itu sehingga seolah halal dan sah dibunuh dengan cara apa pun meski melanggar Hukum dan HAM secara terang-terangan.  Atau pun kita patut bertanya, apakah kegiatan keagamaan Islam (hijrahfest dan hijabfest) yang seharusnya dilindungi oleh pemerintah namun karena distigmatisasi buruk oleh kelompok ormas tertentu lalu menjadi absah untuk dibubarkan dan dilarang Pemerintah? Apakah hal itu bukan justru menunjukkan bahwa Islamophobia masih dan sedang melanda masyarakat, ormas dan pemerintah sementara PBB telah menggencarkan gerakan antiIslamophobia sejak Maret 2022? Di mana rasa keadilan itu hendak dicari dan ditemukan? Ironis! 

Tabik...!!! 
Semarang, Ahad: 30 Oktober 2022

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum
Pakar Hukum dan Masyrakat

Posting Komentar

0 Komentar