Khilafah Ajaran Islam, Mengapa Terus Dikriminalisasi?


TintaSiyasi.com -- Heboh! Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan perempuan pembawa pistol yang ditangkap usai menerobos Istana Negara, Selasa (25/10/2022), berpemahaman radikal dan pendukung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah dibubarkan pemerintah. Pun, ia disebut kerap mengunggah propaganda khilafah melalui akun media sosialnya (tempo.co, 25/10/2022). 

Sebelumnya, Dede Budhyarto, Komisaris Independen PT Pelni, memplesetkan term khilafah menjadi khilafuck di Twitter-nya, Ahad (23/10/2022). Ia mencuit agar tak memilih capres yang didukung kelompok radikal yang suka mengkafir-kafirkan, pengasong khilafuck anti Pancasila (cnnindonesia.com, 26/10/2022). 

Lagi dan lagi. Narasi jahat tentang khilafah dan HTI yang selama ini dikenal kerap menyuarakannya, kembali digulirkan ke publik. Seiring isu radikalisme yang juga masif dilontarkan belakangan ini. Dikaitkan dengan politik identitas jelang Pemilu 2024 maupun ajakan BNPT agar para santri melawan isu yang dituding berbahaya ini di momen Hari Santri 2022.

Sejatinya, ada apa dengan dakwah khilafah, HTI, radikalisme, pun terorisme? Apa salahnya mendakwahkan ajaran Islam khilafah? Bertubi-tubi "mahkota kewajiban" umat Islam ini diserang dan didiskreditkan. Banyak orang dan kelompok hendak memadamkan dakwah khilafah dengan mengaitkan pada narasi radikalisasi, ekstremisme, dan terorisme. Khilafah dan pejuangnya dikriminalisasi. Sungguh keji!

Khilafah Ajaran Islam Tak Layak Dikriminalisasi

Kriminalisasi adalah upaya mengkriminalkan atau mencari-cari (mengada-adakan) perbuatan kriminal terhadap seseorang/lembaga yang sebenarnya tidak ada. Dari berbagai indikasi yang terjadi seperti: pembubaran ormas HTI, penangkapan petinggi Khilafatul Muslimin, dan seterusnya, nampak ada kriminalisasi ajaran Islam khilafah. 

Apa motif hukum dan politiknya? Motif hukumnya terkesan ada kriminalisasi ajaran Islam tentang sistem pemerintahan yakni khilafah. Tuduhan telah menganut, menyebarkan ideologi yang bertentangan atau ingin mengganti Pancasila dan UUD 1945, serta turut serta menyebarkan berita hoaks (KUHP dan UU Ormas 2017, UU Terorisme). 

Adapun motif politiknya ialah terkesan hendak menyasar dan memecah-belah kesatuan umat Islam dengan narasi umat Islam anti-Pancasila dan NKRI dari mendakwahkan khilafah. Dengan demikian, ada kesan hendak melakukan kriminalisasi terhadap ajaran Islam dalam fikih siyasah, yakni Bab Khilafah bahkan ditempatkan sebagai isme. Khilafahisme yang disejajarkan dengan komunisme, ateisme, marxisme-leninisme.

Sebagai umat yang meyakini Allah sebagai Sang Khaliq dan menyadari diri manusia sebagai mahluk ciptaan-Nya, tentu kita harus kembali kepada fitrah manusia yakni: pertama, tunduk kepada penciptanya dengan mengakui keberadaannya (bertauhid). Kedua, mewujudkan ketundukan kepada Sang Khaliq dengan cara menyembahnya (beribadah). Ketiga, menjalankan hukum Allah di muka bumi (bersyariat). 

Di samping itu, manusia dilengkapi dengan fitrah lain yaitu akal sehat. Berdasarkan dua fitrah ini, kita dapat bertanya, layakkah mengkriminalkan ajaran Islam khilafah yang notabene datang dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya? Pun itu bagian dari kebebasan perpendapat dan merupakan HAM yang dijamin oleh Konstitusi UUD NRI 1945. Memang tidak ada kebebasan tanpa batas, tetapi saat kebebasan itu terus diintimidasi, masih adakah kebebasan itu? 

Untuk menentukan ajaran itu terlarang atau tidak, perlu dilakukan pengujian oleh: pertama, lembaga keagamaan yang menaunginya. Kalau tentang khilafah, maka MUI berwenang mengujinya. Kedua, putusan pengadilan atau ketentuan UU yang secara tegas menyebutkan untuk itu. Selama ini belum ada fatwa MUI dan putusan pengadilan atau ketentuan UU yang menyatakan khilafah ajaran Islam (bidang fikih) sebagai terlarang dan bertentangan dengan Pancasila. 

Khilafah itu ajaran Islam tentang sistem pemerintahan ideal menurut tuntunan Allah, Rasulullah, dan para sahabat. Bukan ideologi yang layak disejajarkan dengan komunisme dan kapitalisme. Pun radikalisme. Sebagai bagian dari ajaran Islam, khilafah boleh didakwahkan. 

Tujuannya agar umat tahu tentang sistem pemerintahan ini sehingga tidak "plonga-plongo" ketika suatu saat sistem ini tegak di muka bumi sebagaimana janji Rasulullah SAW dalam hadis shahih. Jadi, tidak ada salahnya bila ada lembaga, ormas Islam mendakwahkan khilafah selama tidak ada unsur kekerasan, pemaksaan, dan apalagi makar. 

Sungguh tidak fair bila kita mengharamkan khilafah serta memusuhi orang yang mempelajari dan mendakwahkannya. Karena dalam sejarah selama 1300 tahun, umat Islam dalam kepemimpinan sistem kekhilafahan, apa pun bentuk dan variasinya. 

Bahkan, bukankah beberapa wilayah Indonesia sempat menjadi bagian atau wakil kekhalifahan Ustmani, misalnya Demak, DI Yogyakarta? Jejaknya masih jelas. Bukankah kita juga pernah dibantu khilafah ketika melawan penjajah Belanda? Apakah kita akan melupakan begitu saja jejak kekhilafahan di negeri ini? Itu tidak fair! Itu a-history! 

Khilafah jelas terbukti sebagai bagian dari fikih siyasah sehingga khilafah adalah ajaran Islam, bukan ajaran terlarang. Oleh karena itu, khilafah tak layak dikriminalisasi. 

Pun mendakwahkannya bukanlah tindakan kriminal dan bukan terpapar radikalisme. Bahkan persekusi kepada pendakwah khilafah baik oleh perorangan maupun  organisasi merupakan perbuatan pidana yang dapat dijerat dengan KUHP (Pasal 156a) dan UU ITE serta UU Ormas 2017.

Dampak Kriminalisasi Ajaran Islam terhadap Kebebasan Rakyat dan Dakwah Islam

Mendakwahkan Islam termasuk khilafah seharusny a tidak boleh dilarang. Ini adalah bagian dari kebebasan keyakinan dan pengamalan umat beragama. Hak umat Islam untuk beramar makruf nahi mungkar sesuai perintah agamanya. 

Apalagi khilafah tidak pernah dinyatakan sebagai paham terlarang baik dalam surat keputusan tata usaha negara, putusan pengadilan, peraturan perundang-undangan atau produk hukum lainnya sebagaimana komunisme, marxisme/leninisme dan ateisme, melalui TAP MPRS NO. XXV/1966. Artinya, sebagai ajaran Islam khilafah tetap sah dan legal untuk didakwahkan di tengah umat, serta dijamin konstitusi.  

Namun realitasnya saat mendakwahkannya secara damai pun kini mengalami stigmatisasi dan kriminalisasi. Hal ini tentu berdampak destruktif bagi kebebasan rakyat dan dakwah Islam itu sendiri. Dampaknya antara lain:  

Pertama, mengancam kebebasan dan jaminan untuk meyakini serta menjalankan ajaran agama. Kriminalisasi terhadap ajaran agama pasti akan mengancam terhadap kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat warga negara. 

Kedua, polarisasi umat dan berpotensi saling menyerang. Umat Islam terbagi dua kubu; pro khilafah dan yang kontra. Ini mungkin yang diharapkan para petualang politik dengan menciptakan hantu baru bernama khilafah. Selain hantu lain seperti radikalisme. 

Ketiga, islamofobia merebak. Muslim takut terhadap ajaran agamanya sendiri. Akibatnya, enggan untuk memahami khilafah dan berinteraksi dengan pejuangnya, bahkan memusuhinya.

Keempat, terdapat benteng tebal antara umat Islam dengan ajaran agamanya. Kunci kekuatan umat Islam sejatinya terletak pada penyatuan dirinya dengan ajaran Islam kaffah. Ketika mereka jauh dari Islam secara kaffah, maka kelemahan selalu menghantui. Inilah yang sebenarnya dikehendaki oleh musuh-musuh Islam.

Kelima, hegemoni kaum kuffar Barat dan antek-anteknya kian kuat tertancap. Tanpa disadari, saat umat memusuhi ajaran agamanya sendiri, ia berada satu garis dengan para penjajah. Inilah wujud keberhasilan strategi proxy war (nabok nyilih tangan) yang mereka jalankan. Internal umat saling bermusuhan hingga penjajah leluasa menancapkan hegemoninya. 

Keenam, proses kebangkitan Islam tertunda. Kriminalisasi khilafah diduga sebagai upaya untuk menghadang kebangkitan Islam. Kaum kuffar Barat mengerahkan segala daya agar khilafah tidak hadir lagi dan kembali memimpin dunia. 

Itulah beberapa dampak destruktif dari kriminalisasi ajaran Islam khususnya khilafah, terhadap kebebasan rakyat dan dakwah Islam di Indonesia. Bila kriminalisasi terus terjadi, umat Islamlah pihak yang merugi.

Strategi Umat Islam Mendakwahkan Ajaran Islam di Tengah Represifitas Rezim

Meskipun stigmatisasi dan kriminalisasi terhadap khilafah hingga hari ini terus terjadi, namun tidak akan menyurutkan langkah kaum Muslimin untuk memperjuangkan hadirnya. Setidaknya ada tiga urgensi memperjuangkan khilafah.

Pertama, khilafah adalah taajul furuudh (mahkota kewajiban). Imam Ghazali berkata, ”Khilafah adalah mahkota kewajiban.” Disebut demikian karena khilafah adalah pelaksana seluruh hukum Islam, penjamin kesejahteraan umat manusia, dan wadah pemersatu umat Islam seluruh dunia. 

Kedua, wajib hukumnya menegakkan khilafah. Kewajiban ini disepakati oleh imam mazhab yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad. Bahkan oleh ulama di luar kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pun para ulama telah menjelaskan dalil-dalil kewajiban khilafah, baik dari Al-Qur'an, hadis, ijmak sahabat, maupun qaidah syar'iyyah.

Ketiga, puncak nestapa akibat ketiadaan khilafah. Tanpa khilafah, umat Islam hidup tanpa satu kepemimpinan dan kehilangan fitrahnya. Ibarat ikan yang selayaknya tinggal di air, kini umat Islam dipaksa hidup dalam sistem non-Islam. Sebuah habitat yang tak hanya menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya dan memupus jati diri keislamannya, bahkan memusuhi Muslim yang berkehendak menerapkan seluruh hukum Allah.

Oleh karena itu, penting bagi umat Islam membuat strategi mendakwahkan Islam di tengah represifitas rezim saat ini. Berikut strategi yang bisa dilakukan:

Pertama, konsisten menapaki jalan dakwah ala Rasulullah SAW yang berkarakter: fikriyah, laa madiyah, politis. Fikriyah, mengubah pemikiran masyarakat yang jahiliyah menjadi pemikiran islami. 

Laa madiyah, dakwah tidak boleh menggunakan cara-cara kekerasan. Politis, dakwah untuk mengubah kekuasaan jahiliyah menjadi berdasarkan aturan Allah. Hanya kekuasaan islami yang mampu menerapkan syariat Islam kaffah. 

Kedua, membina umat berdasarkan akidah murni dan lurus. Akidah kuat akan membentengi umat Islam dari pengaruh pemahaman non-Islam, kuat keyakinannya terhadap syariat Allah SWT, dan konsisten memperjuangkan kalimat-Nya. 

Ketiga, dakwah berbasis pergulatan pemikiran. Dengan cara menjelaskan kebatilan ideologi selain Islam berikut ide derivatnya, lalu menggambarkan pemahaman sesuai syariat. Diharapkan umat mampu membandingkan antara yang haq dan batil, kemudian menerima Islam sebagai ajaran shahih.

Keempat, dakwah disertai upaya menyingkap hidden agenda. Umat mesti tahu, di balik kriminalisasi terhadap ajaran Islam dan stigmatisasi Islam sebagai radikalisme, terdapat makar negara Barat dan antek-anteknya. Sehingga tidak mudah terhasut memusuhi khilafah dan pejuangnya. 

Kelima, mengoptimalkan penggunaan media untuk kepentingan dakwah. Individu maupun komunitas Muslim sebagai pemilik dan pengelola media (media massa, media sosial) hendaknya bervisi dakwah dan menjadikan medianya sebagai sarana edukasi tentang Islam kaffah, sekaligus untuk meng-counter opini negatif tentang ajaran Islam.

Keenam, menjalin sinergi dengan berbagai komponen umat Islam. Mengadakan agenda bersama tokoh Islam, aktivis gerakan Islam, ulama, ustaz, penggerak majelis taklim, intelektual Muslim, dan lain-lain, untuk memperkuat shilah ukhuwah dan pemikiran. 

Ketujuh, menggencarkan seruan agar umat Islam kembali pada penerapan hukum Allah SWT dalam naungan khilafah islamiyah. Selain memahamkan urgensinya, juga menjelaskan metode penegakannya berikut tantangannya. 

Demikianlah strategi mendakwahkan ajaran Islam dan memperjuangkan syariat Islam di tengah represifitas rezim saat ini. Strategi dijalankan dengan konsepsi dan arah perubahan jelas, terarah, dan terukur. 

Tujuan perubahan mengarah pada upaya melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan menerapkan syariat Islam kaffah dalam naungan khilafah islamiyah. Dengannya, semoga kejayaan Islam kembali hadir menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Dewan Pembina Mutiara Umat Institute)

Posting Komentar

0 Komentar