"Nah, kita lihat zaman dulu itu bukan hanya segi teknis,
tetapi ibadah haji itu juga ditakuti (oleh penjajah) dari segi prinsip dari
ajaran haji itu sendiri," ungkapnya dalam dialog yang berjudul Haji dan
Politik di YouTube UIY Official, Ahad (26/06/2022).
Ia mengatakan, sudah menjadi hal yang lazim di kalangan
kolonial, orang-orang yang telah berhaji itu biasanya selalu menjadi pemuka
dalam melawan kafir penjajah. Karena memang penjajah itu dulu menguasai negeri ini dan mereka bukan
Islam, sementara Islam melarang pemimpin kafir.
"Maka ketika orang-orang Nusantara yang berangkat haji
dan di tanah suci, mereka mendapati kenyataan bahwa ini adalah Darul Islam yang
ideal, yang tentunya pemimpinnya adalah seorang khalifah yang memang patut
untuk kaum Muslim berbaiat kepadanya. Kalau melihat kondisi di negerinya
menjadi aneh yang dikuasai oleh orang-orang yang bukan Muslim, akhirnya ketika
mereka pulang haji mereka memang benar-benar aghniya (kaya) dan punya
kesadaran agama yang dalam, sehingga para haji itu senantiasa dihormati
masyarakat," ujarnya.
Bung Nicko, sapaan akrabnya mengatakan, mereka mempunyai
banyak waktu luang, orang kaya, maka mereka mempunyai kesempatan untuk
membentuk sebuah perkumpulan atau organisasi.
"Di zaman kesultanan banyak para pemimpin haji yang
menggelorakan perlawanan, misal perang di Minangkabau, itu ada sebuah perang
besar seperti Perang Padri itukan asal muasalnya dimulai tiga orang Minangkabau
dari Makkah Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Mereka membentuk
Harimau nan Salapan, sebagai gerak amar makruf nahi mungkar. Mempunyai pengaruh
yang luas sampai sampai melahirkan orang orang ulama dan mujahid Tuanku Receh
Tuanku Imam Bonjol," tuturnya.
Ia melanjutkan, di Aceh ada sebuah Hikayat Perang Sabil.
Hikayat Perang Sabil ini adalah kumpulan syair yang kemudian di dalamnya itu
dituliskan motivasi motivasi jihad yang sangat yang sangat luar biasa yang
sanggup menggerakkan rakyat Aceh itu untuk perang melawan Belanda hampir selama
empat puluh tahunan atau lebih dari itu, syair Hikayat Perang Sabil ditulis
oleh seorang haji atau ulama Aceh yang baru pulang dari haji yang bernama
Teungku Chik Pante Kulu.
"Seorang hulubalang dari Kasultanan Aceh saat menghadap
Syarif Makkah yang mengurusi haji dengan kata-kata yang sangat jelas. Mereka orang Belanda itu
melarang para ahli ilmu atau ulama untuk menyibukkan diri dalam menuntut ilmu,” jelasnya.
Kata orang Belanda menurut orang Aceh tersebut, “Kalau kalian ini makin dalam
mempelajari ilmu syariat, maka kalian akan mendapati di dalamnya itu perang dan
jihad di jalan Allah, itu diwajibkan dan difardukan atas mereka,"
paparnya.
Direktur Film JKDN itu mengatakan, karena itulah akhirnya
orang-orang Belanda melarang orang Nusantara untuk mengunjungi tanah suci,
karena orang-orang Belanda itu sangat kuatir kepada para haji tadi. Maka orang-orang
Belanda itu kemudian mengenakan pajak yang sangat besar untuk ukuran zaman itu,
sebesar lima puluh rial, pajak yang sangat besar
sehingga dikeluhkan.
"Di sini kita melihat banyak sekali sebuah
peraturan-peraturan haji (resolusi haji) yang dikeluarkan oleh pemerintah
Belanda yang memang itu diperuntukkan untuk menyempitkan para jemaah haji
berangkat ke tanah suci, sehingga orang-orang yang mau berangkat ke tanah suci
itu makin sedikit karena dikenai tambahan terus. Sehingga suatu ketika tahun
1914 tanah suci benar-benar kosong dari jemaah haji dari Indonesia," terangnya.
Ia menambahkan, Walaupun itu ada kaitannya dengan faktor
Perang Dunia I, karena sangat mengkuatirkan apabila para haji ini mengegolkan
perjuangan di Nusantara. “Akhirnya kolonial Belanda itu banyak menyusahkan para
jemaah haji untuk ke
tanah suci, kalau zaman dulu itu mereka khawatir karena alasan ideologis, kalau sekarang disempitkan
dengan alasan mismanajemen juga. Wallahu a’lam… Andai
kata ada masalah ideologi juga,”
tandasnya.
Spirit Jihad
Bung Nicko mengungkapkan, Hulubalang Aceh Muhammad
Ghaut Syaiful Alam Syah yang merupakan utusan dari Sultan Mansur Syah Aceh
menyebutkan kalau orang-orang Nusantara itu mempelajari ilmu syariat secara mendalam
apalagi langsung ke tanah suci, itu bekal menemukan ajaran Islam yang kaffah
dari A sampai Z, di dalamnya termasuk masalah jihad dan masalah khilafah. Sehingga ketika mereka balik
ke Nusantara, mereka akan merasa tidak
nyaman dengan status quo yang dikuasai penjajah. Oleh karena itu mereka
menggelorakan jihad fisabilillah.
"Ada satu ulama yang sangat menarik ketika membicarakan
masalah hubungan haji dan jihad melawan penjajah, tentu kita sudah sama-sama
mengenal satu sosok yang luar biasa bernama Syekh Abdus Somad Al-Polimbani. Beliau
ini seorang ulama dari Kesultanan Palembang yang memilih mukim atau menjadi
warga Utsmaniyah di Hijaz yang mukim di Makkah. Walaupun sudah mukim di Makkah,
tetapi masih tetap mengajarkan ilmu dan peduli kondisi nusantara yang
dijajah," imbuhnya.
Ia menambahkan, Syekh Abdus Somad Al-Palimbani tersebut
menuliskan sebuah kitab khusus untuk rakyat Nusantara agar mereka semangat
jihadnya itu luar biasa berjudul Nashihatul Muslimin wa Tadzkiratul Mukminin
fi Fadhail Jihad fi Sabilillah wa Karamatil Mujahidin. “Kitab-kitab yang berisi nasihat dan peringatan kepada
orang-orang beriman tentang fadilah jihad dan karamah para mujahidin,” ujarnya.
"Bahkan Syekh Abdul Somad Al-Palimbani itu langsung menyurati
beberapa raja dan sultan di Pulau
Jawa agar mereka benar-benar melakukan jihad dengan sebenar benarnya jihad.
Diantara para raja Jawa yang disurati oleh Syekh Abdus Somad Al-Palimbani ini
adalah Pangeran Mangkubumi yang kelak akan menjadi Sultan Hamengku Buwono I, muasis
atau pendiri Kasultanan Yogyakarta, begitu pula Pangeran Sambernyowo.
Pangeran-pangeran dari trah Mataram itu benar-benar berjihad melawan VOC
Belanda. Jadi
itu hubungan antara tanah suci dan jihad yang begitu luar biasa," pungkasnya.[] Rina
0 Komentar